Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama — Menjelang akhir masa jabatan, Presiden Joko Widodo kembali menuai polemik karena kebijakan ekspor pasir berupa sedimentasi. Baru-baru ini Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No. 22/2023 tentang "Barang yang Dilarang untuk Diekspor" dan Permendag No. 21/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No. 23/2023 tentang "Kebijakan dan Pengaturan Ekspor". Salah satu ketentuan yang diatur terkait pemanfaatan sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk ekspor—selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku—dengan batasan.
Pasal karet di atas kemudian menimbulkan kegaduhan terutama di kalangan pencinta lingkungan karena berpotensi merusak ekosistem laut. Malah, Jokowi menegaskan bahwa pemerintah hanya membolehkan ekspor sedimen jalur laut yang mengganggu jalur kapal. Ia juga menambahkan tidak ada izin ekspor untuk raw material seperti pasir dan silika yang dibutuhkan untuk penghiliran industri (antaranews.com, 23/09/2024). Di lain kesempatan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan keputusan tersebut diambil melalui pertimbangan yang cukup matang. Adapun terkait ekspor pasir laut ini lebih difokuskan pada pengelolaan sedimen yang harus dikeruk untuk mencegah kapal terjebak atau kandas di area perairan (cnbcindonesia.com, 17/09/2024).
Perlu kita tekankan bahwa sedimen laut dapat berupa campuran dari pasir, kerikil, lumpur hingga lempung. Sedangkan komponen sedimen laut yang memiliki nilai jual adalah pasir dengan kriteria tertentu, mengandung kandungan material berharga seperti kalsium karbonat, emas, perak ataupun silika dengan tidak melebihi batas tertentu. Dengan demikian jelas bahwa ketika kita berbicara ekspor sedimen laut sama saja dengan ekspor pasir laut bukan komponen lainnya. Namun, lagi-lagi rezim berkilah dengan menyatakan bahwa izin ekspor pasir yang masuk ke dalam komponen sedimen laut adalah untuk melakukan pembersihan dan pengendalian sedimentasi.
Dari sini terlihat jelas ada upaya greenwashing oleh pemerintah, membungkus kebijakan merusak alam dengan klaim pemulihan lingkungan. Meski diiklankan sebagai langkah 'perapihan' ekosistem laut sebagian besar isi regulasi ini lebih fokus pada mekanisme perizinan dan penambangan pasir daripada upaya pelestarian lingkungan. Artinya, kebijakan rezim terkait ekspor sedimen laut hanyalah akal-akalan penguasa untuk melegalkan eksploitasi tambang laut secara masif di wilayah perairan Indonesia.
Bagaimanapun juga, pengerukan pasir laut akan memicu dampak buruk terhadap lingkungan. Aktivitas tambang pasir tidak hanya berpotensi besar merusak ekosistem laut tetapi juga beresiko mengubah struktur dasar laut yang secara langsung memengaruhi pola arus laut dan memperbesar gelombang. Pengerukan pasir secara berlebihan juga memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil yang membahayakan keberlangsungan hidup rakyat di pesisir pantai. Aktivitas tambang pasir merusak wilayah tangkap nelayan yang kemudian berpotensi mengancam keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir. Dalam jangka panjang, ekspor pasir laut bahkan dapat menyebabkan kelangkaan pangan yang bersumber dari laut.
Kerugian yang dialami negeri ini akibat dari pengerukan pasir laut nyatanya tidaklah sedikit. Menurut catatan Walhi, nelayan kehilangan Rp80,4 miliar dalam 257 hari akibat penambangan pasir laut oleh PT Boskalis, di Pulau Kodingareng, Sulawesi. Sedangkan di Bangka Belitung sejak tahun 2001, 300.000-500.000 ton pasir diekspor setiap bulan ke Singapura, menyebabkan kerusakan ekosistem, termasuk hilangnya 5.720 hektar terumbu karang dan 240.000 hektar mangrove. Penambangan pasir juga memicu korupsi dan konflik dengan masyarakat adat, mengancam 3.000-4.000 orang nelayan di Lampung, yang merupakan produsen besar rajungan. Lebih dari itu, Indonesia berpotensi kehilangan blue carbon di ekosistem pesisir, yang mencapai 3,4 Giga Ton, sekitar 17% dari karbon biru dunia (suara.com, 28/09/2024).
Jika kita melihat kepentingan pasar impor pasir laut internasional, kuat dugaan adanya permainan politik dan bisnis negeri tetangga kita, Singapura. Selama puluhan tahun negeri Singa memang menjadi salah satu konsumen terbesar impor pasir laut global karena memiliki proyek besar reklamasi lahan. Sepanjang sejarahnya, dua negara utama yang memasok pasir laut untuk proyek reklamasi Singapura adalah Indonesia dan Malaysia. Menariknya, kedua negara tersebut tampak bergantian menjadi pemasok utama bagi Singapura sesuai kondisi hubungan diplomatik antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada waktu tertentu.
Sebelum adanya larangan ekspor pasir laut, pasir-pasir impor untuk Singapura diambil dari gugusan pulau di sekitar Kepulauan Riau (Kepri), dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 hingga tahun 2002. Sedangkan volume ekspor pasir ke Singapura secara keseluruhan bisa mencapai 250 juta meter kubik per tahun. Dari pengerukan pasir di wilayah Kepri saja Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 26 pulau kecil telah menghilang karena erosi pantai. Saking masifnya aktivitas pengambilan pasir di Kepri, daratan Pulau Nipah yang masih masuk wilayah Batam nyaris tenggelam karena abrasi.
Oleh sebab itu, pintu ekspor pasir laut ditutup pada tahun 2003 silam melalui Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 di masa kepemimpinan Megawati karena merusak ekosistem laut dan mengurangi luas pulau-pulau terluar. Sejak saat itu, pemanfaatan pasir laut hanya diperbolehkan untuk kebutuhan dalam negeri terutama dalam proyek reklamasi. Hanya saja takbisa dimungkiri bahwa sekalipun telah dilarang, pasir laut masuk ke dalam komoditas ekspor yang diperjualbelikan secara ilegal. Hingga kemudian pemerintah menegaskan larangan ekspor pasir laut dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 02/M-Dag/Per/1/2007.
Penegasan larangan ekspor pasir di tahun 2007 silam membuat pemerintah Singapura meradang. Kala itu, pemerintah Singapura menuding Indonesia sengaja menghentikan ekspor pasir laut untuk menekan negaranya agar bersedia bernegosiasi terkait perjanjian ekstradisi dan penetapan garis perbatasan. Singapura pun terpaksa mencari sumber pasokan pasir dari negara lain yaitu Malaysia. Hanya saja pada tahun 2019, Malaysia menghentikan pasokan pasir akibat dari sentimen negatif Perdana Menteri Mahathir Mohamad atas megaproyek reklamasi Singapura. Inilah yang mendorong negeri Singa beralih lagi ke Indonesia disertai berbagai manuver dan kontrak politik-ekonomi, termasuk kesepakatan Flight Information Region (FIR) dan kesepakatan soal ekstradisi yang baru-baru ini terjadi.
Keterlibatan Singapura dalam ‘ketok palu’ kebijakan ekspor pasir laut tampak nyata sejak pertengahan tahun lalu. Pihak Singapura sengaja menjatuhkan posisi daya tawarnya dengan menyerahkan tataniaga impor pasir ke negaranya kepada pemerintah asal, yaitu Indonesia. Negeri Singa bahkan bersedia memberikan kewenangan besar kepada Indonesia untuk menentukan aturan terkait impor, termasuk dalam konteks menentukan harga jual.
Singapura memang sedang membutuhkan pasokan pasir luat dalam jumlah besar. Hal tersebut untuk mendukung pihak Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura saat ini merencanakan dan merancang fase ketiga dari megaproyek Pelabuhan Tuas yang diharapkan akan selesai dalam waktu 20 tahun. Jika pembangunan Pelabuhan Tuas selesai pada tahap IV (empat), ia akan menjadi pelabuhan peti kemas tunggal terbesar di dunia yang mampu menangani hingga 65 juta TEUs setiap tahunnya atau dua kali lipat dari volume saat ini. Pelabuhan tersebut nantinya memiliki 115 ha dinding dermaga caisson serta 240 ha tambahan untuk ruang atas tanah. Pelabuhan baru ini diotomatisasi dan didigitalisasi, serta menggunakan kecerdasan buatan untuk mengoordinasikan operasi dengan lebih lancar seperti manajemen lalu lintas kapal dan izin pelabuhan (channelnewsasia.com, 21/08/2022).
Tidak hanya reklamasi untuk membangun Pelabuhan Tuas, sejak akhir tahun 2023, Singapura mengeluarkan wacana proyek reklamasi tiga bidang lahan di lepas pantai East Coast Park dalam beberapa dekade mendatang. Megaproyek ini digadang-gadang akan menciptakan sekitar 800 ha lahan untuk area perumahan, fasilitas umum hingga pembangunan waduk baru. Proyek reklamasi yang mereka sebut ‘Long Island’ merupakan respon Singapura terhadap ancaman naiknya permukaan air laut dan banjir daratan di wilayah Pantai Timur sekaligus mengantisipasi kebutuhan tempat tinggal bagi penduduknya (straitstimes.com, 29/11/2023).
Untuk memenuhi kebutuhan pasar Singapura inilah, pemerintah akhirnya bersedia membuka keran ekspor sedimen laut. Pemerintah telah menetapkan 7 (tujuh) lokasi pengerukan pasir laut
Demak dengan potensi volume hasil sedimentasi di laut sebanyak 1,72 miliar meter kubik, Surabaya dengan potensi sebanyak 399 juta meter kubik, Cirebon 621 juta meter kubik, Indramayu sebanyak 1,10 miliar meter kubik, Karawang 1,74 miliar meter kubik, Selat Makassar sebanyak 2,97 miliar meter kubik, dan Natuna-Natuna Utara di Kepulauan Riau sebanyak 9,09 miliar meter kubik. Anehnya dari total konsesi sebesar 17,65 miliar meter kubik, 51% berasal dari Natuna yang wilayahnya cukup berdekatan dengan Singapura sebesar 9,09 miliar meter kubik (bisnis.com, 23/09/2024). Hal inilah yang semakin menguatkan dugaan keterlibatan negeri Singa dalam ‘meng-goal-kan’ pembukaan keran ekspor pasir laut.
Dari paparan tersebut kita dapat melihat bagaimana negeri ini justru tunduk kepada negeri kecil semacam Singapura. Diplomasi antara Indonesia dan Singapura yang terjalin melalui jebakan utang (debt trap), telah benar-benar mengikat negeri ini untuk memuluskan kepentingan negeri Singa. Hal ini tidaklah mengherankan karena per Maret 2023 saja Singapura tercatat menjadi negara nomor 1 (satu) pemberi utang ke Indonesia dengan nilai mencapai US$57,38 miliar atau setara Rp.849,25 triliun (cnbcindonesia.com, 15/03/2023).
Sesungguhnya, bahaya ekspor pasir laut bukan hanya perkara dampak lingkungan ataupun untung-rugi ekonomi. Pengerukan pasir laut secara nyata mengerutkan daratan wilayah Indonesia dengan tenggelamnya pulau-pulau kecil di perbatasan. Di sisi lain daratan Singapura justru meluas sebagai hasil megaproyek reklamasi yang dilancarkan selama puluhan tahun lamanya, hingga lebih dari 25% luas daratan sejak sebelum Singapura merdeka dari Malaysia. Hal ini tentu saja akan memengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura, yang lambat laun berpotensi besar mengancam kedaulatan negara Indonesia.
Pada akhirnya, kebijakan ekspor pasir laut menambah deretan panjang kezaliman dan dosa penguasa yang menyengsarakan rakyat. Rezim lebih memilih berpihak kepada para cuan asing dan aseng ketimbang menyelamatkan kedaulatan negara dan kepentingan rakyat. Penguasa bahkan secara terbuka berdusta tatkala berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ini makin kentara bagaimana kebijakan pemerintah semisal ekspor pasir laut hanya dibuat untuk kepentingan oligarki terutama segelintir mafia laut dalam negeri dan cuan asing. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar