Hari Kesehatan Seksual Sedunia di Tengah Kontroversi PP 28/2024

 



Oleh: Arini Retnaningsih

FOKUS — Tidak banyak yang tahu bahwa 4 September diperingati sebagai Hari Kesehatan Seksual Sedunia. Hari Kesehatan Seksual Sedunia ini merupakan upaya untuk menyebarkan kesadaran sosial terkait kesehatan seksual laki-laki dan perempuan. Peringatan ini menjadi menarik untuk dibahas karena relevansinya dengan PP Kesehatan No. 28/2024 yang baru diluncurkan pemerintah akhir Juli lalu.

PP ini kontroversial karena memuat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan norma agama. Salah satunya adalah pasal yang mengatur pembagian alat kontrasepsi pada usia anak sekolah dan remaja. Pasal ini dikhawatirkan akan menjadi pendorong maraknya seks bebas pada kalangan remaja.

Tersebab banyaknya penolakan masyarakat, Kemenkes kemudian menjelaskan bahwa pasal tersebut hanya diperuntukkan bagi siswa dan remaja yang telah menikah. Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lansia Kemenkes dr. Wira Hartiti mengatakan bahwa pemberian alat kontrasepsi bagi remaja ini nantinya juga akan diperjelas dalam draf Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang sedang disusun Kemenkes, turunan dari PP 28/2024. (Republika, 30-8-2024).

Namun rupanya, MUI tidak sepakat dengan langkah Kemenkes sehingga mereka meminta supaya PP ini direvisi. Menurut MUI, tidak cukup hanya dijelaskan dengan aturan teknis di bawahnya karena biasanya aturan yang lebih tinggi menjadi acuan bagi aturan di bawahnya. (Antara News, 30-8-2024).

Mencermati latar belakang Peringatan Hari Kesehatan Seksual Sedunia, kita akan menemukan benang merahnya dengan PP 28/2024.

Latar Belakang

Asosiasi Kesehatan Seksual Dunia meluncurkan Hari Kesehatan Seksual Sedunia pertama kali pada 2010. Keputusan tersebut bertujuan untuk menyatukan komunitas global guna mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan seksual. Elemen kunci dari upaya ini adalah mengakui kesehatan seksual dalam kerangka hak asasi manusia. Hak tersebut sebagaimana diuraikan 25 tahun lalu dalam Deklarasi Hak-Hak Seksual Valencia, Spanyol. (Parapuan[dot]co, 4-9-2022).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya.[1]

WHO menyatakan, seseorang bisa dikatakan sehat secara seksual jika dirinya bisa memilih pasangan seksualnya, merasakan kenikmatan seksual, terbebas dari risiko kehamilan yang tidak direncanakan dan infeksi menular seksual, serta bebas dari segala paksaan dan kekerasan seksual. Hal ini adalah hak dasar manusia yang mana masing-masing individu dapat memutuskan untuk kapan dan dengan siapa mereka melakukan seks dan memiliki anak; juga untuk bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan.[2]

Dari sini, maka Peringatan Hari Kesehatan Seksual Sedunia menggarisbawahi pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif. Juga tentang pentingnya akses ke layanan kesehatan yang memadai. Lebih jauh, peringatan ini mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak seksual sebagai bagian dari hak asasi manusia.[3]

Pentingnya akses ke layanan kesehatan yang memadai juga menjadi fokus perhatian Duta Damai. Dalam situs dutadamai[dot]id (2-9-2024), lembaga bentukan BNPT ini mengatakan bahwa akses ke layanan kesehatan seksual yang berkualitas merupakan komponen penting dari kesehatan seksual. Layanan ini mencakup konseling, tes, dan pengobatan penyakit menular seksual; akses ke kontrasepsi dan layanan kesehatan reproduksi; serta dukungan untuk korban kekerasan seksual. Di banyak negara, akses ke layanan ini masih terbatas, terutama bagi kelompok rentan, seperti remaja, minoritas seksual, dan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan.

Oleh sebab itu, menurut situs tadi, Hari Kesehatan Seksual Sedunia adalah momen tepat untuk menekankan pentingnya meningkatkan akses ke layanan kesehatan seksual bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau gender. Ini termasuk upaya untuk mengurangi hambatan akses, seperti biaya yang tinggi, jarak ke fasilitas kesehatan, dan stigma sosial yang melekat pada pencarian layanan kesehatan seksual.

Selain isu kesehatan seksual yang mencuat dalam Peringatan Hari Kesehatan Seksual Sedunia, aroma liberalisasi juga sangat kuat menguar. Apalagi hak seksual dikatakan sebagai hak dasar manusia yang masing-masing individu dapat memutuskan untuk kapan dan dengan siapa mereka melakukan seks dan memiliki anak, juga untuk bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Lantas, bagaimana dengan PP 28/2024?

Pasal Legalisasi Seks Bebas PP Kesehatan

Jika dicermati, tampak bahwa yang dibahas dalam masalah kesehatan seksual ini, sama persis dengan yang dibahas dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam Pasal 103, Upaya Kesehatan Sistem Reproduksi Usia Sekolah dan Remaja, dikatakan paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Kemudian pada Pasal 103 ayat 4 poin (e) dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja juga meliputi penyediaan alat kontrasepsi.

Tatkala pihak Kemenkes mengatakan bahwa penjelasan Pasal 103 adalah untuk usia sekolah dan remaja yang sudah menikah, jelas ini adalah upaya menghindari tudingan legalisasi seks bebas. Sebabnya, dalam pasal-pasal lain pun tidak ada kata-kata “untuk pasangan yang sudah menikah”. Istilah yang digunakan adalah “pasangan usia subur”, seperti pada Pasal 109. Pasal tentang Pelayanan Kontrasepsi ini menyebutkan bahwa pelayanan kontrasepsi dilakukan terhadap usia subur yang terdiri atas pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Tidak ada kata-kata “pasangan yang sudah menikah” ataupun “pasangan suami-istri”.

Jika “pasangan usia subur” dimaksudkan sebagai suami-istri, kata “usia subur yang berisiko” sebenarnya juga mencakup usia sekolah dan remaja, sebab usia subur yang tidak berisiko dimulai pada usia 20 tahun. Dipisahkannya pembahasan “usia sekolah dan remaja termasuk kelompok yang berhak mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi” memang patut diduga kuat maksudnya adalah mereka yang melakukan hubungan seksual pada usia muda tanpa terikat pernikahan. Artinya, memang ada persetujuan untuk remaja melakukan seks bebas dan menjadi tugas negara untuk menjamin keamanannya.

Liberalisme, Rusak dan Merusak

Melihat ide yang mendasari lahirnya Hari Kesehatan Seksual Sedunia, kemudian mencermati PP Kesehatan (28/2024) dalam pembahasan kesehatan reproduksi, kita akan mendapati pemikiran-pemikiran yang sama terkait konsep hak seksual dan kesehatan reproduksi. Pemikiran tersebut lahir dari ide kebebasan atau liberalisme. Hubungan seksual dianggap sebagai bagian dari HAM dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi.

Asumsi ini dibangun atas teori-teori psikologi. Sigmund Freud, misalnya, menyatakan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang dirasakan oleh manusia semenjak kecil. Setiap manusia memiliki hasrat ini dan pemenuhannya adalah sama sebagaimana pemenuhan berbagai kebutuhan manusia lainnya.

Alhasil, hasrat ini dijadikan kebutuhan, yaitu kebutuhan biologis. Tidak boleh ada yang menghambat individu untuk menikmati hak-hak seksual mereka. Untuk menjamin hak ini tertunaikan, kesehatan reproduksi menjadi hal penting dan harus dijamin sehingga perlu ada aturan negara yang memastikan setiap individu mendapatkan hak ini.

Demikianlah pandangan yang melandasi penyusunan PP 28/2024. Pandangan liberal terhadap hak reproduksi ini kemudian memunculkan kontroversi lain dalam PP tersebut, seperti larangan sunat perempuan yang dipandang akan menghalangi perempuan menikmati hubungan seksual, serta kebolehan aborsi bagi korban perkosaan.

Di banyak negara yang belum menerima konsep liberalisme tentang kesehatan seksual, mengegolkan pemikiran kebebasan seksual yang aman menjadi salah satu bentuk perjuangan kaum liberalis. Semisal pernyataan berikut, “Oleh karena itu, Peringatan Hari Kesehatan Seksual Sedunia menjadi ajakan untuk melanjutkan perjuangan demi pengakuan dan perlindungan hak-hak seksual sebagai bagian integral dari hak asasi manusia.” (dutadamai[dot]id, 2-9-2024).

Dari sini, kita bisa mengurai benang merah keterikatan antara ide kebebasan seksual dan keluarnya PP 28/2024. Tampak bahwa ini adalah pemikiran yang sama, yang lahir dari ideologi yang sama pula, yakni liberalisme, pemikiran yang bertentangan secara diametral dengan pemikiran Islam.

Pandangan Islam tentang Hubungan Seksual dan Kesehatannya

Islam memandang bahwa hubungan seksual adalah bagian dari naluri seksual (gharizah nau’). Naluri berbeda dengan kebutuhan dalam hal kemunculan dan pemenuhannya. Kebutuhan akan makan, minum, dan buang hajat, muncul dari dalam diri secara otomatis sekalipun tidak ada rangsangan dari luar. Jika tidak dipenuhi, tubuh akan mengalami kerusakan yang bisa membawa pada kematian. Orang yang tidak makan berhari-hari, misalnya, bisa menderita kelaparan dan mati karenanya. Sedangkan naluri, tidak muncul secara otomatis dari dalam diri, melainkan jika ada rangsangan dari luar. Jika rangsangan tersebut tidak ada, naluri tidak muncul. Jika naluri ini tidak dipenuhi, akibat yang timbul hanya perasaan gelisah dan tidak nyaman.

Dengan demikian, menempatkan naluri seksual sebagai suatu kebutuhan, bahkan hak asasi manusia, adalah suatu kesalahan besar. Sebabnya, jika tidak terpenuhi, naluri seksual tidak akan berakibat pada penderitaan dan kematian. Buktinya, banyak orang yang hidup tanpa menikah atau tidak pernah menyalurkan hasrat seksualnya, tetapi hidupnya baik-baik saja.

Islam juga memandang bahwa hasrat cinta dan naluri seksual diciptakan Allah pada manusia untuk melestarikan kelangsungan jenisnya. Dengan naluri ini, laki-laki dan perempuan bisa berpasangan dan melahirkan keturunan. Allah menghendaki keturunan manusia adalah keturunan yang berkualitas, diasuh dan dididik sebaik-baiknya, dijamin akan nafkahnya, dibesarkan dalam suasana kasih sayang, dan keteladanan untuk menjadi muslim paripurna. Proses ini hanya dimungkinkan jika anak menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibunya. Oleh karenanya, Islam membatasi lahirnya keturunan hanya dari institusi pernikahan.

Allah Swt. berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS An-Nisa: 1).

Di luar institusi pernikahan, Islam melarang dan mencegah munculnya hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan. Ini karena di luar pernikahan, tujuan melestarikan jenis manusia tidak mungkin untuk dicapai. Sekalipun demikian, Islam tidak menafikan kenikmatan dari hubungan seksual. Hanya saja, Islam tidak menjadikannya sebagai tujuan pernikahan, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang antara suami-istri.

Hubungan yang dibatasi hanya pada suami-istri ini menjadi jaminan Islam terhadap kesehatan seksual seseorang. Dengan aturan ini, peluang untuk mendapatkan penyakit seksual bisa diminimalkan, begitu juga kehamilan yang tidak diinginkan. Dalam pernikahan, nasab anak jelas, begitu juga pihak yang akan bertanggung jawab atas nafkah si anak.

Pengaturan Naluri Seksual dalam Islam, Menjamin Kesehatan Seksual

Allah Swt. sebagai Sang Pencipta manusia, Maha Tahu akan sifat dan karakter yang melekat pada makhluk ciptaan-Nya. Ia Maha Tahu segala solusi terbaik bagi permasalahan manusia. Oleh karena itu, aturan Allah berupa syariat/hukum syarak adalah aturan terbaik untuk manusia. Begitu pula aturan syarak terkait pengelolaan naluri cinta laki-laki dan perempuan.

Setidaknya ada dua faktor yang bisa membangkitkan hasrat cinta/seksual pada seseorang. Pertama, penghadiran fakta, seperti gambar dan film cinta, rayuan seseorang, pandangan, interaksi dengan lawan jenis yang terlalu dekat, dan lainnya. Kedua, pemikiran yang merangsang, seperti lamunan atau memikirkan seseorang secara terus-menerus.

Dalam hal ini, hukum syarak mengatur kedua faktor tersebut agar naluri seksual tidak muncul tidak pada tempatnya. Hukum syarak juga telah memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk bertakwa kepada Allah, serta untuk menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan (lihat QS An-Nur: 30—31).

Islam pun memerintahkan keduanya untuk menjaga kehormatan diri dengan menutup aurat. Batas aurat laki-laki adalah pusar hingga lutut (lihat HR Ahmad). Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan, harus ditutup dengan mengenakan kerudung (lihat QS An-Nur: 31) dan jilbab (lihat QS Al-Ahzab: 59).

Islam melarang perempuan berdandan berlebihan yang menampakkan kecantikannya kepada laki-laki nonmahram (lihat QS An-Nur: 60), melarang khalwat atau bersepi-sepinya seorang laki-laki dan perempuan tanpa mahram (lihat HR Bukhari Muslim), serta melarang campur baurnya laki-laki dan perempuan tanpa ada kepentingan yang dibenarkan syarak, seperti berpesta atau berkumpul sekadar bersenang-senang.

Islam melarang untuk mendekati zina (lihat QS Al-Isra: 32), seperti berpacarannya remaja-remaja sekarang yang tidak lagi sungkan berpegangan tangan, berpelukan, bahkan berciuman. Islam justru memerintahkan para pemuda yang sudah mampu menikah untuk segera menikah. Bagi yang belum mampu, diperintahkan untuk menjaga kesucian diri, salah satunya dengan memperbanyak berpuasa (lihat QS An-Nur: 32—33). Puasa ini berfungsi mengalihkan naluri seksual kepada hal yang nilainya lebih tinggi, yakni ibadah kepada Allah.

Hanya saja, sekalipun hukum syarak ini dapat dilakukan secara individu, tetapi pelaksanaannya tidak akan sempurna tanpa ada sistem yang menaungi. Fungsi dari sistem adalah menjadikan hukum tersebut diterapkan secara paripurna, yaitu dengan mengondisikan terlaksananya hukum dan memberikan sanksi kepada orang yang tidak menjalankannya.

Selain itu, Islam memerintahkan penguasa untuk menjaga suasana takwa di tengah masyarakat. Penguasa/pemerintah bertanggung jawab menyusun kebijakan yang memastikan rakyat memahami agama dan terikat hukum syarak. Penguasa wajib mengontrol peredaran opini dan pemikiran di tengah masyarakat, serta menjauhkan segala bentuk penyesatan dan ajakan kepada maksiat. Buku, majalah, film, dan sebagainya yang memuat hal porno, harus dijauhkan.

Dengan cara seperti demikianlah naluri seksual dikendalikan sehingga pemenuhannya cukup dengan pernikahan. Dengan menjalankan hukum-hukum Islam dan terikat dengannya, tidak diperlukan lagi pendidikan seksual dan berbagai program kesehatan seksual. Wallahualam. 

Posting Komentar

0 Komentar