Pasal Power Wheeling is Misleading?
Reni Tri Yuli Setiawati
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#Opini - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Komisi VII DPR RI) diagendakan menggelar rapat terakhir dengan pemerintah untuk membahas RUU EBET (Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan). Pasal tentang power wheeling masih alot dibahas, karena ada potensi yang mengancam keistimewaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) selama ini.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa rapat panitia kerja serta forum tim perumus dan tim sinkronisasi Komisi VII DPR belum ada kata mufakat mengenai masalah power wheeling. (Tempo.co, 15/09/2024)
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto lugas menolak dan menyatakan power wheeling atau penggunaan bersama jaringan transmisi kepada pihak ketiga adalah istilah yang dapat membuat misleading. Sesungguhnya, power wheeling merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. (emedia.dpr.go.id, 16/09/2024)
Power Wheeling is Misleading
Sungguh aneh dan membahayakan tentunya jika power wheeling ini lolos sebagai salah satu pasal yang disahkan. Patut diduga adanya kesengajaan dengan menyatakan power wheeling hanya sebagai penggunaan jaringan transmisi kepada pihak ketiga, tetapi berimplikasi pada mungkinnya pihak swasta penghasil listrik untuk menjual secara langsung kepada masyarakat.
Jika pihak swasta penghasil listrik bisa menjual langsung kepada masyarakat, konsep ini sudah melanggar amanat konstitusi bahwa PLN selama ini adalah single buyer dari listrik yang dihasilkan oleh swasta, sekaligus sebagai single seller kepada masyarakat.
Tampak jelas semakin kuatnya arus liberalisasi listrik yang diinginkan dari pengesahan RUU EBET ini, terutama pasal power wheeling yang termaktub pada pasal 24A ayat (2). Potensi ancamannya pun akan sangat menghimpit kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Sesungguhnya PLN selama ini masih oversupply listrik, tetapi tetap harus membeli listrik yang dihasilkan oleh pembangkit swasta. Inilah yang menyebabkan PLN selama ini dikondisikan merugi, dan akan berpotensi semakin merugi. Solusi yang diambil PLN untuk mengatasi kerugian tersebut tentu saja dengan menaikkan harga jual listrik kepada masyarakat.
2. Bagi masyarakat, saat ini PLN yang sebagai single seller saja sudah merasakan beban harga listrik yang rutin naik. Andai ada beberapa seller, apakah tidak mungkin akan terjadi kartel? Sebab listrik termasuk barang publik yang jika dijadikan komoditas akan menyebabkan gagal pasar. Berapa pun harga yang ditetapkan kartel, terpaksa rakyat tetap membelinya. Tidak mungkin juga untuk tidak membeli listrik yang sudah menjadi kebutuhan pokok. Lalu, rakyat bisa apa dengan permainan harga?
3. Negara yang seharusnya menjadi pengelola, produsen, dan distributor listrik akan semakin lepas tangan dan hanya menadah tangan meminta laba kepada para produsen listrik swasta. Padahal UUD 1945 Pasal 33 telah mengamanatkan kepada negara sebagai pengelola sektor strategis, bukan pihak swasta.
Peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat tampak semakin abai. Pengelolaan sumber daya alam bukanlah bertujuan untuk memudahkan rakyat, tetapi sebaliknya, mengambil keuntungan dari rakyatnya sendiri dan lebih memihak kepada pengusaha.
Regulasi Islam
Kebijakan seperti power wheeling memang lumrah di dalam sistem kapitalisme, berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan listrik adalah salah satu jenis barang yang terkategori kepemilikan umum (public ownership). Rakyatlah sang pemilik sejati. Negara yang diberi kuasa oleh Allah Swt. untuk mengelolanya, wajib mengelola sesuai tuntunan-Nya.
Listrik sangat dibutuhkan, mulai skala rumah tangga hingga industri, maka kebijakan negara harus dianalisis secara mendalam, dari pembangunan infrastuktur, produksi, hingga distribusi yang merata ke seluruh wilayah. Tidak boleh listrik diprivatisasi maupun diswastanisasi.
Negara bisa menetapkan kebijakan untuk mendistribusikan listrik secara murah, bahkan gratis. Lembaga yang dimiliki negara tidak akan berfungsi sebagai pedagang kepada rakyatnya dengan mengambil laba besar atas penjualan listrik. Harga yang ditetapkan pun adalah harga produksi untuk menghasilkan listrik.
Dengan kebijakan inilah maka negara akan mampu mengelola energi secara mandiri dan tidak diintervensi oleh pihak maupun negara lain. Kondisi ini akan mengantarkan negara kepada kemakmuran rakyat, kedaulatan, dan kekuatan bagi negara.
Dengan demikian, penyelesaian RUU EBET yang dikebut menjelang dua minggu purnatugas Komisi VII DPR, harus dikritisi dan diberikan solusi perspektif Islam. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar