Meneropong Daya Beli Masyarakat yang Kian Terjun Bebas



Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#Telaah Utama - Daya beli masyarakat kian hari makin menurun. Deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut di tahun ini, pada Mei hingga Agustus mengindikasikan daya beli masyarakat yang melemah. Pada Agustus 2024, deflasi sebesar 0,03% terjadi secara bulanan (month-to-month/mtm) dan tahunan (year-on-year/yoy), pun terjadi inflasi 2,12% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,06. Deflasi sendiri adalah suatu kejadian ketika harga barang yang ada di pasaran menurun baik terjadi secara periodik maupun secara langsung atau bersamaan.  


Deflasi tampak menguntungkan bagi konsumen (masyarakat) karena harga barang-barang yang lebih rendah, justru merupakan fenomena makro ekonomi saat masyarakat sedang tidak berdaya membeli barang-barang kebutuhannya. Pada waktu yang bersamaan, deflasi yang terjadi di sebuah negara akan lebih berdampak pada pemilik usaha baik yang menyediakan barang maupun jasa karena produsen terus merugi akibat dari penurunan harga jual yang dibarengi dengan permintaan dan daya beli yang terus meningkat. Hal ini menjadikan banyak perusahaan akan menyiasati dengan melakukan penurunan produksi atau bahkan sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Adanya PHK besar-besaran bersamaan dengan daya beli masyarakat yang kian melemah akan menimbulkan stagnansi perekonomian hingga resesi.  


Fenomena penurunan daya beli masyarakat cukup bertolak belakang dengan adanya momen Lebaran dan pemilu yang biasanya mendongkrak konsumsi. Lebih dari itu, deflasi yang menandakan penurunan harga barang di pasaran tidak serta merta menaikkan konsumsi masyarakat. Lemahnya daya beli makin terlihat dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,9% secara kuartalan (quarter to quarter/qtq) pada kuartal I dan II 2024, jumlah tersebut turun dari pertumbuhan konsumsi sebelum Covid-19 yang minimal 5% (cnnindonesia.com, 10/09/2024). 


Meskipun demikian, masih banyak pihak yang meragukan adanya pelemahan daya beli rakyat. Padahal cukup banyak indikator yang bisa menunjukkan betapa rentannya kondisi perekonomian masyarakat di negeri ini. Indikator pertama yang menggambarkan kondisi melemahnya daya beli masyarakat ialah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2024 turun menjadi 125,2, dari posisi April 2024 di level 127,7. Selain itu, data untuk persentase tabungan terhadap pendapatan terus menurun, April 2024 tercatat sebesar 16,7% dan pada Mei 2024 turun menjadi 16,6%. Bahkan data porsi konsumsi terhadap pendapatan makin turun, April 2024 masih sebesar 73,6% dan pada Mei 2024 menjadi 73% (cnbcindonesia.com, 03/07/2024). 


Malah, pemerintah hingga detik ini masih menyangkal penurunan konsumsi masyarakat sebagai sumber masalah deflasi, dan mengklaim deflasi terjadi karena oversupply barang-barang konsumsi terutama sandang dan pangan. Ironisnya klaim rezim justru bertolak belakang dengan kebijakannya membuka keran impor secara massif yang justru mencekik kesejahteraan petani. Sebut saja kebijakan rezim melalui Perum Bulog tetap akan melakukan impor beras meski panen raya pada Maret–Mei 2024 berlangsung dan ditargetkan mencapai 3.6 juta ton beras selama 2024 (cnnindonesia.com, 03/05/2024). 


Bahwasanya, salah kaprahnya rezim dalam melihat isu deflasi negeri menyebabkan solusi yang ditawarkan pun jauh dari kata tepat. Rezim yang bersandar pada sistem ekonomi kapitalis melakukan mitigasi deflasi dalam dua strategi utama, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter sendiri merupakan kebijakan yang dilakukan Bank Sentral (Bank Indonesia). Hal lumrah yang dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan politik diskonto melalui penurunan tingkat suku bunga dan pembelian surat-surat berharga pemerintah oleh Bank Sentral. Kebijakan moneter tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat dengan harapan hal tersebut bisa membalikkan kondisi deflasi ke titik stabil. 


Selanjutnya, kebijakan fiskal yang diambil adalah berupa pengaturan dan pembaharuan pendapatan serta pengeluaran negara. Strategi yang biasanya diambil dalam hal ini adalah menurunkan nilai pajak disertai dengan perampingan belanja negara. Dari kedua kebijakan tersebut, apakah ada yang benar-benar mampu menuntaskan masalah deflasi disertai peningkatan daya beli masyarakat? 


Kebijakan moneter yang dimaksudkan guna menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat pasti akan menimbulkan masalah baru. Sesungguhnya, jika negara mencetak uang baru dan mengedarkannya di tengah-tengah masyarakat justru memberikan efek domino dalam perekonomian negeri, pasalnya pencetakan uang tanpa adanya backup emas dan perak menjadikan jumlah uang yang beredar melampaui jumlah produktivitas ekonomi di sektor produksi barang dan jasa riil. Malahan, dengan melekatnya transaksi ribawi dalam sistem kapitalisme membuat transaksi menggelembung dan rentan 'menggoyang' nilai mata uang. 


Kemudian, sistem perbankan kapitalis yang 'mendorong' rakyat menarik uang melalui sistem utang-piutang ribawi ataupun merogoh tabungan pribadi, semakin mendukung gaya hidup konsumtif. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab di dalam perekonomian terbuka ala kapitalis, daya beli masyarakat terutama masyarakat kelas menengah merupakan sesuatu yang krusial karena struktur ekonomi kapitalis lebih banyak ditopang oleh konsumsi. Artinya, mesin-mesin penggerak roda perekonomian cenderung didukung oleh konsumsi secara dominan. Dengan demikian, tren pelemahan semacam ini menjadi alarm bagi negara-negara penganut kapitalisme semisal Indonesia, akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi negara.  


Menurunnya daya beli masyarakat di Indonesia berhubungan langsung dengan penurunan jumlah masyarakat kalangan kelas menengah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan porsi masyarakat dengan ekonomi kelas menengah menurun sejak pandemi Covid-19 pada 2019 lalu, dari jumlah 57,33 juta (21,45%) kelas menengah pada 2019 menjadi 47,85 juta (17,13%) pada 2024 –turun hampir 10 juta masyarakat. Menyusutnya jumlah masyarakat kalangan kelas menengah mengindikasikan adanya pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan. 


Penurunan jumlah daya beli masyarakat kemudian memberi dampak signifikan terhadap perkembangan bisnis dan roda perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2023 saja total konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah adalah 82,3% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia, calon kelas menengah menyumbang 45,5% dan kelas menengah menyumbang 36,8% (infobanknews.com, 10/08/2024). Kondisi perekonomian rakyat yang makin mengkhawatirkan dan mencekik menyebabkan pergeseran belanja warga kelas menengah yang cukup signifikan, banyak dari mereka yang pada akhirnya mengubah prioritas dengan mengurangi pengeluaran di luar kebutuhan pokok. 


Bahkan, kebijakan fiskal yang diberlakukan untuk mengurangi deflasi nyatanya tidak mampu mengatasi penurunan daya beli masyarakat, jangankan menurunkan nilai pajak pun rezim makin 'getol' menarik tagihan pajak dari masyarakat. Terlebih lagi sinyal melemahnya daya beli masyarakat secara nyata memberikan dampak langsung terhadap penerimaan negara dari sektor pajak beriringan dengan pemasukan pajak dari sejumlah sektor industri yang juga melorot. Misalnya, setoran pajak sektor industri perdagangan secara neto merosot 0,8% per semester I-2024 dari sebelumnya pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 7,3% dengan besaran Rp211,09 triliun. Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri atau PPN DN juga telah terkontraksi 11% secara neto dengan realisasi Rp193,06 triliun per semester I-2024 (cnbcindonesia.com, 11/08/2024), padahal seperti kita ketahui bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak justru menjadi salah satu sumber pendapatan utama sebuah negara. 


Selain itu, untuk strategi penghematan belanja negara jelas hal yang mustahil dilakukan oleh rezim. Hingga detik ini masih ramai pemberitaan terkait belanja mewah negara semisal pembiayaan IKN (Ibu Kota Negara) yang menyedot Rp71,8 triliun dana APBN hingga akhir tahun. Beban keuangan negara kian bertambah seiring bertambahnya utang luar negeri hingga mencapai US$407,3 miliar atau setara Rp6.592,19 triliun dengan pertumbuhan sebesar 1,8% year on year (yoy). 


Dengan demikian, terlihat jelas bahwa baik kebijakan moneter maupun fiskal yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalis tidak akan bisa menjamin kestabilan perekonomian rakyat. Hal ini karena penerapan sistem kapitalis itu sendiri bersifat self-destruction yang meniscayakan kehancuran perekonomian rakyat secara struktural. Kapitalisme telah gagal dalam menjaga daya beli dan tingkat ekonomi karena menumpukan aktivitasnya pada perilaku konsumtif warga. Malah, sistem perbankan ribawi yang tidak dibangun sepenuhnya atas sektor ekonomi riil makin memperberat keadaan, negara makin 'rajin' menghisap darah rakyat dengan pajak tinggi disertai pembelanjaan uang rakyat yang ugal-ugalan. 


Permasalahan turunnya daya beli masyarakat dan deflasi, sejatinya merupakan turunan dari masalah utama ekonomi kapitalis, hanya akan bisa terselesaikan dengan distribusi kekayaan yang sesuai fitrah manusia. Negara wajib menjamin distribusi kekayaan yang berkeadilan orang per orang termasuk untuk orang-orang lemah agar setiap anggota masyarakat mampu memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya serta memiliki kesempatan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Sesungguhnya, hanya sistem ekonomi Islam saja yang benar-benar terbukti dan mampu menyediakan distribusi kekayaan setiap anggota masyarakat dalam ruang lingkup negara melalui penjaminan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar