#TelaahUtama - Isu keretakan hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan presiden terpilih Prabowo Subianto terus menjadi bola liar. Sejumlah pakar meyakini Prabowo akan menjaga jarak setelah Jokowi lengser berkuasa pada Oktober 2024 nanti dan tidak akan mau disetir Jokowi. Terlebih setelah viral unggahan lama akun Fufufafa yang mencuit banyak pernyataan negatif terhadap banyak tokoh politik termasuk Prabowo sendiri, dan akun tersebut dicurigai sebagai akun milik wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.
Menanggapi isu miring akan hubungan Prabowo-Jokowi, Jokowi sendiri menegaskan bahwa keduanya ‘saling sayang’. Sedangkan pihak Gerindra justru mempertanyakan dari mana isu tersebut berasal dan menyatakan ada banyak pihak yang ingin mengadu domba Jokowi dan Prabowo. Malah, organisasi Projo (Pro Joko Widodo) sempat menuding PDI-P sebagai pihak yang paling berambisi memisahkan keduanya. Isu pecah kongsi Prabowo-Jokowi terus bergulir seiring dengan dinamika perpolitikan negeri.
Bukan hanya dari kasus Fufufafa, kekecewaan Prabowo terhadap dinamika politik rezim akhir-akhir ini bisa terlihat dengan jelas. Misalnya saja ketika ramai penolakan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah yang tidak mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi, kubu Prabowo tampak tidak ingin terkena imbas unjuk rasa “kawal putusan MK” terhadap pemerintahan baru yang akan ia pimpin. Sedangkan dualisme kepemimpinan di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) disebut-sebut dilakukan sengaja oleh rezim untuk ‘menggoyahkan’ kepercayaan diri Prabowo dan tetap bergantung pada Jokowi. Di sisi lain, batalnya duet antara Pati Itwasum Polri di Kemendag, Irjen Ahmad Luthfi dengan Ketum PSI, Kaesang Pangarep di Pilkada Jawa Tengah (Jateng) 2024 makin melebarkan jarak Prabowo-Jokowi.
Irjen Pol Ahmad Luthfi, Kapolda Jawa Tengah, yang akan digiring Gerindra untuk bursa pencalonan Pilkada Jateng 2024 'mendadak' dimutasi ke posisi baru sebagai Pati Itwasum Polri untuk penugasan ke Kementerian Perdagangan (Kemendag). Keputusan mutasi ini diumumkan dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST 1554/VII/KEP/2024 yang diterima Ruang Bicara, Minggu (28/7/2024), yaitu tepat 5 (lima) hari setelah Gerindra mendeklarasikan Irjen Pol Ahmad Luthfi menjadi calon gubernur Jawa Tengah. Tujuan mutasi Luthfi kemudian diduga sebagai langkah Jokowi menjauhkan orang dilingkar Prabowo agar tidak memiliki pengaruh berarti di provinsi tersebut. Dari sini banyak spekulasi akan genderang perang Jokowi vs Prabowo dimulai dari Jateng.
Perlu kita ingat bahwa ‘kemesraan’ Prabowo-Jokowi tidak sedari awal terjalin. Sebelumnya, politik Prabowo dan Jokowi justru berseberangan tatkala mengikuti kontes Pilpres 2014 dan 2019, yang saat itu pula terekam jejak Fufufafa aktif mengkritik lawan politik Jokowi. Bahkan pendukung keduanya ibarat minyak dan air yang sulit disatukan. Kedekatan mereka pun masih tidak diprediksi banyak pihak hingga pada akhirnya Prabowo masuk ke dalam kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.
Namun, menjelang akhir masa jabatan Jokowi, Prabowo justru mulai menunjukkan ‘kemesraan’ dengan PDI-P. Dimulai dengan kedatangan Prabowo saat pengukuhan Megawati sebagai profesor kehormatan Unhan pada 11 Juni 2021 dan berlanjut dengan kedatangan Prabowo ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat pada momen Idul Fitri, tanggal 2 Mei 2022 lalu. Kedekatan kedua punggawa Gerindra dan PDI-P makin kentara ketika keduanya bersama-sama meresmikan patung Presiden ke-1 Soekarno pada 6 Juni 2022. Hanya saja, sinyal kedekatan keduanya mulai pudar sejak PDI-P berseteru dengan Jokowi. Si Merah terang-terangan menyerang kebijakan rezim semisal “food estate”.
Prabowo pun semakin menjaga jarak dengan PDI-P setelah sang Banteng mengusung Ganjar Pranowo sebagai bacapres pada Pilpres 2024. Tidak lama kemudian kondisi ini tampak dimanfaatkan Jokowi untuk melakukan konsolidasi politik bersama Prabowo. Sejak akhir tahun 2023, Jokowi secara tersirat memberikan dukungan kepada Prabowo dan membelot dari cengkeraman Megawati. Jokowi pada akhirnya makin mengukuhkan dukungannya dengan pencalonan Gibran sebagai bacawapres mendampingi Prabowo. Namun, apakah posisi Gibran sebagai wakil presiden terpilih yang mendampingi Prabowo berbanding lurus dengan kedekatan hubungan politik Prabowo dan Jokowi?
Pada kenyataannya dalam alam demokrasi, strategi politik ‘kutu loncat’ lumrah untuk dilakukan. Kontrak-kontrak politik terus-menerus dilakukan dan berubah-ubah bergantung pada untung-rugi kekuasaan. Perseteruan presiden dan wakil presiden bahkan sudah pernah terjadi sebelumnya di negeri ini. Sebut saja pecah kongsi presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan wakil presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) di akhir masa jabatan tahun 2004-2009. Secara terbuka baik pihak SBY maupun JK kala itu menunjukkan manuver politik kedua kubu melalui dua partai pengusungnya yakni Partai Demokrat dan Golkar. Konflik keduanya kian kentara tatkala JK mengumumkan dirinya sebagai calon presiden pada perhelatan Pilpres 2009 melawan SBY.
Perseteruan fenomenal lain antara presiden dan wakil presiden juga pernah terjadi sebelumnya antara presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan wakil presiden ke-8 Megawati. Perseteruan ambyar keduanya bahkan berhasil memakzulkan kepemimpinan Gus Dur yang baru menjabat 21 bulan lamanya. Padahal, sejak zaman Orde Baru keduanya tampak bagai sepasang sahabat dan seakan-akan menjadi icon gerakan ‘civil society’ Indonesia. Kedekatan dua orang ini tetap terjaga hingga detik-detik akhir kekuasaan rezim Orde Baru yang akhirnya tumbang oleh gelombang Reformasi 1998. Bersama dengan Amien Rais, mereka menjelma menjadi ‘imam’ gerakan Reformasi saat itu dan pada akhirnya Gus Dur dan Megawati berpasangan menjadi presiden dan wakil presiden, sedang Amien Rais menjadi ketua MPR. Lagi-lagi sejarah demokrasi menunjukkan betapa rapuhnya ikatan persahabatan politik di antara elite-elitenya.
Dari sini kita bisa memprediksi sejauh mana ‘persahabatan’ Prabowo dan Jokowi mampu bertahan. Suatu waktu bisa saja Prabowo melihat pihak Jokowi, terutama Gibran, sebagai rival politiknya. Malahan, beberapa pihak sudah menduga Gibran tengah disiapkan menjadi Presiden Indonesia masa depan. Oleh karenanya, wajar jika Prabowo begitu gencar merapatkan koalisinya hingga menghasilkan koalisi ‘gemuk’ semacam KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus). Manuver Prabowo menjadikan kontrol koalisi atas DPR ke depannya kemungkinan tidak akan menghadapi banyak oposisi terhadap prioritas-prioritasnya. Namun, sikap semacam ini harus dibayar Prabowo dengan menjadikan kabinetnya berisikan orang-orang partai pendukungnya.
Di sisi lain, Prabowo yang sudah sedari lama berambisi menjadi orang No. 1 di Indonesia sejatinya akan menolak siapa pun untuk mendikte kepemimpinannya. Tentu saja ia juga tidak ingin ada 2 (dua) matahari dalam pemerintahan. Kondisi semacam ini yang kemudian menghasilkan adanya spekulasi pakar tentang potensi pecah kongsi Prabowo-Jokowi yang akan terjadi tidak lama setelah pelantikan bulan Oktober mendatang. Bahkan ada yang sampai memprediksi pecah kongsi tersebut akan terjadi maksimal 100 hari pemerintahan Prabowo. Miris bukan?
Bagi para pejuang perubahan, politik ‘mencla-mencle’ dalam demokrasi tentu sangat menyakitkan. Realitas demokrasi senantiasa menunjukkan bahwa kontestasi dalam pemilihan kepemimpinan nyatanya tidak lebih dari basa-basi politik. Rakyat tidak diberi peluang untuk melakukan perubahan dan hanya sekedar menjadi batu loncatan untuk mendulang suara. Benar adanya bahwa di dalam demokrasi tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Tidak heran jika pada awalnya para elite politik bisa tampak saling bersaing, bahkan saling menyerang satu sama lain. Namun, tidak lama kemudian bisa berubah dan saling melemparkan puja-puji demi meraih jatah kekuasaan.
Lalu pihak mana yang paling dirugikan dalam dinamika politik demokrasi? Tentu saja rakyat akan senantiasa menjadi korban. Umat tidak hanya dikhianati setelah dimanfaatkan suaranya, tetapi juga dijadikan tumbal kekuasaan melalui kebijakan-kebijakan rezim yang menyiksa dan menyengsarakan. Dengan demikian, patutkah umat masih berharap pada penerapan sistem demokrasi yang penuh dengan sandiwara? Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar