Wacana - Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB pada tahun 2021 lalu telah mengeluarkan laporan bahwa 45,5% sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang adalah sampah makanan atau sampah rumah tangga. Hal ini tentu tidak mengejutkan, mengingat padatnya penduduk Jakarta yang pada tahun 2020 lalu mencapai 10,6 juta jiwa telah menyumbang lebih dari 14.000 meter kubik sampah rumah tangga per harinya.
Timbunan sampah di TPST Bantar Gebang ini telah meningkat yang pada tahun 2014 sekitar 5.665 ton per day (tpd) menjadi 7.424 tpd di tahun 2020 atau meningkat tiga puluh persen dalam lima tahun. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memprediksi bahwa Bantar Gebang akan kelebihan muatan (kompas.com, 14/9/2021).
Masalah sampah yang makin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun ini, tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah kota DKI Jakarta untuk menyelesaikannya agar masyarakat tidak lagi dikelilingi sampah yang menggunung.
Mencoba Solusi
Dengan terus meningkatnya jumlah sampah tiap tahun, maka Pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk memikirkan solusi tuntas atas hal tersebut. Pada tahun 2021 lalu Pemda DKI berusaha membangun Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA). Fasilitas ini mengolah sampah melalui perubahan bentuk, komposisi, karakteristik, jumlah teknologi pengolahan sampah yang tepat guna, teruji, juga ramah lingkungan.
Namun, pembangunan fasilitas ini tidak berjalan dengan mulus. Walhi mendesak pemkot untuk menghentikan proyek pembangunan fasilitas ini karena menurut mereka teknologi yang digunakan terkesan dipaksakan. Selain itu, fasilitas tersebut justru berdampak buruk terhadap lingkungan dan makhluk hidup.
Tahun ini, Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono mempunyai gagasan untuk membangun pulau sampah di Kepulauan Seribu guna menyelesaikan krisis pengelolaan sampah Jakarta (antaranews.com, 20/5/2024). Usulan pembangunan pulau sampah ini digunakan untuk lokasi pengolahan sampah bagi wilayah aglomerasi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dalam jangka waktu 100 tahun ke depan.
Pulau Sampah
Pulau sampah merupakan gagasan yang disampaikan oleh Pejabat Gubernur DKI Jakarta untuk mengurai masalah limbah yang kian lama makin bertambah jumlahnya. Dikutip dari tirto.id, dinyatakan bahwa pulau sampah adalah kawasan luas di lautan yang terdiri dari berbagai jenis sampah (14/5/2024).
Pulau sampah ini juga terdapat di Singapura dengan luas mencapai 350 hektar. Pulau sampah ini dibangun di lepas pantai yang struktur desainnya dibuat agar limbah sampah tidak mencemari laut lepas.
Namun, pulau sampah ini mempunyai beberapa dampak lingkungan ke laut dan daratan. Hal ini pernah diteliti oleh Profesor Walter Leal Filho, peneliti dari Universitas Hamburg (Jerman). Dalam penelitiannya, Filho menyebutkan dampaknya antara lain, pertama, menyebabkan ikan terjebak plastik.
Kedua, menyebabkan sampah tertelan ikan. Menurut National Geographic, pulau sampah di lautan ring dipenuhi oleh mikroplastik yang tidak sengaja tertelan oleh ikan dan biota laut yang tentunya menyebabkan masalah kesehatan bagi mereka.
Ketiga, meningkatkan resiko munculnya spesies asing invasif. Sampah laut bisa mengangkut banyak spesies laut dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini justru bisa mengganggu ekosistem setempat karena dikalahkan oleh spesies yang baru. Keempat, meningkatkan resiko pencemaran air. Terakhir, menipisnya oksigen di laut dikarenakan plastik yang tidak terurai di lautan melepaskan gas rumah kaca sehingga meningkatkan pemanasan global (tirto.id, 14/5/2024).
Selain itu katadata.co.id melansir bahwa Walhi menyatakan pembangunan pulau sampah akan berdampak pada kesehatan dan mata pencarian masyarakat pesisir khususnya nelayan (30/8/2024). Hal itu dikarenakan ekosistem laut yang terancam rusak akibat dari pencemaran pulau sampah. Pulau sampah di Pulau Semakau, Singapura pun hari ini mulai melebihi kapasitas, sehingga didesak oleh pakar untuk mulai fokus mengurangi sampah.
Kepedulian Negara
Problem membludaknya sampah tiap tahun adalah selain karena kepadatan penduduk yang tidak merata, juga karena kecenderungan yang salah dalam memilah dan memilih material untuk digunakan masyarakat.
Jakarta hingga saat ini jadi kiblat utama masyarakat untuk meraih kesuksesan, muncullah masalah pemerataan penduduk. Sejatinya, dengan memeratakan perputaran uang di tiap daerah, maka masyarakat tidak harus jauh menuju Jakarta untuk mencari penghidupan. Selain itu, sistem distribusi dan kesejahteraan yang tidak merata menjadi poin penting adanya kesenjangan di tiap daerah.
Selanjutnya, dalam hal memilah dan memilih material sesungguhnya berbanding lurus dengan ilmu pengetahuan dan kepedulian negara atas kesehatan rakyatnya. Bahan yang digunakan harusnya tak hanya sekedar murah dan mudah, tapi aman bagi kesehatan dan bisa didaur ulang.
Hari ini, dengan berlapisnya masalah yang menimpa negara, penguasa makin tidak peduli pada masyarakat dalam segala hal. Kesehatan, pendidikan, juga kesejahteraan menjadi barang yang sulit di dapat.
Di negeri yang hanya berpihak pada segelintir orang dan menjadikan demokrasi sebagai asas, tentu tidak pernah berniat menjadikan masyarakat pihak yang penting dan utama untuk dinomorsatukan. Jelas dalam hadis Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa,”Seorang imam (penguasa) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya”.
Dengan demikian, dalam persoalan sampah yang harus menjadi fokus utama adalah jangan lagi membuat material yang akhirnya tidak dapat didaur ulang dan mengganggu kesehatan rakyat. Walaupun butuh modal dana dan ilmu pengetahuan untuk prosesnya, tetapi hasilnya akan dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Wallahualam.
0 Komentar