Anggun Permatasari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
Dunia maya sedang dihebohkan dengan akun misterius bernama “Fufufafa”. Akun ini viral dan trending di Twitter atau X. Fufufafa awalnya hanya dikenal sebagai akun di Kaskus. Tetapi kini, akun ini menjadi sorotan netizen setelah unggahannya yang kerap melontarkan kritik pedas terhadap sejumlah tokoh politik, terutama Prabowo Subianto.
Dilansir dari laman rmol.id (19/9/2024), pakar telematika, Roy Suryo memastikan 99,9 persen akun Kaskus Fufufafa adalah milik wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Gibran Rakabuming Raka anak sulung Presiden Jokowi. Selain itu, banyak akun-akun anonymous yang juga membongkar siapa sesungguhnya pemilik akun Fufufafa.
Belum ada tanggapan dari Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terkait Fufufafa yang menyeret namanya. Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, polemik ini akan segera terjawab setelah Prabowo-Gibran dilantik pada 20 Oktober mendatang (rmol.id, 15/9/2024).
Banyak spekulasi berkembang terkait hubungan antara Jokowi dan Prabowo ke depannya. Dilansir laman antaranews.com (26/8/2024), Staf Khusus (Stafsus) Presiden, Juri Ardiantoro menyatakan bahwa isu keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan upaya adu domba yang sengaja dirancang untuk mengganggu keberlanjutan pemerintahan (antaranews.com, 26/8/2024).
Publik meragukan apakah setelah kasus ini mencuat, Gibran yang notabene merupakan wakil presiden terpilih layak dilantik nantinya. Malah, berdasarkan hasil penelusuran netizen, Fufufafa terhubung dengan beberapa akun berbau pornografi. Belum lagi komentar-komentarnya yang kasar dan kerap melontarkan istilah-istilah tidak pantas.
Bahkan, salah satu cuitan yang paling viral bernada rasisme. Akun X @denismalhotra membagikan tangkapan layar dari akun Fufufafa. Tangkapan layar tersebut memperlihatkan tanggapan akun Fufufafa terhadap sebuah postingan. Akun Fufufafa menulis komentar untuk menanggapi postingan berisi kritik terhadap transportasi ramah lingkungan dengan kalimat, "Mau kamu pakai unta seperti junjunganmu ya?" Netizen berasumsi yang dimaksud akun Fufufafa adalah Baginda Rasulullah saw., miris.
Dari fakta-fakta di atas, publik merasa risau apakah karakter pemimpin seperti itu yang akan memimpin Indonesia ke depannya? Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas muslim terbesar di dunia.
Sesungguhnya, karakter pemimpin problematik di alam demokrasi merupakan hal wajar. Pemimpin besutan demokrasi bermuka dua. Sehingga, menghasilkan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Demokrasi adalah sistem politik yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara).
Bahwasanya, demokrasi membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apa pun, termasuk agama. Bahkan, menjelang pemilu lalu, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy alias Romy mengatakan agar publik (masyarakat) tidak menyoal kesalehan dari tiga nama calon presiden (capres), yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan (TVOne, 10/5/2024).
Dalam sistem demokrasi, ahli maksiat dan penentang hukum-hukum Allah bisa saja menduduki kursi kepemimpinan. Pemimpin terpilih hukum positif saat ini nantinya tidak akan menjalankan hukum Allah Swt., karena ia adalah pelaksana hukum buatan manusia. Oleh sebab itu, tak ada kawan abadi dalam demokrasi, yang ada hanya kepentingan abadi. Malahan, yang semula kawan bisa jadi lawan dan sebaliknya.
Dalam sejarah Islam yang gemilang, para Khalifah terutama Khulafaurasyidin merupakan para ulama. Umumnya para Khalifah pada masa lalu bukan hanya imam (pemimpin) dalam urusan kenegaraan, tetapi sekaligus juga imam dalam urusan keagamaan. Pada masa Khulafaurasyidin, contohnya, imam salat Jumat atau salat Id adalah Khalifah. Demikian pula dalam salat-salat fardu. Hal ini sesuai tuntunan Rasulullah saw., “Imam suatu kaum adalah yang paling banyak membaca/menguasai Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR Malik)
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). Pejabat negara harus memiliki kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin di samping harus memiliki kekuatan akal yang memadai, dia juga memiliki pola sikap kejiwaan yang baik, yaitu sabar, tidak emosional, santun, dan beradab.
Sistem Islam bersumber dari Allah Swt. Sang Pembuat Hukum Yang Sempurna. Penerapan cara pandang Islam mencakup pemikiran dan metodenya mampu melahirkan karakter pemimpin yang bertakwa dan amanah terhadap jabatan. Seorang pemimpin dalam Islam dituntut mengayomi seluruh rakyatnya dan memastikan tiap individu terpenuhi kebutuhannya.
Dia harus menjadi pribadi yang kuat dalam arti sudah selesai dengan urusan pribadinya. Alhasil, jika kita melihat kondisi negara kita saat ini, tentu kita butuh pemimpin yang nantinya akan membawa umat menuju perubahan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, untuk bisa mengawali perubahan tersebut, dia harus lebih dulu memiliki kepekaan dan jiwa empati yang tinggi.
Penguasa atau ulil amri wajib melaksanakan syariat Allah Swt., bukan sebagai perpanjangan tangan oligarki atau donatur politik yang bisa seenaknya merekayasa kebijakan. Kepemimpinan dalam Islam murni untuk mengurus rakyat dan negara, tidak untuk kepentingan kelompok atau partai.
Allah Swt. berfirman yang artinya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS al-Maidah: 49)
Pemimpin dalam Islam juga tidak hanya memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Pemimpin Islam wajib menjaga akidah umat. Seorang khalifah tidak akan membiarkan umatnya terperosok dalam jurang kemaksiatan apalagi hanyut dalam pornografi. Hal ini tentu ditunjang oleh sistem pemerintahan yang menerapkan sistem sosial hingga sistem sanksi yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan assunnah.
Jika kita bandingkan fakta di atas dengan kondisi pemimpin saat ini, sungguh sangat memprihatinkan. Kisruh Fufufafa mencerminkan betapa wajah pemimpin negeri ini mengalami krisis moral dan minim empati. Alih-alih menjaga akidah umat, justru mereka yang mengolok-olok Nabi. Jangankan menjadi contoh dan teladan yang baik bagi rakyat, menjadi pribadi yang baik bagi dirinya sendiri saja masih belum mampu. Bagaimana nasib umat jika pemimpinnya tidak mampu melawan hawa nafsu untuk dirinya sendiri.
Dengan demikian, dibutuhkan kesadaran masyarakat bahwa aturan Islam tidak sekadar mengatur ibadah kepada Allah Swt. saja, tetapi juga mengatur seluruh kehidupan manusia dan alam semesta. Sejatinya, dengan mengambil Islam sebagai sistem hidup maka pemimpin ideal dambaan umat akan lahir.
0 Komentar