Mewujudkan Negeri Saba’ ala Raja Jawa



Oleh Putik Retnosari, M.Pd.

(Aktivis Muslimah) 



- “Kita jangan main-main dengan Raja Jawa ini. Soalnya, Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini,” kata Bahlil, pada Munas Golkar. Perihal Raja Jawa ini, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mendapatkan reaksi dari Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Koentjoro. Penyebutan Raja Jawa oleh Bahlil tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud, dipertanyakan oleh Koentjoro karena Indonesia adalah sebuah negara yang tidak berbentuk kerajaan (tempo.com, 21/8/2024). 


Cawe-cawe Jokowi memuluskan langkah putra-putranya dalam kancah politik negeri. Apalagi saat niat putra bungsunya dikabarkan akan masuk ke dalam bursa calon gubernur DKI yang ternyata mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Masih teringat jelas bagaimana langkah Gibran Rakabuming Raka melenggang maju dalam pilpres meskipun usianya belum cukup sesuai dengan syarat sah.


Setelah sukses mengantarkan anaknya menjadi wakil presiden, Jokowi juga mengerahkan menantu dan orang-orang terdekatnya menjadi calon kepala daerah. Bobby Nasution, menantu Jokowi maju dalam Pilkada Sumatera Utara. Sendi Fardiansyah, sekretaris pribadi istri Jokowi atau Iriana sebagai bakal calon Wali Kota Bogor dan masih ada lagi yang lainnya. Manuver tersebut diharapkan juga mampu mengantarkan putra bungsunya dalam pilkada Jakarta.


Beberapa hari lalu, gambar garuda berlatar biru dengan tagar peringatan darurat dan kawal putusan MK trending di beberapa platform sosial media. Gelombang aksi demonstrasi menolak RUU Pilkada terjadi tidak hanya di Jakarta tetapi juga merambah ke beberapa daerah seperti Bandung, Makassar juga Semarang. Tidak hanya mahasiswa, beberapa elemen masyarakat juga hadir di depan gedung DPR termasuk di antaranya influencer dan komika yang tergabung dalam Stand Up Indonesia juga artis dalam negeri yang ikut menyuarakan aspirasi mereka tentang putusan MK terkait RUU pilkada. “Ini bukan negara milik keluarga.” “Tapi saya saat ini sudah tidak bisa lagi berdiam,” adalah orasi yang diucapkan oleh Reza Rahadian, aktor kawakan di negeri ini. Reza juga menambahkan bahwa demokrasi telah dirusak saat ini.


Di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi bahkan bermanuver dengan berbagai kebijakan-kebijakan tidak populis seperti bagi-bagi konsesi pengelolaan tambang kepada ormas, bongkar pasang menteri, PP Kesehatan 2023, pembangunan IKN yang ambisius tanpa perencanaan matang dan terkesan terburu-buru di tengah perekonomian negara sedang sulit, serta membengkaknya utang luar negeri Indonesia selama 10 tahun menjabat dan sengkarut terkait kesejahteraan masyarakat.


Apakah benar demokrasi telah dirusak saat ini?


Konon demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tidak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Hal ini termaktub di dalam buku How  Democracies Die yang dituliskan dua professor Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.


Mereka menerangkan bahayanya pemimpin otoriter ketika menghadapi krisis besar. Plato, Voltaire, Carl Schmitt dan beberapa filsuf besar Eropa mempertanyakan mengapa demokrasi masih dianggap sebagai sistem terbaik yang ada. Plato menilai demokrasi adalah sistem politik yang hanya memberikan jalan bagi tirani untuk berkuasa. Plato menganggap polarisasi masyarakat hanya akan membuat yang kaya, pintar, dan berkuasa memobilisasi kekuatan si miskin, bodoh serta lemah. 


Negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang tidak ideal karena kedaulatan pada demokrasi terletak di tangan rakyat. Pemujaan berlebihan akan kebebasan tanpa batas, dan hukum dalam sistem demokrasi menyebabkan masyarakat bebas mengungkapkan pendapatnya masing-masing dan bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain.


Sejalan dengan Plato, Socrates meyakini keadilan dalam janji demokrasi telah dirusak oleh realitas demagogi melalui para pemimpin karismatik yang membangkitkan dalam seruan emosional kepada rakyat sebagai dalih melanggengkan kekuasaannya. Demokrasi sendiri menurut Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy mengatakan bahwa cacat bawaan demokrasi adalah mispersepsi tentang jaminan kesetaraan hak memilih bagi warga negara. Hal yang sering dianalogikan aktivis muslim bahwa dalam demokrasi, suara seorang alim ulama setara dengan suara seorang PSK. 


Berkaca dari sejarah, bagaimana proses terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 di Amerika, proses reformasi 98 melengserkan kekuasaan Presiden Suharto selama 32 tahun dan pemimpin setelahnya, atau terpilihnya Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia untuk keempat kalinya melalui proses demokrasi. Terbukti pemimpin terpilih setelahnya belum mampu untuk merubah kondisi negeri mereka keluar dari krisis multidimensi.  


Mewujudkan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur


Tersebutlah sebuah negeri di wilayah Syam, yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu surah di dalam Al-Qur'an. Saba’, mendapatkan sebutan khusus sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (QS Saba’: 15). Sebuah negeri yang mendapatkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya dan mendapatkan ampunan Rabbnya. Tanahnya yang subur dan makmur, penduduk yang senantiasa bersyukur di negeri Saba’, Allah kabarkan pada ayat selanjutnya harus berakhir dikarenakan mereka berpaling dan meninggalkan ketaatannya kepada Allah Swt. 


Menduplikasi negeri Saba’ di Indonesia, merupakan sebuah utopis dengan sistem demokrasi yang dianut saat ini. Pemisahan agama dari segala sendi kehidupan yang merupakan dasar dari kapitalisme, menjadikan tujuan hidup masyarakat hanya sebatas materi. Alih-alih menjadikan masyarakat sejahtera secara menyeluruh, kesenjangan sosial si kaya dan si miskin makin menjadi.


Kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya mengakomodir kepentingan pemilik modal, terbukti dalam UU Minerba, UU Cipta Kerja, Kenaikan BBM, Pajak, bahkan yang terbaru adalah mulai dirancangnya skema pembayaran transportasi massal berdasarkan NIK. Politik pragmatis dalam sistem demokrasi juga meniscayakan tidak adanya lawan abadi namun yang ada adalah kepentingan abadi berbentuk koalisi.


Membuat sebuah perubahan, maka hal dasar yang dilakukan adalah menentukan visi dan tujuan perubahan. Visi dan tujuan yang sahih dibangun atas pemikiran yang benar serta metode yang benar. Maka perubahan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan metode sahihlah yang pastinya akan menuntun kita kepada tujuan yang benar. Yaitu membuat kaderisasi kelompok dakwah yang dibangun atas pemikiran ideologis yang benar, berjuang di luar sistem jahiliyah tanpa adanya kompromi-kompromi yang melanggar hukum syarak.


Kelompok dakwah memiliki posisi strategis dalam menyeru kepada perubahan serta membentuk kesadaran pemahaman politik yang benar di tengah masyarakat. Politik yang saat ini dipahami oleh masyarakat, sejatinya berbeda dengan definisi politik dalam Islam yaitu mengurusi urusan umat. Kemudian meyakinkan umat, kenapa harus Islam? karena hanya Islam yang mampu menyelesaikan segala permasalahan dalam hidup, lengkap dengan segala sistem peraturan kehidupan mulai dari level individu sampai level bernegara. Saat Islam telah menjadi pilihan masyarakat dalam kehidupan, maka menerapkan sistem yang menjamin ketaatan total kepada Allah Swt. ini akan mewujudkan bhaldatun thoyyibatun wa rabbun ghoffur.


“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun" (TQS  Saba: 15). Wallahualam bissawab. 


Posting Komentar

0 Komentar