Anggun Permatasari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#TelaahUtama — Menjelang akhir masa jabatannya sebagai presiden, Jokowi resmi membuka keran ekspor pasir laut. Dilansir laman CnbcIndonesia.com (23/9/2024), sebagai tindak lanjut Kementerian Perdagangan atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah mengeluarkan dua aturan turunan.
Aturan tersebut yaitu Permendag No. 20/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No. 22/2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Tambahan pula, Permendag No. 21/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No. 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Kedua Permendag ini diundangkan di Jakarta pada 29 Agustus 2024 dan berlaku setelah 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diundangkan.
Banyak pihak menyayangkan keputusan tersebut. Hal itu karena selama 20 tahun terakhir pemerintah melarang aktivitas mengeruk pasir untuk menghindari kerusakan lingkungan. Untuk memulihkan dampak lingkungan akibat pengambilan pasir laut, ahli lingkungan hidup di Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat menghitung biayanya lima kali lipat lebih besar dari keuntungan yang dihasilkannya.
Dalam pernyataannya, Jokowi menegaskan bahwa yang diperbolehkan untuk diekspor hanyalah sedimen yang mengganggu jalur kapal (Kompas.com, 27/9/2024). Namun, berdasarkan berita di laman tempo.co (29/9/2024), pemerintahan Jokowi sedang membohongi publik. Tidak ada hubungan antara pendangkalan perairan karena sedimentasi dan pasir yang akan diisap. Frasa “pembersihan hasil sedimentasi laut” merupakan akal-akalan seolah pengambilan pasir laut berkonotasi positif. Malah, di beberapa tempat, seperti di Pulau Bintan, Lingga, dan Karimun di Kepulauan Riau, pasir yang terhampar di laut bukanlah hasil sedimentasi baru. Material tersebut merupakan pasir purba yang ada sejak Paparan Sunda—wilayah yang kini menjadi Indonesia bagian barat, Semenanjung Malaysia, dan Singapura—masih berupa daratan.
Pakar ekonomi Universitas Mataram Ihsan Ro'is memandang kegiatan ekspor sedimen laut ke luar negeri dapat merugikan Indonesia untuk jangka panjang (tempo.co, 23/9/2024). Daratan negara pengimpor pastinya akan semakin luas, sementara yang terjadi di Indonesia justru kerusakan alam.
Pieter Zulkifli mengingatkan bahwa kebijakan tambang pasir ini bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga dinamika politik. Terlebih, izin yang dikeluarkan di akhir masa jabatan bisa mengundang berbagai konsekuensi. Pieter Zulkifli menduga izin ekspor pasir laut ini akan menguntungkan negara-negara seperti Singapura dan Tiongkok, yang saat ini membutuhkan material untuk memperluas wilayahnya (kompas.com, 27/9/2024).
Diberlakukannya kembali kebijakan ini mengonfirmasi bahwa negara lebih mengutamakan cuan tanpa mempertimbangkan masalah lingkungan. Keuntungannya pun mustahil dinikmati rakyat. Paling-paling berputar di lingkaran oligarki. Alih-alih lepas, ternyata cengkeraman kapitalisme semakin lekat.
Sungguh, itulah kapitalisme. Ideologi rusak buatan manusia yang memang membolehkan pengusaha mengeruk SDA (sumber daya alam) termasuk eksplorasi tambang milik umum. Walhasil, lagi-lagi rakyat kebagian kerusakan dan kerugiannya. Dengan membuka keran ekspor pasir laut, tampak bahwa penguasa tidak sedang menjalankan fungsinya dengan baik. Penguasa malah merugikan dan membahayakan umat serta kedaulatan negara.
Kapitalisme menjadikan peran negara mandul. Penguasa hanya menjadi regulator yang menguntungkan pihak tertentu (pengusaha/oligarki). Aturannya tidak memperhatikan kerusakan lingkungan, apalagi dampaknya untuk rakyat. Tidak ada upaya sama sekali untuk membuat rakyat sejahtera, yang ada hanya kemakmuran kelompok dan keluarganya semata.
Pemimpin besutan demokrasi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan materialistisnya. Tidak akan ditemukan jiwa kepemimpinan dalam dada mereka. Yang ada hanya bualan dan janji-janji manis. Pencitraan dan pembohongan publik adalah hal biasa bagi pemimpin yang diasuh oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Rakyat tidak dapat bersandar pada siapa pun, karena antara pemimpin, penegak hukum, para pemodal, dan mafia bersatu untuk mengambil SDA guna memperkaya diri.
Fakta menyakitkan seperti itu tidak akan terjadi andai rakyat meminta penguasa kembali pada aturan Islam. Dalam pandangan Islam, fungsi negara adalah riayah suunil ummah, yang berarti mengurus seluruh urusan rakyat. Sebagai pihak yang mengurus, negara (penguasa) harus mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat dengan memenuhi kebutuhan mereka, menjamin hak-hak mereka, serta melindungi dari bahaya, bukan melayani kepentingan korporasi.
Penguasaan negara dalam sistem Islam kafah (Khilafah) tidak akan menetapkan kebijakan yang membahayakan manusia dan alam. Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk mewujudkan hal itu, negara membuat kebijakan yang memudahkan rakyat mengakses kebutuhannya, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dan sebagainya. Memberikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan keamanan, secara gratis bagi setiap individu.
Negara akan mengelola SDA milik umat secara mandiri sehingga hasil pengelolaannya dapat dinikmati rakyat dengan harga yang sangat terjangkau. Negara juga sangat memperhatikan lingkungan dengan melakukan kajian AMDAL pada aktivitas eksplorasi dan eksploitasi SDA agar keseimbangan lingkungan senantiasa terjaga.
Allah Swt. berfirman yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS ar–Rum: 41)
Sumber daya alam seperti pasir laut merupakan kepemilikan umum. Negara tidak boleh mengelola untuk kepentingan golongannya sehingga merampas hak-hak masyarakat pesisir. Dalam sistem Islam jika ada sekelompok orang atau oknum yang melakukannya maka ada sanksi yang tegas. Bahkan, dahulu Rasulullah saw. menganulir sebidang tanah yang telah diberikan kepada sahabatnya bernama Abyadh karena mengandung garam.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
Dalam aturan Islam, Khilafah tidak akan sembarangan melakukan hubungan perdagangan dengan negara kafir harbi fi’lan. Terhadap kafir mu’ahad (orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah) akan diperlakukan sesuai poin-poin perjanjian, baik menyangkut komoditas yang mereka ekspor atau impor dari dan ke negara Khilafah.
Dari penjelasan di atas, pemimpin dalam sistem Islam tidak membuat keputusan hanya karena pertimbangan ekonomi, melainkan harus sesuai tuntunan syariat agar Allah Swt. rida. Pemimpin yang memiliki pemikiran seperti ini hanya bisa dilahirkan dan dibentuk dengan Islam. Selain itu, aturan tersebut juga akan terlaksana jika negara mengambil Islam sebagai landasannya.
Demikianlah, pemimpin yang menjadikan Islam sebagai dasar dalam melayani rakyat akan membawa rahmatan lil alamin hadir. Sementara sistem kapitalisme terbukti melahirkan pemimpin yang menyebabkan kerusakan alam. Masihkah kita rida? Tidak inginkah kita move on dari sistem rusak demokrasi-kapitalisme dan beralih ke sistem Islam yang penuh rahmat, agar permasalahan seperti eksploitasi pasir laut tidak terjadi? Wallahualam bissawab.
0 Komentar