Ummu Zhafira
(Aktivis Dakwah)
Bekasi - Belum lama ini, Indonesia kedatangan Paus Fransiskus sebagai tamu agung. Kedatangan orang nomor satu di negara Vatikan tersebut merupakan kunjungan pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Tak sekadar datang, pemimpin Gereja Katolik dunia itu juga mengadakan Misa Agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan jemaat kristiani.
Atas kunjungan tersebut, Indonesia memberikan sambutan istimewa. Tak hanya masyarakat yang beragama Katolik, secara formal pemerintah pun demikian. Salah satu keistimewaan yang menuai polemik ialah soal imbauan mengubah azan magrib di seluruh stasiun televisi menjadi running text. Hal ini berawal dari surat permohonan dukungan kunjungan sang Paus yang dilayangkan oleh panitia.
Menanggapi hal ini, pihak Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), memberi saran agar misa bersama Paus Fransiskus disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Selain itu, ketika misa berlangsung, azan magrib disiarkan dalam bentuk running text saja (CNNIndonesia.com, 4/9/2024).
Sekretaris MUI Kota Bekasi, Hasnul Pasaribu, membenarkan adanya surat edaran dari Kementerian Agama dan Kominfo terkait hal tersebut. Menurutnya, penyiaran azan magrib lewat running text pada saat Misa Agung menunjukkan masyarakat Indonesia menghargai toleransi. Bahkan MUI pusat pun menyatakan tidak masalah dan keberatan terkait imbauan tersebut (RadarBekasi.id, 4/9/2024).
Sikap berlebihan dalam penyambutan kunjungan kali ini semakin kontroversial karena dibumbui adegan cium tangan, cium kening, hingga menjadikan Masjid Istiqlal sebagai tempat penyambutan. Selain itu, diperparah dengan peran media dalam mem-framing kesederhanaan sang Paus untuk mengesankan ada teladan yang baik kepada pimpinan negara Vatikan tersebut.
Sungguh, framing ini terlalu berlebihan, bukan hanya media melainkan juga sikap penguasa negeri ini serta imam masjidnya. Euforia dalam menyambut pimpinan agama Katolik ini, rasanya perlu sekali memosisikan makna toleransi yang tepat. Bahwasanya, pemuliaan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Toleransi adalah membiarkan dan tidak mengganggu ibadah serta kepercayaan agama lain, bukan berarti merendahkan ajaran Islam sendiri di hadapan mereka.
Terang sekali penjelasan hal ini dalam firman-Nya yang indah, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku." (QS al-Kafirun [109]: 1–6).
Momosisikan toleransi dengan merendahkan Islam di hadapan agama lain, sangat berbahaya. Dari serangkaian prosesi penyambutan Paus, justru tampak jelas mengarah pada sinkretisme, pluralisme, dan humanisme beragama. Ketiga ide tersebut sangat berbahaya bagi akidah umat, karena semua mengarah pada aktivitas mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, menganggap bahwa semua agama sama, hingga menghilangkan peran agama dari kehidupan.
Mestinya, kepala negara umat Islam bersikap sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. dalam menerima utusan atau kepala negara lain yang berkunjung. Rasul mengenakan jubah kebesarannya untuk menunjukkan keagungan Islam saat menerima para utusan. Anutan pula ketika beliau mengirimkan para utusan dengan membawa surat ajakan masuk Islam kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung, Raja Qibti Mesir, dan Raja Habasyah, tak ada pengagungan berlebih pada mereka.
Sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ini menampakkan bahwa Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi darinya. Memang benar, baginda Rasul memperlakukan para utusan dengan sopan. Namun begitu, tak ada satu pun sikap berlebihan yang kemudian beliau tampakkan sebagai bentuk toleransi yang kebablasan.
Kedatangan Paus Fransiskus ke negeri muslim terbesar di dunia ini seharusnya bisa menjadi momen berharga untuk menyiarkan Islam kepada pemimpin Gereja Katolik dunia itu. Penguasa semestinya menunjukkan bagaimana kebenaran ajaran Islam yang tercermin dalam setiap aspek kehidupan. Keagungan itu harus tampak jelas sehingga larik-larik cahaya Islam bisa menembus hati kaum kafir.
Selain itu, sebagaimana baginda Rasulullah saw. mencontohkan, kesempatan kunjungan Paus kali ini sudah selayaknya tak disia-siakan untuk mengajaknya pada Islam secara terang-terangan. Sayangnya, penguasa hari ini memang tak lagi menjadikan suri teladan terbaik itu sebagai anutan dalam bersikap. Mereka justru terjebak pada konsep toleransi yang keliru dan membahayakan akidah.
Tak ada pilihan lain agar masyarakat memahami dan mengamalkan indahnya toleransi yaitu dengan kembali pada sistem Islam. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara sempurnalah kehidupan antarumat beragama bisa terjaga tanpa mencederai akidah umat Islam itu sendiri. Sebab, Islam memang kebaikan bagi seluruh alam. Allah Swt. berfirman, "Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ [21]: 107)
0 Komentar