Subsidi KRL Berbasis NIK: Gagasan Absurd


Ruruh Hapsari

(Penulis dan Aktivis Dakwah) 


Negeri yang dahulu terkenal gemah ripah loh jinawi, sumber daya alamnya dari atas tanah hingga di bawah bumi ini kenyataannya tidak dapat mengelola kekayaan dengan baik. Terbukti hingga saat ini masyarakatnya tidak dapat menikmati kekayaan dari alam yang melimpah tersebut.

Di sisi lain, masyarakat seakan tidak bisa menikmati kekayaan yang mereka dapatkan dari hasil kerja keras mereka. Pasalnya, pajak yang makin tinggi pun siap memangkas gaji bulanan yang tidak seberapa itu. 

Sedangkan subsidi yang kini menjadi imbalan untuk masyarakat, lambat laun dilepas. Dengan kata lain, penguasa hanya akan memberikan bantuannya pada masyarakat yang tidak mampu. Padahal, hal tersebut sering salah sasaran karena tidak jelasnya data penduduk miskin. 

Berita terkini, KRL sebagai salah satu transportasi publik murah nan cepat yang membelah Jabodetabek, kabarnya perlahan pemerintah juga akan melepaskan subsidinya. Alasan pemerintah adalah agar subsidi yang diberikan oleh negara lebih tepat sasaran.

Gagasan Aneh

Selama ini tarif Commuter Line menggunakan skema PSO (Public Service Obligation) yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Kemudian dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2025 terungkap bahwa dokumen yang akan diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama itu mencantumkan beberapa perbaikan yang akan dilakukan untuk skema kewajiban pelayanan publik (PSO) Kereta Api (bbc.com, 3/9/2024).

Perbaikan tersebut salah satunya adalah pada sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek yang tiket elektronik ini akan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi pengguna KRL. Hal ini memang belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Kemenhub juga masih membuka ruang diskusi untuk menerima masukan dan saran dari akademisi ataupun masyarakat agar kebijakan tersebut tidak memberatkan pengguna KRL.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) yang juga sebagai pengamat transportasi, Deddy Herlambang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban melaksanakan pelayanan publik atau Publik Service Obligation (PSO) yang didasari pada Pasal 66 UU BUMN. Menanggung selisih harga pada biaya produksi merupakan bentuk PSO pemerintah pada masyarakat dalam hal transportasi umum khususnya kereta komuter (bbc.com, 3/9/2024).

Herlambang tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah tersebut, ia mempertanyakan hal yang mendasari ketetapan pemerintah itu. Hal ini karena data masyarakat miskin di Indonesia masih belum rapi sehingga aturan tersebut akan rentan salah sasaran dan pilih kasih. 

Selain itu masih dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 disebutkan bahwa anggaran subsidi untuk kendaraan listrik termasuk sepeda motor, mobil dan bus mencapai Rp9,2 triliun pada 2024. Sedangkan subsidi untuk PSO atau layanan publik hanya Rp7,9 triliun. “Ini kan aneh, seharusnya subsidi untuk angkutan massal lebih banyak,” ujar Herlambang. Ia menegaskan bahwa pemberian subsidi tersebut tidak tepat sasaran karena pembeli kendaraan listrik tentulah orang yang mampu. 

Sigit Sosiantomo, anggota Komisi V DPR RI menyatakan bahwa bila subsidi berdasarkan NIK diberlakukan, maka sesungguhnya sudah ada tindakan diskriminatif dalam layanan publik. Selain itu ia juga menyatakan jika benar peraturan tersebut akan diberlakukan, maka hal itu jelas tidak pro rakyat. Karena skema PSO yang baru akan beresiko menambah beban ekonomi bagi pengguna KRL yang tidak memiliki akses subsidi terutama masyarakat kelas menengah-bawah (kontan.co.id, 3/9/2024).

Sedangkan menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi bahwa bila alasan pemerintah tidak tepat sasaran, maka hal itu jelas kontradiktif dengan pemberian subsidi BBM yang juga tidak tepat sasaran. “Itu subsidi BBM jumlahnya ratusan kali lipat kenapa dibiarkan? Artinya kan pemerintah juga mensubsidi pengguna motor dan mobil. Lah ini, subsidi pengguna angkutan massal KRL malah diotak-atik, kan aneh, absurd, alias menggelikan,” ujarnya (Kompas.com, 3/9/2024). 

Kesejahteraan

Kebijakan subsidi KRL berbasis NIK ini tentunya bukan kebijakan yang berdiri sendiri, bahkan berkelindan dengan kebijakan dan situasi penguasa saat ini. Sayangnya, gambaran kesejahteraan ala kapitalisme telah menjadikan masyarakat justru terpuruk. Hal itu disebabkan oleh keserakahan penguasanya sendiri yang haus akan kekayaan ataupun jabatan yang memang sangat dilegalkan oleh sistem buatan manusia itu. 

Kesejahteraan rakyat sesungguhnya merupakan orientasi kerja penguasa. Hal ini bukan hanya karena tanggung jawab sebagai si empunya kuasa, tetapi merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurusi rakyatnya.

Mengurusi urusan rakyat ini maknanya luas. Bukan hanya memberikan harga murah untuk fasilitas publik, mempermudah segala urusan terkait administrasi, tetapi juga menjamin kebutuhan pokok per individu masyarakat. 

Konteks per individu masyarakat artinya adalah seluruh masyarakat. Bukan hanya golongan masyarakat miskin saja yang diberikan layanan, tetapi masyarakat berada pun berhak mendapatkan layanan yang murah hingga gratis dari pemerintah selama ia menjadi warga masyarakat setempat. Otomatis murahnya biaya KRL tentu merupakan kewajiban pemerintah untuk melayani warganya tanpa dibatasi oleh NIK. 

Kewajiban negara dalam memelihara urusan rakyatnya tercantum dalam sabda Rasulullah saw., “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Walhasil, yang mampu memperhatikan kesejahteraan rakyat sesungguhnya hanya negara yang berlandaskan syariat saja. Sedangkan negara ala kapitalis yang hanya mengurusi perut penguasa, sungguh jauh dari gambaran sejahtera. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar