Kelas Menengah Jatuh Miskin, _What_??



Hanin Syahidah S.Pd.

(Aktivis Dakwah)


- Kelas Menengah adalah kelompok mayoritas dan penopang kegiatan ekonomi terbesar di negeri ini. Namun, akhir-akhir ini kondisinya sangat terpukul. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah masyarakat kelas menengah terus menurun. Pada tahun 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta jiwa. Di bulan Agustus 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03 persen terjadi secara bulanan (month-to-month/mtm). Sementara itu, secara tahunan (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 2,12 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,06 (Viva.co.id, 12/9/2024).



Posisi kelas menengah dihantam dari berbagai sisi. Mulai dari tingginya tarif pajak, kenaikan harga barang konsumsi, kurangnya insentif dari pemerintah kepada kelas menengah hingga buruknya kinerja sektor manufaktur dalam negeri sehingga mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang masih terus terjadi. Di mana pada akhirnya kondisi ini membuat ekonomi strata ini semakin tertekan.



Dikutip dari keterangan resmi Grant Thornton Indonesia pada Minggu (15/9/2024), Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengungkapkan bukti nyata kelas menengah di Indonesia semakin tergerus. Andry membeberkan setidaknya ada tiga indikator utama. Pertama, data simpanan masyarakat di bank menunjukkan adanya penurunan tabungan pada kelompok terbawah ketika harga makanan pokok naik. Meski bantuan sosial (bansos) dari pemerintah sempat membantu meredam penurunan tetapi indeks belanja kelas menengah kenyataannya mengalami stagnasi.



Kedua, yang menunjukkan penurunan kelas menengah adalah turunnya penjualan produk konsumsi seperti rokok. Ketiga, yang menjadi bukti terlihat di sektor manufaktur. Di mana penjualan kendaraan bermotor anjlok karena minat masyarakat kelas menengah untuk membeli motor baru terus berkurang, termasuk juga pembelian mobil (Viva.co.id, 15/9/2024).



Ternyata kondisi ini juga dikaitkan dengan adanya deflasi selama empat bulan terakhir (Mei-Agustus 2024). Meskipun deflasi adalah merupakan penurunan harga barang dan jasa secara umum, sekilas tampak menguntungkan bagi konsumen. Akan tetapi jika itu terjadi berturut-turut di suatu negara, sedemikian rupa sebenarnya menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat sehingga sangat mungkin menimbulkan kegoncangan ekonomi dalam negara.



Ilustrasinya seperti ini, ketika harga barang-barang turun secara nasional, pemerintah tidak cukup melihat hanya dengan kacamata konsumen, sebab dalam skala nasional yang terlibat dalam kegiatan ekonomi tidak hanya konsumen, tetapi juga produsen (pengusaha). Dalam hal ini pendapatan produsen juga ikut turun karena uang yang diterima lebih sedikit (barang produksi banyak yang tidak terserap pasar (tidak laku), istilahnya over produksi. Dengan demikian produsen mengalami dilema. Pilihannya, kalau tidak menurunkan harga, barangnya tidak laku (rugi). Sedangkan kalau dia menurunkan harga jual nantinya tidak akan menutupi besaran dana biaya produksi (rugi juga).



Oleh karena itu, biasanya untuk menghemat biaya produksi yang dilakukan pengusaha adalah  melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Kalau itu terjadi secara nasional, maka judulnya adalah PHK massal. Secara otomatis pengangguran meningkat dan daya beli masyarakat terus turun. Kondisi ini sejatinya sangat tidak baik- baik saja. Maka bagi masyarakat umum, 'mengencangkan ikat pinggang' dengan hidup hemat bisa jadi solusi jangka pendek. Biasanya dengan menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang tidak penting, atau tidak bernilai investasi.



Realisasinya sudah banyak terjadi, contohnya saat ini harga barang-barang yang bernilai investasi seperti emas mengalami kenaikan yang signifikan. Kalau tingkat masyarakat yang punya penghasilan mungkin bisa berhemat, bagaimana masyarakat yang penghasilannya pas-pasan? Bisa dipastikan jatuh miskin. Kemudian masyarakat yang tidak punya penghasilan atau sudah miskin pasti bertambah merana dan menderita.



Begitulah fakta yang terjadi, semakin berat saja hidup dalam sistem kapitalisme ini. Seolah semakin hari masalah selalu ada seperti benang kusut yang tidak pernah terurai, satu waktu inflasi, satu waktu deflasi. Semua sebenarnya bermuara pada sistem kapitalisme.



Dalam sistem ini, melemparkan distribusi hanya kepada mekanisme pasar, padahal terlalu banyak invisible hands bermain di dalamnya. Termasuk konsep kesejahteraan  hanya dilihat secara agregat, bukan individu per individu. Apakah rakyat mampu membeli barang dan jasa di pasar ataukah tidak? Dalam sistem kapitalisme itu tidak menjadi perhatian.



Hal ini sangat berbeda dengan Islam di mana negaralah yang memegang distribusi barang dan jasa. Negara memastikan individu per individu rakyat terpenuhi segala kebutuhannya (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan). Semua diberikan negara kepada rakyat dengan murah bahkan gratis.



Sungguh kita pernah mendengar bagaimana kisah yang sangat masyhur terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri gandum dan daging yang diambil di Baytulmaal kemudian memasakkan seorang ibu dan anak-anaknya yang kelaparan, hanya memasak batu karena tidak mampu membeli makanan. Begitu indahnya Islam, ketika pemerintahnya menjadi pengurus urusan rakyatnya, mereka hadir dan memastikan kesejahteraan rakyat orang per orang.



Kondisi yang jauh berbeda dengan kapitalisme  saat ini. Rakyat yang kaya semakin kaya dan hura-hura, sedangkan kelas menengah tergencet jatuh menjadi miskin, dan yang miskin semakin terlunta-lunta. Terakhir,  apakah sistem kapitalisme yang semakin mencekik ini akan terus dipertahankan? Tidak inginkah kita melihat satu sistem yang lebih baik yang berasal dari Allah Swt. untuk kemuliaan manusia di dunia dan akhirat?



Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah al-Maidah ayat 50 yang artinya, "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"  Wallahualam bissawab.



Posting Komentar

0 Komentar