Politik Gaduh, Cukupkah Meminta Maaf?

 





Politik Gaduh, Cukupkah Meminta Maaf?


EDITORIAL — “Saya ingin memohon maaf pada Bapak Ibu semua jika dalam 10 tahun ini ada hal-hal yang kurang berkenan dalam berinteraksi dan ada hal-hal yang kurang maksimal. Sekali lagi saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.” Demikian kalimat yang disampaikan Presiden Jokowi di hadapan para Menteri Kabinet Indonesia Maju saat rapat terakhir di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Jumat (13-9-2024).


Kalimat seperti ini bukan yang pertama ia sampaikan. Pada acara zikir dan doa kebangsaan di Istana Merdeka awal Agustus lalu, serta dalam pidato kenegaraannya pada Sidang Tahunan MPR, di gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16-8-2024), ia pun menyampaikan kalimat yang sama dan ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia.


Sekadar Narasi dan Normatif (?)


Transkrip lengkap pidato tersebut bisa kita baca di situs resmi kepresidenan. Isinya bukan hanya memuat permintaan maaf, tetapi juga berisi tiga poin amanat. Di antaranya adalah agar semua pihak menjaga kekondusifan, menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi, serta menjaga keamanan dan ketertiban. Juga ada penegasan agar para menterinya tidak membuat kebijakan-kebijakan yang ekstrem, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang berpotensi merugikan masyarakat luas dan berpotensi menimbulkan gejolak.


Tentu saja, dengan pidatonya ini, Presiden bukan sedang benar-benar meminta maaf, melainkan sekadar berpamitan karena pada 20 Oktober 2024 mendatang akan menjalani masa purnatugas setelah 10 tahun menjabat posisi kepemimpinan. Sekiranya bermaksud meminta maaf, tentu harus ada konsekuensi yang diberikan. Terlebih faktanya sepanjang 10 tahun kepemimpinan, ada banyak kebijakan yang dinilai merugikan rakyat dan menimbulkan berbagai kegaduhan.


Para ekonom memang sepakat bahwa selama kepemimpinannya ia berhasil menggaet investasi dan menggenjot pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Namun mereka juga sepakat bahwa semua itu harus dibayar mahal dengan apa yang mereka sebut sebagai “kemunduran demokrasi”. Sampai-sampai visi indah Nawacita pemerintahan Jokowi dipelesetkan menjadi “Nawadosa Jokowi”.


Hanya saja, semua kritik tampak belum cukup menjadi energi perubahan. Politik pencitraan yang dijalankan dan dukungan penuh para buzzer bayaran tampak ampuh untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Tidak heran jika pemerintahan hasil Pemilu yang memakan banyak korban ini bisa bertahan hingga dua periode kekuasaan.


Pada awalnya, harapan rakyat memang begitu besar. Citranya sebagai sosok yang sangat merakyat membuatnya didaulat sebagai “anak kandung reformasi” yang dinantikan. Namun, tidak perlu waktu yang lama, rakyat harus bangun dari mimpi karena sejak tahun pertama pemerintahan, kinerjanya sudah dianggap gagal.


Daftar Panjang Kegaduhan


Salah satu yang benar-benar dinilai suram adalah penanganan kasus hukum dan pelanggaran HAM. Hukum pada era ini digunakan sebagai alat diskriminasi dan kriminalisasi. Beberapa aktivis terpaksa harus berurusan dengan polisi. Lalu atas nama proyek deradikalisasi, beberapa ormas yang dikenal kritis pun menjadi korban karena dicabut badan hukumnya, seperti HT1 dan FP1.


Beberapa UU juga disahkan tanpa mengindahkan aspirasi rakyat hingga memicu demo besar-besaran. Bahkan yang paling fenomenal adalah pengesahan UU Omnibus Law yang sangat pro kekuatan modal. Juga Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang problematik karena mengandung pasal karet yang salah satunya bisa membungkam sikap kritis masyarakat.


Selain itu, pemerintah juga sempat mengeluarkan Perpres TKA yang mempermudah masuknya pekerja asing demi sukses proyek-proyek mercusuar bernama proyek strategis nasional. Juga merevisi UU KPK yang nyata-nyata melemahkan lembaga antirasuah dan dilanjut dengan pengangkatan ketua KPK yang dikenal bermasalah. Lalu diikuti pula dengan pengesahan UU IKN yang kontroversial dan berbau bagi-bagi “kue kekuasaan”. Juga mengegolkan Revisi UU ITE yang melegalkan tindak represif dan menjadi alat membungkam suara-suara oposan.


Lima tahun berikutnya, banyak pula kasus mencuat ke permukaan. Dimulai dengan maraknya kasus perampasan ruang hidup demi ambisi investasi penguasa, seperti yang terjadi di Rempang. Juga marak kasus kekerasan, persekusi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang membela haknya, seperti terjadi pada kasus Wadas, Rempang, Kanjuruhan, dan kasus perburuhan. Mencuat pula kasus pelanggaran HAM berat, terutama yang terjadi di Papua dan diketahui sudah banyak memakan korban.


Semua itu disusul dengan masifnya kapitalisasi sistem pendidikan dengan kisruh soal UKT dan penerapan Kurikulum Merdeka pada semua jenjang pendidikan. Juga marak kasus KKN hingga puluhan menteri serta pejabat diciduk dan disukamiskinkan. Pada saat yang sama, terjadi pula pelemahan fungsi kelembagaan negara secara terstruktur, sistematis, dan masif, seperti pada KPK, MA, dan MK, menyusul isu kecurangan dan kisruh pemilu di Pilpres dan Pilkada. Alhasil, kekuasaan pun begitu sulit digoyang.


Semua ini berkelindan dengan kian parahnya eksploitasi SDA dan menguatnya kuasa oligarki, yang diikuti mangkraknya berbagai proyek PSN, termasuk IKN. Muncul pula kasus-kasus kebocoran data yang menimpa lembaga-lembaga penting negara, serta mencuatnya isu politik dinasti yang menghebohkan dunia nyata dan dunia maya. Yang paling anyar, tidak lama setelah pidato amanat dan permintaan maafnya diucapkan, Presiden Jokowi malah meneken legalisasi penambangan pasir laut setelah 20 tahun dilarang.


Pemerintahan Jokowi juga dikenal paling berani dan cenderung nekat dalam menetapkan berbagai kebijakan fiskal demi menyelamatkan keuangan negara yang makin kolaps. Di tengah masifnya asingisasi dan swastanisasi pengelolaan aset-aset strategis, terutama SDA dan infrastruktur, berbagai jenis pajak dan pungutan pun ditarik hingga makin mencekik rakyat banyak. Subsidi BBM dan LPG pun terus dikurangi dengan dalih realokasi. Begitu pun dengan utang, sepanjang 10 tahun terakhir, jumlahnya naik lebih dari tiga kali lipat. Tercatat, warisan utang Jokowi pada Juli 2024 saja sudah tembus di angka Rp8.502,69 triliun.


Cacat Sistem Kepemimpinan


Mirisnya, semua daftar problem ini belum termasuk problem sosial dan hukum lain yang makin merebak dan tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah pada era ini. Berbagai kasus kekerasan, penistaan agama, kriminalitas anak dan remaja, perundungan di lembaga pendidikan, judol, pinjol, stunting, tsunami PHK, dan lain-lain, malah bertambah marak dengan kadar yang kian mengerikan.


Walhasil, begitu banyak PR yang akan diwariskan, termasuk tradisi politik dan kebijakan pragmatik yang dipastikan akan berdampak jangka panjang dan tentu akan menjadi beban bagi pemerintahan dan rakyat pada masa yang akan datang. Wajar jika muncul sebuah pertanyaan besar, akankah semuanya bisa diselesaikan hanya dengan mengganti orang? Akankah cita-cita besar menjadi negara terdepan dan berkemajuan bisa diwujudkan?


Menilik problem yang berderet panjang, sulit rasanya bagi siapa pun untuk bisa menyelesaikan. Terlebih faktanya, satu soal dengan soal yang lainnya saling berkelindan dan bermuara pada satu persoalan besar, yakni rusaknya sistem kehidupan yang diterapkan. Sudahlah bermasalah pada sisi personal kepemimpinan, sistemnya pun rusak secara fundamental.


Betapa tidak? Hari ini kita hidup dalam sistem yang cacat sejak awal, yakni sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Sistem yang hanya menjadikan akal manusia yang lemah dan terbatas sebagai sumber hukum dan kebijakan, serta melahirkan para pemimpin zalim dan jauh dari kapabel.


Pemimpin dalam sistem ini minus visi berdimensi akhirat. Konsep amanah pun cuma ada dalam wacana. Kekuasaan dikejar demi kepentingan dunia, tidak ada batasan halal haram. Wajar jika semua UU dan kebijakan yang diterapkan begitu sarat kepentingan. Terlebih penerapan sistem demokrasi membuat ongkos politik begitu mahal karena tegak melalui iklan dan pencitraan. Terbukalah celah persekongkolan antara para pemburu kekuasaan dan para pemilik modal pada setiap rezim kepemimpinan. Bahkan, dalam konteks politik global, para penguasa rela menjadi perpanjangan tangan penjajahan.


Oleh karenanya, jangan harap ada kebijakan yang memihak kepentingan rakyat karena semua ongkos politik harus dibayar dengan kebijakan yang memihak para pemodal. Terlebih sistem rusak ini memiliki mekanisme internal untuk tetap mempertahankan keburukan. Salah satunya adalah merebaknya budaya KKN dan menguatnya politik dinasti yang dilegalkan. Mekanisme lainnya adalah menolak setiap upaya perubahan yang mengarah pada pergantian sistem. Terlebih jika perubahan itu mengarah pada terbentuknya sistem Islam karena antara Islam dan demokrasi satu sama lain akan saling menegasikan.


Sistem Islam Satu-satunya Harapan


Islam adalah sistem hidup yang sempurna dan datang dari Sang Pencipta sebagai solusi tuntas bagi seluruh persoalan kehidupan manusia. Syariatnya merupakan perangkat yang diberikan Allah Swt. agar manusia bisa menjalankan visi penciptaannya, yakni sebagai hamba, sekaligus khalifah di muka bumi yang akan menebar rahmat bagi semesta alam. Dengan syariat-Nya inilah, kehormatan, agama, akal, harta, nyawa, dan nasab manusia akan benar-benar terjaga.


Islam menempatkan penguasa sebagai pelaksana syariat Allah tersebut atas seluruh manusia. Islam menjadikan amanah kepemimpinan sebagai amanah mulia yang berdimensi dunia akhirat. Siapa pun yang diamanahi kepemimpinan, harus siap mempertanggungjawabkan dengan pertanggungjawaban yang berat di akhirat. Mereka yang amanah akan mendapat surga, sementara yang tidak amanah, siap-siap mendapat azab neraka.


Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (yaitu dengan melaksanakan syariat-Nya). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa: 58).


Rasulullah saw. juga bersabda, “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada Hari Kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR Tirmidzi).


Juga bersabda, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada Hari Kiamat.” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim). 


Sabdanya pula, “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada Hari Kiamat.” (HR Ath-Thabrani).


Dimensi ruhiah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina, atau semata demi kebanggaan nafsu amarah sesaat, lalu dengan ringan mencuci dosa dengan kata-kata maaf sebagaimana dalam sistem sekarang. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya rida Allah di dunia dan akhirat.


Khatimah


Demikianlah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil mengantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat.


Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka justru membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan, bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apa pun. Sejarah Islam justru telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun, dan pengorbanan mereka atas umat, serta fragmen kesedihan dan ketakutan mereka atas kelalaian, hingga akhirnya mereka sukses membawa umat pada kejayaan mereka; menjadi umat terbaik (khairu ummah) di antara manusia.


Semua itu utopis bisa lahir dalam sistem kepemimpinan yang tegak sekarang. Oleh sebab itu, sudah saatnya umat berjuang melakukan perubahan sistem melalui jalan dakwah pemikiran tanpa kekerasan. Dakwah inilah yang dicontohkan baginda Rasulullah saw. hingga beliau mampu membangun sebuah peradaban Islam cemerlang yang diwariskan dari generasi ke generasi hingga belasan abad kemudian. 


Posting Komentar

0 Komentar