Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Gelaran Pilkada Jakarta terasa kian berisik pasca-penutupan pendaftaran para calon gubernur dan wakil gubernur periode 2024-2029. Tercatat sebanyak tiga pasangan calon (paslon) setidaknya bakal bertarung di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 setelah KPU Jakarta menutup pendaftaran pada Kamis (29/8) malam. Bapaslon yang pertama mendaftar adalah pasangan Pramono Anung-Rano Karno usungan PDIP dan Hanura dengan persentase suara partai sebesar 14,46%. Kedua, pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung 14 partai yakni Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, NasDem, PSI, PKB, Gelora, PBB, Perindo, PAN, PPP, Garuda, dan PKN dengan akumulasi suara 14 partai sekitar 83,46%. Sementara pasangan terakhir adalah Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang maju lewat jalur perseorangan (independen).
Yang menarik dalam Pilkada Jakarta 2024 adalah tidak adanya nama-nama calon populer yang sebelumnya banyak digadang-gadang banyak pihak, semisal Anies Baswedan maupun Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Padahal beberapa bulan lalu, banyak lembaga survei yang menempatkan kedua mantan Gubernur Jakarta tersebut sebagai sosok yang paling 'diinginkan' rakyat Jakarta. Bahkan Anies Baswedan diperkirakan menang antara 18-31% jika melawan Ahok, ataupun Ridwan Kamil (republika.co.id, 19/08/2024).
Saking dinamisnya perpolitikan Jakarta pada akhirnya mendepak nama Anies dalam bursa pencalonan. Elektabilitas dan popularitas mantan rektor Universitas Paramadina terlihat jelas semakin surut. Satu per satu partai dalam Koalisi Perubahan menarik dukungan terhadap Anies Baswedan. Pukulan telak bagi pihak Anies adalah keputusan PKS, yang memiliki 18 kursi DPRD Jakarta, mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan sejak 4 Agustus lalu. Tanpa adanya dukungan dari Koalisi Perubahan, pihak Anies sempat menaruh harapan pada PDIP untuk masuk ke dalam bursa pencalonan. Tapi apa mau dikata, petugas partai yang loyal dan penurut lebih menarik minat sang Banteng Merah dibanding dengan mantan rival politik dalam bursa pilpres lalu.
PDIP yang dalam setiap pesta demokrasi selalu meramaikan suasana, terlihat setia pada 'DNA-nya' di Pilkada Jakarta 2024 dengan mengutamakan kadernya maju sebagai bakal cagub Jakarta. Sekalipun kemudian harus melawan koalisi 'gemuk' yang mengusung RK-Suswono, PDIP tampak siap kalah. Pemilihan Pramono Anung sebagai bakal cagub pun dianggap banyak pihak sebagai jalan tengah yang diambil oleh PDIP, yakni untuk 'menurunkan tensi' di tengah ketegangan internal partai dalam menentukan pilihan bakal cagub Jakarta antara Anies Baswedan dan Ahok. Di sisi lain, langkah PDIP mengusung Pramono-Rano terlihat sebagai negosiasi jangka panjang karena kita melihat bagaimana PDIP ditinggalkan sendirian oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 lalu.
Sedangkan kita melihat bagaimana sebelumnya koalisi besar KIM Plus mencalonkan RK-Suswono sebagai 'upaya terakhir' untuk melawan kotak kosong di Pilkada Jakarta 2024. Karena jumlah kursi PDIP di DPRD Provinsi Jakarta tidak memenuhi jumlah syarat pengajuan calon. Beruntung Hanura bergabung bersama PDIP ditambah dengan Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 60/PUU-XXII/2024 mengubah persyaratan pengusungan paslon di pilkada dengan menyesuaikan persentase persyaratan seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan di pilkada. Hal inilah yang kemudian memungkinkan PDIP berpotensi adu jotos dengan koalisi raksasa semacam KIM Plus dalam perhelatan Pilkada Jakarta 2024.
Dengan berlikunya pemilihan para calon dalam ajang Pilkada Jakarta 2024 sebenarnya memperlihatkan bagaimana pesta demokrasi yang disebut-sebut mampu merepresentasikan suara rakyat, sesungguhnya hanya mengusung kepentingan para elite politik. Baik pencalonan Pramono-Rano maupun RK-Suswono menunjukkan prinsip utama politik dalam demokrasi yakni meraih keuntungan pribadi dan kelompok (partai). Para petinggi parpol pun tak lelah melayangkan berbagai manuver politik yang pada akhirnya meniscayakan koalisi raksasa semacam KIM Plus misalnya di daerah-daerah strategis terutama Jakarta.
Fenomena 'kutu loncat' partai politik yang memunculkan pembentukan koalisi 'gendut' tentu membuat dinamika perpolitikan negeri ini semakin tidak sehat karena tidak ada perimbangan politik antara pemerintah dan parlemen. Kontrak-kontrak politik terus-menerus berubah bergantung ke arah mana angin kekuasaan berhembus. Tidak jarang kawan politik berubah menjadi lawan ataupun sebaliknya tatkala kepentingan partai dan pribadi menjadi taruhannya. Artinya yang menentukan arah pergerakan parpol dalam sistem demokrasi hanyalah sebatas kepentingan pragmatis parpol itu sendiri, bukan kepentingan rakyat.
Lalu siapa calon yang layak bagi Jakarta? Sejatinya siapa pun yang menang akan selalu memperjuangkan kepentingan dua pihak, yakni kepentingan kelompok (parpol) dan kepentingan para kapitalis-oligarki. Pasalnya tiap calon berhutang budi kepada koalisi yang mengusungnya bersama dengan para cukong dan jajaran penguasa serta elite politik yang berpengaruh. Maka tak mengherankan jika PDIP misalnya, lebih memilih Pramono yang setia dibanding Anies yang belum pasti akan tunduk dengan kepentingan si Merah. Demikian pula parpol-parpol dalam Koalisi Perubahan yang lebih memilih untuk merapat dengan KIM dan menjelma sebagai KIM Plus demi memperoleh jatah kue kekuasaan.
Faktor oligarki dalam perhelatan Pilkada Jakarta 2024 juga begitu kental dalam pergerakan arah kebijakan parpol. Kita bisa melihat bagaimana 'Jokowi effect' masih sangat dominan baik dalam pencalonan Pramono-Rano maupun RK-Suswono. Kedua pihak sama-sama mengklaim mendapat restu Jokowi, dan berusaha mengasosiasikan dirinya 'si Paling Jokowi' untuk mendapat limpahan elektoral. Sikap PDIP yang tampak melunak dengan mengusung Pramono pun dianggap sebagai jalan aman demi mencari celah meraih posisi selama 5 tahun ke depan.
Tidak dipungkiri memang, Jakarta masih menjadi percontohan perpolitikan Indonesia sekalipun tidak lagi menjadi ibu kota negara. Jakarta yang diarahkan menjadi kota global serta pusat industri dan ekonomi Indonesia, akan selalu menjadi daerah paling 'seksi' bagi para elite politik yang ingin berkiprah jangka panjang dalam dinamika politik Indonesia. Selain itu posisi Jakarta sebagai pusat kawasan aglomerasi bersama dengan Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi memberi peluang lebih besar bagi para politisi untuk 'menggarap' sumber daya yang tersedia.
Dengan posisi 'seksi' Jakarta dalam ajang kontes demokrasi pada akhirnya membuat tiap-tiap parpol berusaha mengamankan posisinya dalam perpolitikan negeri. Tiap-tiap parpol akan mati-matian mengerahkan basis massa demi meraup suara terbanyak dalam Pilkada Jakarta guna mendapat momentum kemenangan pada gelaran pilkada di wilayah-wilayah lainnya. Karena hingga kini Jakarta masih menjadi pusat pergerakan dan perubahan dalam setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, hingga budaya.
Jika orientasi politik para paslon beserta parpol pengusungnya masih bersifat pragmatis dan kekuasaan semata, bagaimana mungkin mereka mengurusi urusan umat? Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa politik transaksional yang terjadi antara para paslon dan partai maupun kedua pihak dengan oligarki dan pemegang kapital hanyalah kontrak-kontrak politik yang menguntungkan bagi mereka, bukan rakyat. Dari sini pola-pola politik yang akan dihasilkan setelah para jagoan parpol menang dalam pilkada pun akan bersifat membodohi rakyat dan penuh dengan janji-janji palsu. Yang pada akhirnya kebijakan-kebijakan politik yang dikeluarkan pun nantinya akan terus melanggengkan oligarki atau korporatokrasi.
Inilah wajah buruk demokrasi yang tidak akan pernah mampu menyejahterakan rakyat, tetapi justru menumbuhsuburkan oligarki. Satu-satunya jalan melepaskan negeri ini dari cengkeraman para tikus berdasi bersama dengan kebijakan-kebijakan rusaknya adalah dengan mengubah dan membangun sistem yang baru. Di mana sistem yang baru haruslah berasal dari Sang Pencipta yang mampu menjamin kesejahteraan umat manusia tanpa kecuali. Karena sejatinya yang berhak membuat hukum (Al-Hakim) hanyalah Allah Swt. sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS al-An'am: 57)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar