Politik Dinasti dalam Demokrasi Mengancam Indonesia?


Siti Rima Sarinah

(Aktivis Dakwah) 


#Wacana - Politik dinasti adalah suatu kondisi saat kekuasaan politik dikuasai oleh segelintir keluarga atau kerabat dekat yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Ciri khas politik dinasti; posisi atau jabatan strategis diwariskan atau dilanjutkan kepada anggota keluarga dari generasi ke generasi, sehingga menciptakan monopoli kekuasaan di tangan satu keluarga. Politik dinasti sangat lekat dengan perpolitikan di Indonesia. Tampak dari pemerintahan orde baru hingga kini, politik dinasti semakin mengakar kuat sebagai sistem politik modern. Hal ini bukan sekadar isu melainkan sebuah fenomena global.


Keberadaan politik dinasti mengancam kualitas demokrasi yang selama ini dianggap sebagai bentuk pemerintahan 'paling ideal'. Fenomena ini mengakibatkan jabatan pemerintahan dikuasai oleh segelintir orang tertentu. Kita tentu masih ingat di era Soeharto, kekuasaan pemerintahan banyak dikuasai oleh anak-anak dan keturunannya. Hal ini pun terjadi pada masa pemerintahan Jokowi, tatkala sang anak dan menantu ikut serta dalam panggung perpolitikan dan mendapatkan posisi yang sangat strategis.


Pengamat politik Endiyah Puji Trisanti S.Si., menerangkan bahwa politik dinasti bisa dipastikan tumbuh subur dalam politik demokrasi. Fakta bahwa dalam pergantian rezim di pusat maupun daerah dari masa ke masa, banyak merepresentasikan wajah politik dinasti sulit terbantahkan. Dinasti politik akan tegak, ketika suatu rezim berhasil mempertahankan kekuasaannya dari satu periode ke periode elektoral dan akan bergilir kepada dinasti politik baru ketika kekuasaan lama tidak dapat dipertahankan (muslimahnews.com). 


Politik Dinasti: Ancaman Besar

Tidak dipungkiri keberadaan politik dinasti menjadi ancaman besar bagi negeri ini. Karena demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal, jadilah individu berkualitas tetapi minim modal terhalang untuk menjadi calon anggota dewan atau posisi pemeritahan lainnya. Muncullah sekelompok orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan rezim yang berkuasa ikut berkecimpung melalui partai politik dan menempati posisi strategis. 


Setiap pemilihan presiden, calon anggota legislatif, hingga kepala daerah tahun 2024, banyak menampilkan wajah politik dinasti rezim hari ini. Partai politik hanyalah dijadikan sebagai 'mesin politik' bertujuan untuk meraih kekuasaan semata. Pada akhirnya, fungsi partai tersumbat dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai penjaga kekuasaan agar berjalan pada jalur yang seharusnya.


Kehadiran politik dinasti juga memuluskan praktik KKN yang sangat merugikan rakyat dan merusak mekanisme kerja, menghalangi terciptanya clean and good government yang selalu diagung-agungkan sistem demokrasi. Slogan dari, oleh, dan untuk rakyat hanyalah kamuflase semata, karena sesungguhnya yang berkuasa adalah penguasa dengan politik dinastinya - menggandeng oligarki untuk memuluskan semua kepentingan-kepentingan mereka - bukan untuk kepentingan rakyat.


Hal ini terbukti dalam dua dekade kepemimpinan rezim hari ini, telah banyak melahirkan kebijakan yang terang-terangan menguntungkan oligarki. Seperti UU Cipta Kerja Omnibus Law, ekspansi infrastruktur yang terfokus pada investasi besar, privatisasi BUMN, pemberian izin usaha tambang dan sawit, restrukturasi utang dan dukungan kepada konglomerat, pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi, kebijakan pajak dan insentif fiskal, dan masih banyak lagi kebijakan lainnya yang menunjukkan 'hubungan mesra' antara penguasa dan oligarki. 


Politik dinasti adalah keniscayaan dalam demokrasi yang menjadi asas pemerintahan yang diterapkan di negeri ini. Demokrasi yang memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat hukum sesuai dengan hawa nafsu politiknya. Mahalnya mahar politik dalam sistem demokrasi membuat mereka yang memiliki modal besar mampu maju dan menjadi wakil rakyat. Parpol pun cenderung memilih mereka yang bermodal besar untuk menjadi perwakilan partai mereka. Ambisi parpol untuk meraih kemenangan dengan kepentingan politik individu pemilik modal, terwujudlah politik dinasti yang semakin melanggengkan praktik politik dinasti di negeri ini.


Kehadiran politik dinasti demokrasi di Indonesia merupakan ancaman besar dan harus segera disingkirkan. Keberadaannya justru membuat rakyat menjadi korban dan terkungkung dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Parpol yang mereka usung sebagai penyambung aspirasi rakyat, justru berkolaborasi dengan oligarki demi untuk meraih kekuasaan dan demi kepentingan politik partai mereka. Parpol pun tidak punya nyali dan akhirnya bertekuk lutut terhadap kekuasaan politik dinasti.


Partai politik yang bisa menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga kekuasaan, fokus untuk mengedukasi, mencerdaskan, dan membangun kesadaran rakyat untuk mengenal dan memilih calon wakil mereka yang bersungguh-sungguh peduli dan peka terhadap permasalahan yang dihadapi oleh rakyat, hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam. Sejatinya dalam Islam, wakil rakyat memiliki dua peran. Pertama, menjadi rujukan khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan. Kedua, mewakili umat dalam memberikan muhasabah kepada penguasa.


Peran sebagai wakil umat sangat dipahami dan disadari sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Keimanan dan ketaatan menjadi bekal untuk senantiasa melaksanakan tugas-tugasnya dengan sebaik mungkin. Meskipun terjadi pelanggaran, Islam memiliki seperangkat hukum untuk menyelesaikan dengan memberi efek jera.


Tidak ada orang yang kebal hukum dalam sistem Khilafah, siapa pun yang melanggar baik pejabat dan rakyat akan mendapatkan sanksi dan hukuman yang setimpal. Tidak ada celah KKN atau kebijakan apa pun yang akan membuat rakyat sengsara dan menderita. Justru rakyat menjadi prioritas utama untuk diurus dan dipenuhi semua kebutuhannya agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh setiap individu rakyat secara adil dan merata.


Clean and Good Government akan terlihat wujud nyatanya dalam sistem Khilafah. Sistem ini berisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk mengurus dan melindungi rakyat. Jabatan yang mereka emban hanyalah sebagai bekal untuk menghadap Al-Khalik, bukan untuk tujuan harta dan tahta seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi dengan politik dinastinya.[]

Posting Komentar

0 Komentar