Huru-hara Pilkada Jakarta: Bagaimana Islam Memandang?


Anggun Permatasari

(Penulis dan Aktivis Dakwah) 


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara arogan menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Hal tersebut menyulut aksi demonstrasi pelajar dan mahasiswa di beberapa wilayah hingga akhirnya DPR sepakat menjalani putusan tersebut. Pilkada Jakarta tahun ini diwarnai kasak-kusuk para elite dan kericuhan di level grassroot


Dilansir laman berita tempo.co, 30/8/2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta resmi menutup pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pilkada Jakarta pada Kamis malam, 29 Agustus 2024. Tiga calon yang sudah mendaftar adalah Pramono-Rano dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ridwan Kamil-Suswono dari kubu Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus, dan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana yang merupakan calon independen.


Anies Baswedan yang digadang-gadang menjadi salah satu calon terkuat, gagal mengikuti kontestasi Pilkada 2024 setelah melewati perjalanan panjang menuju DKI satu. Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menjelaskan bahwa meski elektabilitasnya kuat, Anies tidak lolos karena tidak ada partai pendukung untuk tiket maju pilkada (kompas.com, 29/8/2024). Sebelumnya, PKB dan PDIP kompak membantah isu menggunakan Anies Baswedan di Pilgub Jakarta untuk jadi alat bargaining demi mendapat jatah kursi di pemerintahan Prabowo Subianto (detiknews.com, 13/6/2024).


Berbeda dengan paslon RK-Suswono, partai yang mengusung mereka merupakan gabungan koalisi gemuk dan KIM Plus. Sejumlah pengusaha atau konglomerat yang tergabung di dalamnya, di antaranya, Rosan Roeslani, Pandu Sjahrir, Aburizal Bakrie, Hashim Djojohadikusumo, Putri Kuswisnu Wardani, Maher Algadri, Theo Sambuaga, dan Erwin Aksa. Konon, orang-orang di belakang KIM Plus merupakan batu sandungan PDIP meraih kursi orang nomor satu di Jakarta.


Strategi pemenangan cagub mulai digencarkan. Timses dan para paslon melakukan 'blusukan' hingga adu kreativitas di media online. Tarik-menarik massa grassroot hingga pendekatan di kalangan masyarakat kelas atas pun dilakukan untuk meraup suara. 


Begitulah, tawar-menawar kepentingan dalam pilkada di Jakarta merupakan keniscayaan. Pasalnya, pilkada dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Sehingga, memungkinkan terbuka celah lebar terjadinya tarik-menarik kepentingan antara pemilik modal dan elite politik kekuasaan. Sebab, ada 'mahar' yang menjadi prasyarat mutlak dalam proses pembuatan regulasi.


Banyak yang berpendapat bahwa saat ini orang-orang yang ada di jajaran pemerintahan mencoreng demokrasi. Padahal, sistem demokrasi memang sudah cacat sejak lahir. Sistem demokrasilah yang memproduksi penguasa minim empati dan korup. Alih-alih berkuasa untuk menjamin kesejahteraan bagi rakyat, mereka justru melanggengkan bisnisnya. Karena faktanya saat ini banyak penguasa yang juga pengusaha. Tidak heran jika produk hukum yang dilahirkan adalah aturan yang menjaga eksistensi mereka.

Ketika hajatan politik digelar, suara rakyat dibutuhkan. Sedangkan setelah pilkada selesai, rakyat dilupakan. Sederet permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, krisis moral di kalangan pelajar seolah harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Rakyat tetap saja menderita dan kondisi tersebut akan terus berulang setiap masa. 


Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat hanya mitos. Karena realitasnya kedaulatan sesungguhnya di tangan korporasi pendukung penguasa. Lagi pula, baik rakyat maupun penguasa atau pengusaha sama-sama manusia biasa yang penuh cela. Dampaknya tentu kekuasaan tirani dari penguasa dan oligarkinya. Sementara evaluasi dari masyarakat tidak diakomodasi. Maka, sistem pemerintahan dengan model seperti itu adalah sistem pemerintahan yang rusak.


Adapun sistem pemerintahan ideal adalah model pemerintahan yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan pada Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Yang berhak menetapkan hukum hanya Allah Swt. Aturan Islam meletakkan kedaulatan (as-siyadah) di tangan Allah Swt. dan Islam memberikan kekuasaan (as-sulthan) ada di tangan umat (rakyat). Sehingga, kedaulatan dan penerapan hukum benar-benar terjaga tanpa bisa diintervensi siapa pun. Itulah sistem pemerintahan Islam.


Aturan Islam menjadikan iman dan takwa sebagai pelindung bagi setiap muslim, tidak terkecuali para pemimpinnya. Khalifah akan senantiasa berpegang pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Pemimpin dalam Islam akan menerapkan syariat Islam secara kafah. Jadi, tidak ada tarik-menarik kepentingan di dalamnya. 


Rakyat memilih penguasa atas dasar saling rida. Penguasa dipilih untuk menjalankan syariat Islam, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Pemilihan pemimpin dalam Islam tidak perlu dana besar untuk riswah (suap) dengan bagi-bagi sembako, baju, uang maupun janji-janji palsu. Walhasil, ketika penguasa dan rakyat sama-sama taat pada aturan Allah Swt., kesejahteraan dan rahmatan lil alamin lah yang akan di dapat.


Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang suami memimpin keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang hamba (buruh) pemimpin harta milik majikannya akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkan bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari)


Untuk pengangkatan kepala daerah (gubernur/wali, amil) dalam aturan Islam dipilih langsung oleh Khalifah. Wali/amil merupakan penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat sebagai penguasa menurut Islam, yaitu muslim, laki-laki, merdeka, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Wali/amil tidak diangkat, kecuali oleh Khalifah.


Mereka harus memiliki kelayakan, kemampuan, dan kecakapan untuk memegang urusan pemerintahan, berilmu, dan tidak diragukan ketakwaannya. Rasulullah saw. memilih para wali dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya. Selain itu, mereka juga mampu menjaga akidah rakyat dengan keimanan dan ketakwaan serta menjaga kemuliaan negara.


Wali/amil diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat umum maupun khusus. Diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat khusus jika berpotensi menimbulkan kemudaratan dan bahaya bagi negara. Kepala daerah tidak dibebankan masalah militer, peradilan, dan keuangan negara. Urusan tersebut dipegang oleh struktur tersendiri. Khalifah akan langsung memantau bagian tersebut.


Khalifah wajib melakukan evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas para wali dengan pengawasan ketat, serta memeriksa mereka. Khalifah wajib berkoordinasi dengan para wali dan melakukan monitoring urusan mereka, sekaligus menampung keluhan/aspirasi masyarakat atas kinerja para wali.


Khalifah dapat memberhentikan wali jika dipandang perlu. Dilakukan pula apabila penduduk di suatu wilayah atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut tidak rida dan tidak suka terhadap walinya. Khalifah juga berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apa pun. 


Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa: 65)


Oleh karena itu, selama sistem demokrasi yang diemban penguasa maka siapa pun penguasa yang terpilih tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Jika negeri ini, khususnya Jakarta ingin mendapatkan kebaikan dan keberkahan, maka sudah saatnya baik penguasa maupun rakyat kembali pada aturan Ilahi Rabbi. Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar