Perubahan Hakiki Butuh Parpol Islam Ideologis

 



EDITORIAL — Perjuangan Anies Baswedan untuk meraih kursi kepemimpinan di Jakarta, akhirnya kandas di tengah jalan. Meski elektabilitasnya paling tinggi di sana, tidak ada satu pun parpol yang siap mengusungnya sebagai calon gubernur. Bahkan, parpol yang semula mendukung, seperti PKS, PKB, dan Nasdem, akhirnya ramai-ramai mundur dan malah masuk ke barisan lawan.

Santer analisis bahwa ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk menjegal langkah Anies maju menjadi gubernur. Salah satunya tampak dari upaya intens kubu lawan yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengajak beberapa partai pendukung Anies di Pilpres 2024 untuk bekerja sama di pilkada beberapa daerah, termasuk di Jakarta, hingga terbentuk KIM Plus.

Perubahan Itu, Nyata Utopia (?)

Euforia Anies sebagai ikon perubahan memang sudah begitu lekat di sebagian besar warga Jakarta, bahkan sejak Pilpres 2024 yang gagal karena ditengarai penuh rekayasa. Oleh karenanya, ketika Anies memutuskan kembali maju di Pilkada Jakarta, semangat para pendukungnya pun seakan ada salurannya.

Bagi mereka, Anies adalah harapan sekaligus pahlawan. Saat menjadi Gubernur periode 2017—2022, Anies memang dipandang berhasil “memanusiakan” warga miskin kota yang selama ini tersingkir oleh pembangunan Kota Jakarta. Ia dianggap berhasil menata karut-marut lingkungan Jakarta dan menyelesaikan berbagai konflik pembangunan yang diwariskan para pendahulunya.

Sebutlah kasus Kampung Bukit Duri dan Kampung Bayam yang sudah berlangsung lama tanpa penyelesaian. Anies datang membela mereka dan memperjuangkan haknya sebagai warga Jakarta. Namun yang dipandang paling heroik adalah keberanian Anies memutus proyek-proyek yang menjadi simbol kekuasaan elite oligarki di Jakarta, seperti perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) I dan PIK II.

Hanya saja, tidak dimungkiri jika banyak pihak-pihak yang merasa terusik dengan langkah yang ditempuhnya. Upaya penjegalan pun dilakukan dengan berbagai cara. Kondisi ini diperparah dengan kian cairnya ideologi parpol yang semula tampak militan mendukungnya. Tawaran kue kekuasaan dengan mudah menghancurkan idealisme mereka.

Ndilalahnya, dinamika politik seperti ini merupakan hal niscaya. Jegal-menjegal menjadi tradisi lumrah dalam pilpres maupun pilkada. Keterlibatan elite oligarki dalam papan catur permainan pun sudah bukan rahasia. Yang disebut kontrak politik justru terjadi antara mereka dan kontestan atau parpol pengusung yang disponsorinya. Jadi, bukan antara rakyat dan penguasa yang dipilihnya.

Pada kasus Anies, Pilkada Jakarta hanya mengulang drama politik pada pilpres tahun sebelumnya. Permainan kotor para elite parpol dan oligarki terbaca jelas meski pihak terduga tidak mengakuinya. Alhasil, pemenang setiap pesta sudah bisa ditebak sejak jauh sebelumnya. Mereka adalah siapa saja yang siap melanjutkan status quo dan didukung kolaborasi parpol dan sponsor politik alias pemilik kapital yang berdiri di pihak petahana.

Adapun keriuhan pesta, mulai dari kampanye dan berbagai perseteruan yang terjadi di dalamnya, semua dibiarkan berjalan demi melegitimasi opini bahwa demokrasi itu masih ada. Bahkan suara perubahan pun boleh diusung dan digaungkan parpol asalkan hanya sebatas wacana. Untuk benar-benar mewujudkannya, jangan harap demokrasi memberikan jalan, jangan harap pula ada parpol yang sungguh-sungguh memperjuangkannya.i

Parpol Baru, Harapan Baru?

Sayang, realitas buruk politik yang terjadi berulang ini belum cukup menyadarkan masyarakat kita. Sebagian mereka, termasuk para tokohnya, masih menyimpan harap bahwa keadaan akan berubah. Dalam bayangan mereka, akan ada masa orang baik dan jujur bisa memenangkan pertarungan, lalu menjadi ratu adil bagi masyarakatnya. Mereka hanya dituntut bersabar dan tetap semangat melanjutkan perjuangan mewujudkan idealisme mereka.

Anies dalam salah satu siaran di saluran YouTube pribadinya, Jumat (30-8-2024), menyampaikan, “Bila untuk mengumpulkan semua semangat perubahan yang sekarang makin hari makin terasa besar, dan itu menjadi kekuatan (yang) diperlukan untuk menjadi gerakan, maka membangun ormas atau membangun partai baru, mungkin itu jalan yang akan kami tempuh.”

Pernyataan ini diduga menjadi isyarat bahwa Anies dan pendukungnya bersiap menempuh jalan perubahan ke depan dengan perahu partai baru yang akan dibentuknya. Maklum, parpol-parpol yang sudah ada terbukti tidak bisa dijadikan sandaran untuk gagasan perubahan. Mereka jelas-jelas terjebak pragmatisme politik, bahkan Anies berani menyebut partai-partai itu sudah tersandera politik kekuasaan.

Sebagian kalangan merespons positif gagasan Anies untuk membentuk partai baru. Mereka berharap partai tersebut akan tumbuh sehat sehingga dinamika politik ke depan akan lebih kondusif. Mereka masih begitu yakin bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang akan memberi jalan bagi perubahan. Mereka juga begitu yakin, mendirikan partai di atas landasan kemaslahatan dan bukan landasan transendental bisa mengantarkan pada tujuan.

Namun, benarkah demikian? Sedangkan pengalaman menunjukkan, paradigma dan sistem politik demokrasi yang berlaku hari ini justru menjadi biang segala kekisruhan. Hal ini sebetulnya niscaya karena sistem demokrasi tegak di atas landasan sekularisme dan liberalisme yang menafikan nilai moral dan agama. Kerja politiknya lumrah menghalalkan segala cara. Mengompromikan kebenaran dan kebatilan hanya demi kemaslahatan materi sekaligus demi melanggengkan kursi kekuasaan adalah hal biasa.

Jangankan memperjuangkan perubahan hakiki ke arah Islam, sekadar menggagas perubahan dan memilih konsisten sebagai oposan dalam sistem rusak ini saja bisa dikatakan mustahil alias utopia. Kalaupun suara-suara itu ada, dipastikan partai akan mudah terpecah karena keberadaan partai pun sejatinya hanya sebagai kendaraan untuk berburu materi dan kekuasaan semata.

Power-nya pun dipastikan akan melemah sejalan dengan lemahnya sponsor politik dari para pemilik modal. Maklum, politik demokrasi berbiaya sangat mahal, lantaran modal utama kemenangan adalah iklan berbayar. Jadilah parpol yang tidak kuat modal akan layu sebelum berkembang. Bahkan, kebanyakan aktivisnya akhirnya berkompromi dan mengubur dalam-dalam mimpi mengubah keadaan demi tetap beroleh maslahat diri dari kekuasaan. Hanya segelintir orang yang bisa bertahan dengan risiko dikucilkan. Kebanyakannya, berakhir memilih mundur dari dunia politik dan memilih berjuang di luar sistem.

Pentingnya Parpol (Hizb) Berbasis Ideologi Islam

Menggagas perubahan benar-benar membutuhkan ilmu dan kesadaran. Terlebih yang diinginkan bukan sekadar asal berubah, melainkan perubahan hakiki yang sejatinya hanya mampu diwujudkan dengan menjadikan Islam sebagai jalan perubahan. Perubahan tanpa sandaran ideologi Islam dengan sendirinya akan gagal, bahkan sesat jalan sehingga lupa jalan pulang.

Selama ini, mayoritas rakyat sudah menginginkan perubahan, tetapi perubahan seperti apa yang diinginkan, semua masih samar. Mereka sudah paham ada problem besar yang melingkupi kehidupan, tetapi mereka gagal membaca akar dan tidak tahu konstruksi kehidupan ideal.

Mereka pun gagap memahami peta jalan mewujudkan tujuan sehingga pesta demokrasi lima tahunan, dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju perubahan. Padahal, demokrasi hanya memberi ruang bagi pergantian orang, bukan mengubah sistem aturan hidup sekuler kapitalisme neoliberal yang melahirkan berbagai keburukan dan justru menjadi akar persoalan.

Inilah PR besar para pengusung perubahan. Mereka semestinya berjalan bersama parpol (hizb) yang tegak di atas ideologi Islam dan konsisten berjuang menerapkan Islam dalam kehidupan. Hal ini karena, Islamlah satu-satunya ideologi yang akan menantang peradaban sekuler kapitalisme neoliberal dan menggantinya secara totalitas, bukan tambal sulam.

Adapun jalan perjuangan yang harus ditempuh tentu bukan masuk dalam permainan kotor sistem demokrasi lagi, sebab ujungnya dipastikan akan menuai kekecewaan. Rasulullah saw. sendiri sudah mencontohkan begitu gamblang jalan perubahan hakiki, yakni dengan jalan dakwah menyadarkan umat dengan Islam kafah alias Islam ideologi sebagai sistem kehidupan.

Keberadaan ideologi Islam pada tubuh umat akan memberi energi pergerakan yang luar biasa. Betapa tidak? Islam akan dipahami sebagai solusi berbagai krisis yang terjadi karena Islam mengajarkan manusia cara berpolitik, berekonomi, bergaul di tengah masyarakat, menyelesaikan berbagai konflik di tengah umat, menjaga pertahanan dan keamanan, dan seterusnya.

Semua aturan ini berasal dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Berkuasa. Bisa dipastikan penerapannya akan membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh umat manusia, bukan menguntungkan segelintir orang saja. Bekal keimanan dan pemikiran inilah yang menjadi energi besar dan kuat di tengah umat sehingga pergerakan mereka bukan karena maslahat sesaat, atau karena ada figur yang dianggap performanya kuat.

Partai Ideologis Itu Pasti Ada

Rasulullah saw. memastikan bahwa kelompok atau parpol yang konsisten memegang ideologi Islam selalu ada pada tiap masa. Ciri mereka adalah berpegang teguh kepada Islam, baik fikrah (pemikiran) maupun thariqah (metode perjuangan), ikhlas dan lugas memperjuangkannya di tengah umat, dan menjadikan Islam sebagai satu-satunya tali pengikat para pejuangnya. 

Beliau saw. bersabda, “Selalu ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran (perintah Allah). Tidak merugikan mereka orang yang menghinanya hingga datang hari kiamat, dan mereka tetap dalam kondisi demikian.” (HR Muslim).

Kelompok ini berjuang secara politik dengan makna politik yang sebenarnya, yakni berupaya menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Caranya adalah dengan konsisten mendidik umat secara keseluruhan karena sejatinya umatlah pemilik hakiki atau sumber kekuasaan. Juga konsisten mendakwahi para pemilik kekuatan karena merekalah yang akan tampil sebagai penguasa yang siap dibaiat oleh umat untuk menerapkan Islam sebagai kunci bangkitnya kembali peradaban Islam cemerlang.

Mereka terus melakukan berbagai aktivitas yang mengarah pada terbentuknya kepemimpinan umat dan penerapan syariat, tanpa kekerasan, baik melalui aktivitas tatsqif murakazah dan jama’iy (pembinaan intensif dan umum), shiraa’ al-fikr (menyerang pemikiran-pemikiran kufur), melakukan kasyf al-khuthath (menyingkap makar musuh dan topeng para penguasa komprador); maupun al-kifah as-siyasi (melakukan perjuangan politik untuk melawan penjajahan dalam ekonomi, politik, militer maupun budaya; serta mengungkap strategi-strateginya, membongkar persekongkolannya untuk membebaskan umat dari genggamannya). Mereka juga aktif melakukan tabanniy mashalih al-ummah (mengadopsi berbagai kemaslahatan umat), yakni hadir di tengah umat sebagai problem solver bagi persoalan-persoalan mereka dengan pemecahan yang mendasar, yakni dengan Islam sebagai satu-satunya acuan.

Semua aktivitas ini mereka lakukan dengan meneladan langkah yang pernah ditempuh oleh baginda Rasulullah saw., yang dengan langkah ini beliau berhasil mengubah pemikiran dan loyalitas bangsa Arab dari sistem jahiliah menjadi sistem Islam. Sejak itulah bangsa Arab menemukan jalan kebangkitan, dari bangsa yang dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lainnya, berubah menjadi cahaya bagi semesta.

Umat Islam pada saat itu, berhasil tampil sebagai pemimpin peradaban hingga masa yang sangat panjang. Sekira 13 abad, mereka tampil sebagai sebaik-baik umat (khairu ummah) dan peradabannya menjadi mercusuar peradaban dunia. Oleh karenanya berharap perubahan dengan mempertahankan sistem yang sama dengan yang tegak sekarang, hanya akan menghabiskan energi, waktu, dana, dan tenaga yang sangat terbatas. 

Sudah saatnya umat dan tokohnya berjalan bersama partai politik ideologi Islam yang konsisten memperjuangkan penerapan Islam secara kafah dalam kehidupan, serta konsisten menyerukan persatuan hakiki umat Islam di dunia, di bawah naungan sistem politik Khilafah yang Rasulullah saw. wariskan. Parpol itu, sedang terus bekerja dan menunggu dukungan kita. [MNews/SNA]


Posting Komentar

0 Komentar