Kapitalisasi Lingkungan di Balik Kendaraan Listrik

 


Oleh: Abu Nadzifah

ANALISIS — Beberapa tahun terakhir diwarnai dengan mulai ramainya eksistensi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di jalanan Indonesia. Mobil-mobil listrik, yang ditandai dengan pelat nomor berwarna biru di bagian bawah, mulai tampak di jalan raya. Lebih banyak lagi adalah sepeda elektrik, yang memiliki harga cukup terjangkau dan tidak perlu registrasi plat nomor kendaraan.

Merek-merek EV baru pun bermunculan, termasuk di antaranya produsen lokal (Polytron) yang menawarkan berbagai jenis produk sepeda dan sepeda motor elektrik. Sementara itu, pemain lama di industri mobil nasional (Hyundai ataupun Nissan) dan pemain baru (Wuling dan BYD), turut terlibat dalam penjualan mobil elektrik.

Mulai merebaknya EV ini bukan tanpa alasan. Kendaraan bermotor konvensional yang berbasis pada mesin pembakaran dalam (internal combustion engine vehicle/ICEV), baik mesin bensin maupun diesel, menggunakan energi fosil berbentuk BBM sebagai bahan bakar. Pembakaran energi fosil melepaskan berbagai jenis polutan ke udara, termasuk utamanya adalah karbon dioksida (CO2). Lepasan CO2 ke atmosfer menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang berdampak ke seluruh dunia dan memuncak pada berbagai bencana iklim parah.

Sektor transportasi—yang hampir sepenuhnya mengandalkan energi fosil—berkontribusi dalam 24% emisi CO2 global. Hampir 3/4 dari emisi sektor transportasi disumbangkan oleh transportasi darat, dibandingkan 11,6% dari transportasi udara dan 10,6% dari transportasi laut. Dari sini, porsi transportasi darat terhadap emisi CO2 bisa dikatakan signifikan sehingga patut untuk ditangani.

EV ditawarkan sebagai solusi untuk menurunkan emisi transportasi darat ini. Dengan mesin elektrik, EV tidak mengeluarkan emisi CO2 ketika beroperasi. Konsumsi energi pun diklaim lebih hemat dibandingkan mesin ICEV. Pemborosan BBM yang terjadi ketika mobil dan motor terjebak kemacetan pun dapat dikurangi sehingga lepasan CO2 berkurang dan konsumsi BBM dapat dikurangi.

Namun, apakah EV sungguh-sungguh dapat menjadi “panasea” untuk mengatasi masalah transportasi di Indonesia, baik terkait kemacetan maupun polusi?

Mengapa Kendaraan Listrik?

Di tengah dengungan terkait EV, perlu ada penelaahan terkait alasan EV disuarakan sebagai alternatif ramah lingkungan dari ICEV. Dari segi mekanisme kerja, EV menggunakan motor elektrik yang listriknya disuplai dari baterai. Penggunaan motor elektrik membuat EV memiliki torsi tinggi sehingga akselerasi jauh lebih cepat daripada ICEV. Walau demikian, kecepatan puncaknya cenderung rendah karena tenaga mesin juga rendah.

Tersebab menggunakan motor elektrik, efisiensi sistem elektrik-kinetik cenderung tinggi, hingga 95%. Jika efisiensi termal-elektrik PLTU 40%, efisiensi sistem keseluruhan adalah 38%. Nilai efisiensi ini lebih tinggi dibandingkan dengan ICEV bensin (25%) dan diesel (30%). Efeknya, konsumsi energi lebih rendah. Dengan asumsi konsumsi bensin 1:12, maka konsumsi energi spesifik mobil bensin sekitar 1,074 kWh per km. Sebagai perbandingan, EV memiliki konsumsi energi spesifik hingga serendah 0,21 kWh per km.

Oleh karena konsumsi energi lebih rendah, emisinya juga diklaim lebih rendah, bahkan dalam kondisi jaringan listrik didominasi energi fosil sekalipun. Mengambil contoh EV high-end dibandingkan dengan ICEV menggunakan asumsi emisi spesifik listrik Indonesia 800 g CO2/kWh, maka EV menghasilkan emisi CO2 2,4 kg lebih rendah per 100 km jarak tempuh. Dalam jaringan listrik yang lebih bersih, selisihnya akan lebih drastis lagi.

Di sisi lain, EV membutuhkan baterai untuk menyimpan energi. Dibandingkan dengan bensin atau solar, baterai memiliki daya tampung energi jauh lebih rendah. Baterai litium-ion, yang memiliki kepadatan energi paling tinggi, memiliki daya tampung energi 0,25 kWh per kg. Sebagai perbandingan, per liter bensin memiliki kandungan energi hingga 12,89 kWh. Daya tampung jauh lebih rendah ini membuat kebutuhan baterai menjadi sangat banyak, sehingga menambah bobot kendaraan.

Harga baterai pun mahal sehingga hampir setengah dari harga jual EV disumbangkan dari baterainya. Baterai ini pula yang menyebabkan EV dengan spesifikasi mesin setara ICEV memiliki harga lebih mahal. Mengisi ulang baterai pun jauh lebih lama dibandingkan mengisi bensin, bahkan menggunakan teknologi fast charging sekalipun. Kombinasi hal ini membuat EV memiliki kepraktisan penggunaan lebih rendah dibandingkan ICEV, serta membatasi jarak tempuh EV.

Dengan demikian, klaim ramah lingkungan dari EV pada dasarnya dilandaskan pada efisiensi sistem mesin EV yang lebih tinggi dari ICEV, sehingga dapat menurunkan lepasan polusi ke atmosfer sekalipun dengan kondisi kelistrikan penuh energi fosil. Penurunan ini akan jauh lebih signifikan pada jaringan listrik yang didominasi energi bersih, seperti yang tersedia di Prancis dan Swedia. Hal ini akan menurunkan volume emisi CO2 ke atmosfer, yang telah terbukti menyebabkan perubahan iklim.

Namun, klaim tersebut belum mempertimbangkan isu lingkungan baru dari produksi baterai secara massal. Komponen kritis baterai, seperti litium, nikel, dan kobalt, saat ini diproduksi dengan metode yang menyebabkan dampak lingkungan cukup signifikan dan emisi CO2 yang tidak kalah besar. Pasalnya, komponen-komponen kritis tersebut diproduksi di negara-negara yang energinya didominasi oleh energi fosil, seperti Australia, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo.

Secara umum, EV ditawarkan sebagai salah satu solusi transportasi ramah lingkungan. Namun, karakteristik ini tidak menjawab isu terkait keruwetan sektor transportasi publik dan kemacetan akibat populasi kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan.

Reality Check: Kapitalisasi Bencana Lingkungan

Telah dipahami dari penjelasan sebelumnya bahwa promosi gencar terkait EV ini merupakan respons terhadap isu perubahan iklim. Hal ini diperkuat dengan ikrar terhadap net zero emission (NZE) yang pada dasarnya mengharuskan negara-negara yang berikrar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) mereka pada rentang waktu tertentu, biasanya antara 2050—2060.

Indonesia sendiri berencana untuk mencapai NZE pada 2060, dan rencana transisi energinya tengah dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Walau belum ada draf resmi, dalam berbagai presentasinya, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), mengetengahkan pentingnya elektrifikasi. Bahkan, Kementerian ESDM membuka program konversi motor bensin ke motor elektrik secara gratis.

Selain konversi motor elektrik, pemerintah juga menyubsidi motor listrik sebesar Rp7 juta, dengan harapan animo masyarakat untuk membeli motor listrik makin besar. Tidak hanya itu, mobil listrik pun disubsidi dengan nilai antara Rp25 juta—Rp80 juta. Total, pemerintah berencana menggelontorkan hingga Rp7,3 triliun untuk menyubsidi harga EV yang saat ini masih relatif mahal dibandingkan ICEV.

Namun, apakah meningkatkan penggunaan EV akan sungguh-sungguh membantu mengatasi isu krisis iklim?

Merujuk pembahasan sebelumnya, EV memiliki sedikit keunggulan penurunan emisi dibandingkan ICEV, bahkan dalam kondisi emisi kelistrikan Indonesia yang sangat tinggi. Namun, ketika diterjemahkan ke angka-angka riil, keunggulan tersebut terlihat tidak terlalu berarti. Ini jika mengambil contoh bahwa pada tiap tahunnya terjual 10 ribu mobil EV berdaya kecil, yang mana mobil EV tersebut akan menggantikan mobil ICEV dengan kisaran yang sama. Penurunan emisi dari penjualan EV tersebut, dengan asumsi pemakaian 15.000 km/tahun, setara sekitar 4.000 ton CO2 per tahun atau mengganti 0,52 MW elektrik PLTU batu bara tiap tahunnya. Sangat tidak signifikan.

Bagaimana kalau dimaksimalkan? Data dari Gaikindo, penjualan mobil sepanjang 2023 sebesar 1 juta unit. Jika diasumsikan bahwa semua mobil terjual adalah EV, menggunakan data baseline di atas, maka hanya 51,63 MWe PLTU batu bara yang tergantikan. Sebagai catatan, kompleks PLTU Suralaya memiliki daya total 4.000 MWe.

Jadi, sekalipun EV dipaksakan penjualannya dengan kondisi kelistrikan Indonesia yang dominan batu bara, penurunan emisi yang dihasilkan sama sekali tidak berarti.

Tidak hanya itu, secara ekonomi pun sama sekali tidak efisien. Menggunakan nilai baseline Rp300 juta untuk EV entry level, maka biaya reduksi emisi GRK spesifik kurang lebih Rp750.000 per kg-tahun. Sebagai perbandingan, jika PLTU Suralaya diganti sepenuhnya oleh PLTN, mengambil baseline dari PLTN Barakah di Uni Emirat Arab dengan daya 5.400 MWe dengan nilai kontrak USD24 miliar, maka biaya reduksi emisi GRK spesifik hanya sekitar Rp9.200 per kg-tahun, atau hanya 1,22% dari EV.

Hal ini belum mempertimbangkan embodied emission dari produksi baterai yang tidak dihitung dalam kalkulasi emisi sebelumnya dan nilainya sulit diestimasi karena pabrikan tidak transparan terkait nilainya. Jika embodied emission turut dipertimbangkan, benefit dari penurunan emisi oleh EV makin marginal.

Dari analisis ini, jelas bahwa EV nyaris tidak memiliki signifikansi dalam mengurangi dampak lingkungan dari emisi GRK. Dengan kata lain, dampak positifnya terhadap isu krisis lingkungan nyaris tidak tampak. Bahkan, jika memahami fakta kerusakan lingkungan akibat industri komponen baterai, khususnya kobalt, litium, dan nikel, ekspansi EV besar-besaran justru akan membawa bencana ekologis baru. Limbah baterai terkategori sulit dikelola dan beracun, sedangkan bahan mentah untuk produksi baterai ditambang dengan dampak lingkungan yang mengerikan.

Lantas, mengapa EV begitu didewakan seolah-olah memiliki signifikansi luar biasa dalam penyelamatan lingkungan?

Realitasnya, propaganda soal EV tidak lebih dari kapitalisasi dari krisis lingkungan. Mengetahui bahwa energi fosil telah menyebabkan perubahan iklim, maka dicarilah alternatif untuk mengatasi isu tersebut. Namun, infrastruktur energi saat ini sudah terlalu bergantung pada energi fosil dan mengubahnya menjadi energi alternatif akan sangat sulit serta mahal. Selain itu, industri energi fosil yang sudah menguasai pasar selama puluhan tahun tidak mau begitu saja melepaskan dominasi mereka di dunia energi.

Walhasil, yang mereka lakukan adalah menciptakan red herring untuk mengalihkan isu, salah satunya adalah EV. Dari sini, EV dipropagandakan sebagai alternatif “ramah lingkungan” dari ICEV. Dengan menggunakan red herring ini, bisnis energi fosil masih akan tetap terjaga karena di satu sisi energi fosil masih digunakan pada sektor kelistrikan, di sisi lain migas masih akan tetap digunakan secara massal karena industri EV tidak mampu mengejar permintaan dan menjaga keberlanjutan industrinya, khususnya baterai.

Sektor kelistrikan Jawa-Madura-Bali saat ini sedang mengalami surplus produksi listrik. Oleh karena tidak bisa disimpan, lebihan listrik harus dibuang (curtailment) atau produksinya dikurangi. Hal ini akan merugikan PLN, karena kapasitas listrik PLN-lah yang dikorbankan. Dengan menambah populasi EV, konsumsi listrik akan meningkat dan mengurangi kerugian akibat curtailment. Artinya, alih-alih menekan swasta, pemerintah lebih memilih berbisnis dengan rakyatnya sendiri untuk menutupi kerugian yang mereka sebabkan sendiri. Dari sini, tampak bahwa pemerintah begitu lemah di hadapan para oligarki kelistrikan swasta.

Subsidi besar-besaran terhadap EV pun menunjukkan bahwa negara tidak sungguh-sungguh serius mengatasi masalah lingkungan, apalagi transportasi. Jika benar-benar serius, seharusnya negara fokus pada solusi yang paling efektif dan efisien, yakni konversi energi, bukan bagian-bagian receh sebagaimana EV. Penguasa lebih berpihak pada oligarki bisnis yang mengapitalisasi isu lingkungan demi keuntungan pribadi dan kroni-kroni bisnisnya. Subsidi triliunan pada pabrikan EV adalah salah satu buktinya.

Alih-alih menggunakan dana triliunan untuk memperbaiki sistem transportasi umum yang notabene lebih mendukung aktivitas commuting masyarakat dan mengurangi pemborosan BBM akibat kemacetan, pemerintah malah menyubsidi EV yang sama sekali tidak mengurai masalah transportasi masyarakat dan hanya memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain.

Jelaslah bahwa keramaian terkait EV belakangan ini adalah bentuk kapitalisasi isu lingkungan. Walau concern terkait isu lingkungan memang ada, tetapi tidak ada keseriusan untuk mengatasinya. Yang ada, isu lingkungan ini justru dimanfaatkan untuk membuka lini bisnis baru dan meraup keuntungan di tengah kerusakan lingkungan yang mengancam seisi planet. Pada waktu yang sama, menyebabkan kerusakan ekologi baru dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah kekacauan sektor transportasi.

Bagaimana Islam Mengatur Industri Transportasi

Islam mengatur segala aspek kehidupan, baik aturan tersebut dipahami dari dalil yang menunjukkan secara langsung terkait aspek tersebut maupun yang dipahami dari turunan dalil-dalil yang bersifat umum (mujmal). Terkait aspek transportasi, secara umum hal ini diatur dari dalil terkait kepengurusan umat yang merupakan tugas Khalifah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah penggembala, dan tiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Hal ini karena transportasi merupakan salah satu kebutuhan penting umat manusia, khususnya pada abad 21 ketika populasi manusia jauh lebih banyak daripada 13 abad yang lalu dan mobilitas antardaerah jauh lebih tinggi. Manusia membutuhkan transportasi yang cepat, efisien, dan akomodatif untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain, utamanya dari kediaman ke tempat kerja maupun lokasi pendidikan.

Penggunaan transportasi pada abad 21, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akan menyebabkan disrupsi pada alam dalam bentuk pencemaran udara dan deplesi sumber daya. Terkait dampak lingkungan dari aktivitas manusia, Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-A’raf: 56).

Di sisi lain, Allah Swt. telah menundukkan alam semesta untuk kebutuhan manusia, sebagaimana firman-Nya, “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada di demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Al Jatsiyah: 13).

Sementara itu, terkait kepemilikan dari sumber daya di alam semesta ini, Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, (yakni) air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Yang termasuk api dalam hadis ini adalah segala sesuatu yang menghasilkan energi kalor. Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ telah menarik kembali tambang garam yang sebelumnya diberikan pada ‘Abyadh bin Hammal karena cadangan garam di tambang itu jumlahnya melimpah.

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Juga diungkapkan dalam kaidah syar’iyyah, “Bahaya harus dihilangkan.”

Dari semua dalil ini, yakni terkait kewajiban khalifah untuk mengurusi urusan masyarakat, ditundukkannya alam semesta untuk manusia dan larangan menyebabkan bahaya, maka prinsip fundamental dari pengelolaan aspek transportasi dalam Islam adalah khalifah wajib memfasilitasi sektor transportasi bagi rakyatnya dengan cara tidak menyebabkan bahaya bagi alam semesta, manusia, dan kehidupan.

Turunan dari prinsip fundamental di atas adalah sebagai berikut.

Pertama, negara mengelola sepenuhnya sektor energi dan sumber daya mineral, baik secara langsung melalui BUMN, maupun dengan mempekerjakan sektor swasta. Hal ini bertentangan secara diametral dengan era kapitalisme neoliberal yang mana swasta diizinkan untuk memiliki dan mengelola sendiri sumber daya energi dan mineral. Akibatnya, umat terhalangi dari memiliki sumber daya yang seharusnya menjadi kepemilikan bersama, dan negara tidak bisa mengatur seperti apa sumber daya tersebut akan digunakan.

Dengan mengambil alih pengelolaan sumber daya energi dan mineral oleh negara, khalifah dapat mengatur aspek-aspek pertambangan sesuai dengan syariat Islam, alih-alih diatur oleh oligarki pertambangan.

Kedua, negara meregulasi aspek pertambangan sumber daya energi dan mineral dari front-end hingga back-end, termasuk pengelolaan limbah industri. Dengan demikian, dampak lingkungan yang disebabkan aktivitas pertambangan dapat diminimalkan sehingga disrupsi terhadap alam tidak menyebabkan bahaya signifikan. Khususnya pada sektor back-end, seluruh limbah dan tailing dari pertambangan sumber daya energi dan mineral harus dikelola dengan baik alih-alih dilepaskan begitu saja ke lingkungan. Hal ini krusial khususnya di bahan baku baterai EV.

Ketiga, negara tidak memberikan keistimewaan pada EV. Menggunakan EV tidak akan menyelamatkan lingkungan dari bencana iklim akibat pemanasan global dan perubahan iklim, maka tidak ada insentif untuk mengistimewakan peredaran EV, termasuk memberikan subsidi besar-besaran. Negara memberlakukan hukum pasar terkait ICEV dan EV, yakni peredaran diatur berdasarkan hukum pasokan dan permintaan. Hal ini untuk menjamin pemanfaatan sumber daya mineral yang lebih efektif dan efisien.

Keempat, negara mengatur seluruh mata rantai sektor transportasi agar meminimalisasi dampak lingkungan. Pada sektor front-end, negara mengatur penyediaan sumber energi untuk transportasi supaya ramah lingkungan. Untuk ICEV, maka BBM yang digunakan didesain agar ramah lingkungan, yakni dengan menggunakan bahan bakar sintetis (synfuel) yang disintetis dari hidrogen dan CO2 dengan jejak karbon rendah. Untuk EV, listrik disuplai dari sumber energi rendah karbon, utamanya nuklir. Pada back-end, khususnya EV, negara membangun fasilitas daur ulang baterai untuk memungut kembali komponen baterai yang masih bernilai untuk digunakan kembali.

Kelima, negara menyediakan transportasi umum yang memadai untuk commuting masyarakat. Jaringan transportasi umum yang menjangkau sebagian besar tempat tinggal masyarakat akan menurunkan kebutuhan akan kendaraan pribadi. Jika dibandingkan, jejak dampak lingkungan transportasi umum lebih rendah dibandingkan kendaraan pribadi. Alhasil, mengalihkan mayoritas transportasi dari transportasi pribadi ke transportasi umum akan menurunkan dampak lingkungan dari sektor transportasi secara cukup signifikan. Negara dapat menyubsidi transportasi komuter untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat.

Keenam, negara melakukan desentralisasi ekonomi untuk menumbuhkan ekonomi di daerah-daerah non-ibu kota secara memadai. Dengan demikian, SDM di daerah tidak melakukan urbanisasi berlebih ke daerah padat ekonomi. Lebih rendahnya kepadatan manusia dalam suatu wilayah akan mengurangi kemacetan yang berkontribusi pada tingginya polusi udara.

Dengan langkah-langkah tersebut, isu lingkungan yang saat ini dikapitalisasi oleh oligarki tambang dengan mengajukan solusi yang bukan solusi, yakni EV, dapat sungguh-sungguh diselesaikan. EV tidak lagi diperlakukan sebagai deus ex machina, melainkan hanya sebagai opsi transportasi biasa bagi masyarakat. Pengembangan jaringan transportasi umum oleh negara dapat mengurangi kebutuhan EV lebih lanjut sehingga sumber daya mineral kritis komponen baterai dapat dikelola secara lebih berkelanjutan.

Khatimah

Promosi EV besar-besaran tidak lebih daripada gimmick para kapitalis global sebagai kapitalisasi dari isu lingkungan terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam iklim kapitalis, EV tidak akan menjadi “Messiah” yang menyelamatkan bumi dari climate Armageddon, melainkan hanya akan membawa umat manusia dari satu krisis ekologi menuju krisis ekologi lain, yang bisa jadi lebih buruk. EV hanyalah fatamorgana; ilusi yang tidak akan mengantar umat manusia pada penyelamatan bumi.

Sesungguhnya, mencegah bencana lingkungan akibat perubahan iklim tidak hanya merupakan isu teknis, melainkan isu ideologis, yang bersumber dari keserakahan ideologi kapitalisme dalam mengeksploitasi SDA untuk memuaskan hasrat kebinatangan manusia-manusia tidak bertuhan. Ideologi Islam memiliki pemikiran fundamental yang dapat mengurai kerusakan lingkungan dari akarnya, serta tata aturan yang diturunkan dari fundamental tersebut akan menyelesaikan masalahnya hingga ke cabang.

Ideologi Islam itulah yang akan diterapkan oleh Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagai sistem kenegaraan warisan Rasulullah ﷺ yang akan membawa rahmat bagi semesta alam. Khilafah akan menjadi negara superpower satu-satunya yang dapat melakukan mitigasi bencana lingkungan secara sukses, alih-alih terjebak pada gimmick-gimmick teknis yang justru hanya akan menambah masalah alih-alih membereskannya. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar