Kala Pilkada Menjadi Ajang untuk Meraih Kekuasaan dan Jabatan




Siti Rima Sarinah

(Aktivis Dakwah) 



- Kekuasaan adalah amanah yang tidak semua orang mampu untuk mengembannya. Apalagi bila kekuasaan tersebut terkait dengan pengurusan urusan rakyat. Jika terjadi satu saja kelalaian pada perkara tersebut, maka sangatlah berat pertanggungjawabannya. Sehingga seseorang yang menganggap dirinya layak untuk menjadi pelayan umat, harus dipastikan dirinya memenuhi syarat kelayakan untuk menjalankan amanah tersebut.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan ajang untuk menyeleksi pasangan calon (paslon) yang akan mengemban amanah kekuasaan untuk mengurusi rakyat. Kota Hujan Bogor adalah salah salah kota di Indonesia yang akan mengadakan pilkada pada 27 November 2024 mendatang. Ada 5 paslon yang sudah mendaftar ke KPU untuk menjadi Walikota dan Wakil Walikota Bogor periode 2024-2029. Kelima paslon ini siap berlaga dalam kontestasi politik nanti. 

Dilansir tribunnewsBogor (07/09/2024), lima paslon tersebut adalah Dedie Rachim-Jenal Mutaqin; Sendi Fardiansyah-Melli Darsa; dr. Raendi Rayendra-Eka Maulana; Rena Da Frina-Teddy Risandi; dan Atang Trisnanto-Annida Allivia. Masing-masing paslon diusung oleh partai dan memiliki berbagai background serta jejak karir yang mentereng pula. Mulai dari pengusaha, pengacara, anggota legislatif 2024, hingga mantan security akan berkompetisi untuk menjadi orang nomor satu di Kota Hujan Bogor. Tak tanggung-tanggung untuk mendapatkan jabatan tersebut, mereka rela meninggalkan karir dan jabatan yang sedang diduduki saat ini. 

Antusiasme paslon untuk menduduki kursi kekuasaan dengan mengorbankan jabatan dan karir yang sudah mereka miliki adalah hal yang biasa. Pasalnya, dalam sistem kapitalisme menjadi penguasa memiliki daya tarik yang luar biasa. Mengorbankan jabatan dan karir yang sudah ada, tidaklah dianggap akan membuat mereka rugi. Sebab tatkala kursi kekuasaan menjadi orang nomer satu bisa diraih, maka akan ada begitu banyak keuntungan yang mereka dapatkan, bukan hanya kekuasaan, tetapi juga harta dan tahta.

Tidak dipungkiri dalam sistem politik kapitalisme selalu diwarnai persaingan bebas. Setiap orang yang mencalonkan diri sebagai calon walikota tentu memerlukan dana yang sangat besar dan hal ini hanya bisa diakses oleh orang yang memiliki modal besar atau didukung oleh pemilik modal besar. Bagi pemilik modal, kekuasaan tak ubahnya investasi. Oleh karena itu mereka rela menggelontorkan dana yang besar dengan harapan memenangkan kekuasaan yang nantinya akan mendatangkan keuntungan bagi bisnis mereka. Maka wajarlah apabila kebijakan dan undang-undang yang diterapkan saat ini banyak memberikan keuntungan bagi para pengusaha, contohnya seperti UU Cipta Kerja. Penguasa terpilih yang merasa 'berhutang budi' tentu akan tunduk dan patuh menuruti semua keinginan sang pemilik modal.

Fakta ini seharusnya menyadarkan para paslon, yang notabene mereka adalah muslim, bahwa haram hukumnya untuk menjadi penguasa dalam sistem kapitalisme. Karena kapitalisme bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Penguasa dalam naungan sistem kapitalisme hanyalah 'boneka' untuk melaksanakan semua keinginan pemilik modal.

Berbeda halnya dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, dan keberadaan pemimpin  sangatlah penting. Pemimpin atau penguasa ibarat seorang ayah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarganya. Bukan hanya memberikan tempat tinggal yang layak, juga memastikan terpenuhinya semua kebutuhan anggota keluarga, keamanan, dan lain sebagainya. Begitulah gambaran seorang penguasa dan betapa besar pengaruh seorang penguasa terhadap nasib rakyatnya.

Pemimpin/penguasa berkewajiban melakukan pengurusan terhadap seluruh urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, "Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhari)

Mengurus rakyat antara lain menjaga, memelihara akidah, darah, kehormatan, kekayaan, dan urusan kehidupan rakyat yang lainnya. Oleh karena itu, Allah Swt. mengecam keras pemimpin yang lalai dalam melaksanakan tugasnya dan mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan urusan rakyat. Apalagi pemimpin yang korup dan berlaku curang terhadap rakyat. Rasulullah saw. telah mengingatkan dalam sabda beliau, "Tidak ada seorang hamba yang diamanahi oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyat, kecuali Allah mengharamkan surga atas dirinya.” (HR ath-Thabrani). 

Rasulullah saw. pun pernah memberikan nasihat kepada Abu Dzarr, dan tentunya menjadi nasihat bagi para pemimpin/penguasa saat ini. Dari Abu Dzarr r.a., ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu Beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda: “Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR Muslim no. 1825)

Di sinilah pentingnya menyadarkan umat tentang sosok pemimpin yang seharusnya mereka pilih. Dan hanya dalam sistem Khilafah, satu-satunya sistem yang mampu melahirkan dan mencetak pemimpin yang amanah dan memahami tanggung jawab serta konsekuensinya apabila melalaikan amanah tersebut akan mendapatkan azab yang sangat pedih. Sehingga ia akan mengemban amanah dengan sungguh-sungguh demi mendapatkan rida dari Rabb-nya. Tak sedikit pun terbersit ingin memanfaatkan amanah kepemimpinannya untuk mendapatkan harta dan tahta.

Terbukti dalam rentang sejarah berabad-abad lamanya umat muslim dipimpin oleh pemimpin yang amanah, dan rakyatnya pun hidup sejahtera, aman dan nyaman. Karena tugas dan fungsi utama pemimpin adalah untuk menjadi pelayan rakyat dan senantiasa hadir di tengah-tengah rakyat untuk menyelesaikan semua persoalan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya. Maka sosok pemimpin seperti apakah yang  seharusnya hadir di tengah umat: Islam atau kapitalisme?[]

Posting Komentar

0 Komentar