Awas, Bahaya Virus Pelangi!



Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany) 


#TelaahUtama — Baru-baru ini sebanyak 12 anak penghuni panti asuhan Darussalam An-Nur, di Kunciran Indah, Kota Tangerang, Banten, dipindahkan ke Rumah Perlindungan Sosial (RPS) milik Dinas Sosial Kota Tangerang. Tercatat 8 anak asuh panti asuhan tersebut menjadi korban kekerasan seksual dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Dari 8 korban, 5 orang berusia anak dan 3 lainnya dewasa. Panti asuhan Darussalam An-Nur yang sudah berdiri sejak 2006 ternyata tidak didaftarkan ke Kemensos atau tidak berizin. Selama panti asuhan tersebut beroperasi, diduga korban seluruhnya bisa mencapai lebih dari 40 anak (laki-laki). 

Temuan kejahatan seksual di lingkungan panti asuhan yang mengayomi para yatim dan piatu tentu saja membuat geger masyarakat. Terlebih lagi, dengan label islami yang disematkan pada nama panti asuhan tersebut kian membuat umat mengernyitkan kening. Dampaknya, makin ke sini lembaga 'asuh' anak tak terkecuali yang berlabel islami tampak makin tidak kredibel di mata masyarakat. Ironisnya, kondisi tersebut sedikit mempengaruhi pandangan umat terkait lembaga pendidikan formal Islam.  

Perilaku kaum s0d*m nyatanya bukan hanya kali ini terjadi di lingkungan pendidikan. September lalu, seorang pengawas pondok pesantren di Mojokerto tega mencabuli 5 santri laki-laki. Sedangkan Juli lalu terkuak kasus s0d*m1 yang melibatkan 40 korban santri laki-laki di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pelakunya adalah dua oknum guru. Tidak sampai di situ, masih di MTI Canduang kembali terungkap kasus serupa dengan pelaku dan korban merupakan kakak dan adik kelas. 

Makin maraknya perilaku menyimpang kaum pelangi di dunia pendidikan yang bahkan merambah ke sekolah-sekolah berbasis agama, menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin lingkungan 'taat agama' tidak mampu membendung tindakan bejat kaum Luth? Mengapa lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung anak-anak, tak jarang justru menjadi sarang predator s3ks? Lalu lingkungan macam apa yang mampu melindungi anak-anak kita? 

Sesungguhnya yang menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan negeri ini adalah penerapan hukum sekuler-liberal yang mengakar kuat di tengah-tengah umat. Paham sekuler yang meniadakan hubungan antara kehidupan manusia dengan agama (Islam) pada akhirnya membuat umat tidak lagi menimbang perilakunya berdasar halal-haram tetapi cinta-benci. Sedangkan paham liberal yang mengagung-agungkan ide kebebasan terutama kebebasan bertingkah laku, membuat umat bertindak sesuka hati tanpa mengingat pertanggungjawaban mereka di yaumul hisab kelak. 

Padahal sepanjang sejarahnya, isu L987Q+ bukanlah narasi yang secara fitrah diterima oleh masyarakat luas. Perilaku menyimpang kaum pelangi yang secara nyata menyalahi kodrat manusia menjadi alasan utama bagaimana propaganda yang diaruskan komunitas tersebut melewati jalan terjal dan berliku. Namun, nyatanya hal tersebut tidak memadamkan semangat kaum pelangi menyebarluaskan perilaku laknat mereka. 

Kita melihat bagaimana sebelumnya pada Juli 2023, komunitas kaum pelangi di wilayah Asia Tenggara sempat berencana menyelenggarakan ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia. Sekalipun acara tersebut batal diberlangsungkan dengan alasan ‘keamanan’, tetapi kita bisa menilai betapa masif dukungan yang diberikan kepada kaum pelangi bahkan melibatkan pihak asing. Pada AAW tersebut saja tercatat berbagai lembaga HAM, komunitas diplomatik, hingga organisasi masyarakat sipil (CSO) yang disandingkan dengan para awak media ikut berpartisipasi. 

Aktivitas perilaku menyimpang kaum pelangi sesungguhnya didukung banyak negara besar terutama Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jerman. Selama tiga tahun fiskal terakhir sebesar 4,1 miliar dolar AS (setara Rp62,7 triliun) uang federal Amerika Serikat telah dialirkan ke berbagai lembaga L987Q+ di seluruh dunia. Bahkan dari 1 Oktober 2020 hingga 30 September 2023, pemerintah AS menggelontorkan lebih dari 1.100 hibah untuk mendanai proyek yang mempromosikan L987Q+ di berbagai negara mulai dari Belarusia, Nigeria, sampai ke Tiongkok dan Asia Tenggara (theepochtimes.com, 10/11/2023). Di sisi lain, Perancis telah mengeluarkan dana sebesar 2 juta euro (sekitar Rp32,8 miliar) untuk kedutaan-kedutaan besar mereka di seluruh belahan bumi guna mendukung perlindungan hak-hak L987Q+ pada 2023 silam (kompas.com, 19/09/2023). 

Dukungan terhadap kaum pelangi tidak hanya diberikan oleh negara-negara raksasa dunia tetapi juga banyak pemimpin internasional dan para konglomerat dunia. Sebut saja pertemuan fenomenal pada tahun 2008 silam di Bellagio, Italia yang melibatkan setidaknya 29 pemimpin internasional dengan tujuan memperkuat komitmen mereka dalam memperluas filantropi global guna mendukung hak-hak L987Q+. Dalam pertemuan tersebut kita menemukan nama Stryker dan Ise Bosch, pendiri Dreilinden Fund di Jerman. Kita juga menemukan nama Michael O'Flaherty, salah satu pengusul Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in Relation to Sexual Orientation and Gender Identity (prinsip-prinsip kesetaraan L987Q+ yang digariskan di Indonesia, 2006). 

Derasnya kucuran dana pada kaum Nabi Luth benar adanya. Di Amerika Serikat misalnya, seorang transgender ‘sukses’ meluncurkan bank digital Daylight yang menargetkan pasarnya khusus kepada kaum pelangi. Beberapa fitur yang tersedia dalam layanannya dikhususkan bagi 30 juta orang Amerika yang diperkirakan masuk dalam kategori L987Q+, seperti membuat akun dengan nama baru mereka meskipun beda dengan nama asli di kartu identitas dan memungkinkan untuk menerima pelatihan keuangan yang tujuannya disesuaikan dengan kebutuhan komunitas L987Q+. Startup ini pun pada 2020 berhasil memperoleh dana hingga US$318 juta (setara Rp4,9 triliun) dari investor (kontan.co.id, 14/05/2021). 

Untuk wilayah Asia sendiri, pada 2016 United Nations Development Programme (UNDP), salah satu badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengucurkan dana sebesar US$8 juta (sekitar Rp108 miliar). Dana tersebut difokuskan untuk komunitas L987Q+ di 4 negara Asia yakni Indonesia, Tiongkok, Filipina, dan Thailand (detik.com, 12/02/2016).

Program UNDP tersebut menggandeng kemitraan regional dengan kedutaan Swiss di Bangkok dan USAID (United States Agency for International Development). 

Ironisnya, pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pernah mengakui ada tekanan dari lembaga-lembaga internasional terkait kampanye L987Q+. Misalnya, pada 2015 lalu ketika Kementerian PPPA menggalakkan upaya pencegahan perkawinan usia dini, khususnya pada perempuan di bawah usia 21 tahun, salah satu lembaga internasional mengajukan modul pelatihan. Namun, ternyata sebagian isi modul itu hanyalah kedok untuk kampanye pro-pernikahan sesama jenis (republika.co.id, 15/02/2016). 

Tekanan serupa juga dilancarkan kepada negara selain Indonesia. Pada Mei 2024 lalu, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) didesak menggunakan pengaruhnya dalam membujuk Ghana mempertimbangkan kembali rancangan undang-undang (RUU) anti- L987Q+. Rancangan kebijakan tersebut dapat menjerat siapa pun yang mengidentifikasi diri sebagai L987Q+ dengan hukuman penjara hingga tiga tahun. Ghana disebut-sebut bisa kehilangan dana hingga Rp61 triliun jika bersikeras mendiskriminasi komunitas L987Q+ (idntimes.com, 13/05/2024). 

Seiring dengan kian gencarnya propaganda isu L987Q+ yang didukung kucuran dana bernilai fantastis, penyebaran opini kaum pelangi terus berlanjut dan menyebar tak terkendali. Sosok-sosok pelangi kini dengan bebas bertebaran di industri hiburan Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang rajin 'mejeng' di layar kaca dan menjadi 'duta toleransi dan perdamaian'. Alhasil, yang dulunya kaum pelangi memiliki citra buruk di mata masyarakat Indonesia, kini mulai dianggap 'tidak berbahaya'. Maka muncullah jargon ‘Ranjangku Urusanku’ guna melabeli perilaku L987Q+ dalam ranah privat yang tidak perlu diurusi umat. 

Dari sini makin terlihat bahwa ‘menitipkan’ anak-anak kita di lingkungan pendidikan agamis tidak akan cukup mampu membendung derasnya propaganda kaum penyuka sesama jenis. Karena sejatinya penerapan hukum sekular-liberal, yang membiarkan umat hidup bebas tanpa batasan Islam, justru menjauhkan umat dari aturan hidup Sang Pencipta. Sekalipun anak-anak kita telah menimba ilmu sedari dini di lembaga-lembaga Islam, mereka tetap harus menahan derasnya pemikiran merusak L987Q+ yang dipertontonkan di berbagai media sosial dan media mainstream

Dengan demikian, sejatinya diperlukan tindakan serius untuk memastikan virus L987Q+ tidak merasuk ke benak generasi muda Indonesia. Tidak cukup hanya dengan membekali anak-anak negeri dengan pendidikan formal Islam, tetapi harus dibarengi dengan pembinaan intensif yang secara menyeluruh menjadikan generasi umat ini berkepribadian Islam dan memiliki tsaqafah Islam kafah. Selain itu, pada level masyarakat diharuskan adanya pembiasaan aktivitas amar makruf nahi mungkar yang secara masif menjelaskan kepada umat akan bahaya perilaku pengikut kaum Nabi Luth. Terakhir pada level negara, diwajibkan adanya kebijakan dan aturan pasti yang secara tegas menindak pelaku dan perilaku L987Q+. Karena tanpa adanya peran negara, sungguh kaum pelangi akan tetap berkeliaran di tengah-tengah masyarakat dan mengancam masa depan generasi penerus umat.  Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar