- Di penghujung bulan pada Sabtu, 31 Agustus 2024, di Jakarta, diselenggarakan Dirosah Syar’iyyah Syahriyyah (DSS). Forum DSS dihadiri sekitar 60-an ustazah dan mubaligah se-DKI Jakarta dan Tangerang Selatan.
Pemerintah meneken PP no. 28/2024 tentang Penyediaan Alat Kontrasepsi. PP tersebut telah meresahkan para ustazah dan mubaligah. Beberapa pasal dalam PP tersebut mengandung kontroversi yang bisa saja membuka peluang semakin maraknya zina di negeri mayoritas muslim ini.
Acara dipandu oleh Ustazah Ida Farida Thabrani dan narasumber Ustazah Estyningtias. Narasumber yang seorang dokter sekaligus aktivis dakwah muslimah ini, mengangkat judul "PP no. 28/2024 = Legalisasi Zina Wajib Ditolak!" Para undangan yang hadir begitu antusias mendengarkan pemaparan Ustazah Esty.
Umat butuh alasan kenapa para ustazah dan mubaligah sepakat menolak aturan ini. Argumentasi inilah yang perlu disampaikan ke tengah masyarakat agar mereka yang awalnya tidak tahu menjadi teredukasi. Sehingga umat memiliki pemikiran yang benar dan kemudian mengambil langkah yang benar pula. Harapan itu disampaikan Ustazah Esty terhadap para undangan yang hadir.
“Harapannya, ibu-ibu, para ustazah, mubaligah, juga melakukan hal yang sama. Memberikan pencerahan kepada masyarakat, dilingkup aktivitas masing-masing."
Beliau menjelaskan alasan-alasan kenapa PP ini harus ditolak. Bagian kontroversial dari PP ini karena adanya pasal-pasal yang secara resmi mengatur perilaku seksual dan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Inilah poin penting yang harus kita anggap sebagai kebijakan yang rusak sekaligus merusak.
Beliau membacakan isi pasal 103 ayat 1, “Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja itu, paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.”
Ustazah Esty mengkritisi kalimat sistem reproduksi usia sekolah dan remaja yang artinya sistem reproduksi yang disasar adalah anak-anak sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA. PP yang diteken hari ini fokusnya pada aspek seksual bukan pada aspek pencegahan tetapi langsung menuju kepada kegiatan seksual. Pasal ini bukan dikhususkan untuk mereka yang sudah menikah, tegasnya!
Selanjutnya pasal 103 ayat 2 yang berisi, “Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.”
Beliau juga mengkritisi kalimat perilaku seksual berisiko dan akibatnya, juga keluarga berencana (KB). Jika ini ditujukan untuk anak sekolah yang mereka belum memasuki usia menikah, maka ayat ini seakan cara menghindari perilaku seksual yang berisiko dan akibatnya seperti bisa terkena IMS, HIV/AIDS atau hamil.
“Supaya tidak mendapatkan risiko itu maka perilaku seksualnya diupayakan yang tidak berisiko dan itulah yang mereka sebut safe seks atau seks yang aman. Aturan itu ada perilaku seksual yang tidak berisiko atau safe seks kemudian ditambah ada pengaturan mengenai KB.”
“Ngapain anak sekolah dikasih KB? Disuruh ngapain mereka”, tanyanya.
Pengkritisan berlanjut terhadap pasal 103 ayat 5 terkait konselor sebaya yang mempunyai kompetensi sesuai kewenangannya. Apa yang dimaksud dengan konselor sebaya, siapakah konselor sebaya itu dan konseling apa yang akan diberikan?
Sedangkan di pasal 104 ayat 3 diatur mengenai pelayanan kesehatan yang salah satu upayanya adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko. Kelompok yang berisiko, besar kemungkinan mereka adalah pelaku LGBT atau LSL (laki suka laki).
Terakhir di pasal 107 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi. Frasa “setiap orang” tidak dibatasi oleh pasangan usia menikah akan tetapi setiap orang. Artinya, jika anak-anak usia remaja dan sekolah membeli alat kontrasepsi, maka harus dilayani. Jika tidak dilayani maka akan dianggap melanggar aturan.
Aturan di atas tak lepas dari spirit liberalisasi ala WHO. Sebagaimana yang tercantum dalam aturan WHO bahwa kesehatan reproduksi menyiratkan setiap orang dapat memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman; dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk memutuskan apakah, kapan, dan seberapa sering mereka akan melakukan hal tersebut.
“Undang- undang kita perlahan namun pasti mengikuti narasi kesehatan reproduki ala WHO,” lanjut Ustazah Esty.
Dalam sudut pandang Islam, pergaulan seks bebas masuk ke dalam zina. Zina adalah dosa besar (jarimah kubro) dan termasuk akbarul kabâir (dosa-dosa besar yang terbesar) setelah syirik dan membunuh. Dalilnya ada di Al-Qur'an surah al-Furqon ayat 68.
Bagaimana sikap seorang muslim menghadapi aturan yang tidak sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, Ustazah Esty menjelaskan yang pertama adalah haram menjalankan PP no. 28/2024. PP tersebut tidak sesuai dengan perintah Allah yaitu jangan mendekati zina (lihat al-Isra: 32). Yang kedua, menghalalkan zina dengan sengaja sama dengan murtad, hal tersebut sejalan dengan pernyataan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni.
Beliau juga melanjutkan bahwa ini membuktikan Indonesia adalah negara sekuler dan sistem demokrasi dengan empat kebebasannya takkan pernah berpihak pada kaum muslim. “Demokrasi adalah ekspor Amerika yang paling mematikan”, tandas beliau. Kata pamungkas yang terakhir beliau sampaikan bahwa perubahan yang harus diupayakan adalah perubahan berbasis Islam saja.
0 Komentar