EDITORIAL — Santer polemik soal kementerian gemuk yang diproyeksikan akan dibentuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Wacana ini tambah menguat setelah DPR, pada akhir masa kerjanya, secepat kilat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang.
Dalam UU ini ketentuan batas maksimal jumlah kementerian yang sebelumnya 34 pos dihapus dan diganti menjadi sesuai dengan kebutuhan presiden. Meski berusaha dibantah, ditengarai UU ini disahkan demi mengakomodir kebutuhan pemerintahan Prabowo-Gibran dengan koalisinya yang sangat besar alias over coalition.
Politik Balas Budi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan proyek pembangunan merupakan hal lumrah dalam politik hari ini. Hal ini terkait dengan mahalnya ongkos meraih kursi kekuasaan yang membuat praktik politik menjadi sangat transaksional. Suara dukungan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Visi dan misi perjuangan partai pun mudah mencair sesuai kepentingan.
Terlebih tampak pula dalam sistem politik sekarang, tegaknya kekuasaan sudah lazim ditopang oleh kekuatan koalisi partai yang mana koalisi ini terbentuk karena berbagai pertimbangan. Dari sisi pemegang kekuasaan, misalnya, koalisi dibutuhkan untuk meraih kekuatan politik mutlak yang lebih besar, sekaligus untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas. Sementara bagi partai, dukungan terhadap pemegang kekuasaan dianggap sebagai investasi yang menguntungkan karena posisinya seperti utang yang harus dibayar.
Pada kasus pemerintahan Prabowo-Gibran, koalisi ini bukan hanya terbentuk dari partai pengusung saat pencalonan. Dengan dalih rekonsiliasi dan perdamaian, parpol-parpol nonkoalisi juga ramai-ramai merapat ke pusaran kekuasaan hingga membentuk sebuah koalisi besar. Bukan hanya parpol yang secara ideologis ada irisan, bahkan yang selama ini dikenal berseberangan semisal PKS pun nyatanya tidak mau ketinggalan. Walhasil kekuasaan yang tegak sekarang, nyaris tanpa parpol oposan yang bertindak sebagai penyeimbang.
Dalam konteks inilah wacana kementerian gemuk mulai panas dibicarakan. Bahkan pihak pemerintah sedang menyusun komposisi menteri ini sebelum pelantikan pada 20 November mendatang. Dalam hal ini, mereka memberi jaminan bahwa kabinet yang akan dibentuk akan jauh dari nuansa bagi-bagi kekuasaan. Mereka menyebutnya sebagai ‘Kabinet Zaken’, yakni kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli atau profesional dan bukan representasi dari suatu parpol.
Hanya saja, sebagian pengamat mengatakan bahwa model Kabinet Zaken seperti itu merupakan ilusi dan hampir mustahil dipakai pada koalisi yang over kapasitas. Bagaimana pun pemerintahan yang terbangun dalam habitat politik transaksional harus siap dituntut untuk merangkul semua partai politik yang memberi dukungan. Artinya, meski para menteri atau pejabat ini benar-benar dipilih karena keahlian dan bukan orang partai, akan tetapi patut dicurigai mereka adalah orang-orang yang direkomendasikan oleh parpol. Walhasil kabinet yang akan muncul adalah pseudo zaken alias seolah-olah zaken.
Rakyat Dikorbankan
Secara teori, model Kabinet Zaken dipandang sebagai model yang ideal karena bisa menghindari terjadinya malfungsi kabinet, menghindari terjadinya praktik korupsi di kabinet, serta memaksimalkan kinerja dari para menteri anggota kabinet. Penggunaan model ini bahkan disebut-sebut akan menjamin kerja kementerian yang gemuk yang justru bisa lebih efektif karena ada fokus kerja yang tersentral.
Masalahnya, berharap ada “makan siang gratis” pada sistem politik sekuler liberal hari ini bagaikan mimpi di siang bolong. Pasalnya, parpol dibentuk dan orang-orang aktif berpartai justru dalam rangka menjadikannya sebagai kendaraan atau batu loncatan. Tujuan akhirnya adalah memenuhi syahwat kekuasaan yang dengannya jalan memperoleh materi menjadi terbuka lebar. Jadi bagaimana bisa percaya, ada partai yang mendukung kekuasaan niatnya tulus ikhlas lillaahi Taala?
Walhasil semua narasi itu hanyalah kamuflase untuk menutupi borok yang sudah berurat akar. Titik kritisnya bahkan menjadi sangat banyak dan saling berkelindan. Bukan hanya sekadar soal efisiensi kerja dan peluang overlapping tupoksi jabatan yang membuat kerja pemerintahan makin inefisien atau sekadar soal pertambahan nomenklatur yang konsekuensinya akan berimplikasi pada fiskal negara. Ini karena bukankah adanya pertambahan pos jabatan pasti akan banyak menciptakan pos pekerjaan turunan?
Namun, ada hal lain yang tidak kalah berbahaya, yaitu makin terbuka lebarnya pos-pos kerusakan, mengingat selama ini nyaris seluruh pos jabatan selalu dimanfaatkan parpol untuk bagi-bagi remah kekuasaan di level internal, sementara urusan kapasitas dan kapabilitas seringkali diabaikan. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban.
Negeri ini punya pengalaman yang cukup panjang tentang hal demikian. Jabatan yang diberikan terbukti menjadi alat parpol dan elitenya untuk menarik keuntungan. Jabatan-jabatan strategis dan nonstrategis di bawah kementerian, menjadi ajang pemetaan potensi kader partai, bukan hanya di level pusat, tetapi hingga di level daerah. Sampai-sampai sebaran manfaat kebijakan pun ditentukan berdasarkan itung-itungan politik kepentingan.
Pada sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, fakta tersebut benar-benar tampak secara sangat telanjang. Meski kabinetnya masih dikatakan normal, tetapi komposisinya benar-benar merepresentasi kepentingan parpol. Databoks mencatat, sejak pertama berkuasa, setidaknya sudah tujuh kali kabinetnya direshuffle. Namun tetap saja semuanya kental dengan kepentingan parpol.
Tidak mengherankan jika kinerja pemerintahan menjadi kacau balau di tiap level karena jabatan tidak dipegang oleh ahlinya. Yang paling menonjol, dari tahun ke tahun kasus korupsi justru makin merajalela, mulai yang dilakukan oleh menteri, kepala daerah, hingga pejabat-pejabat dinas di bawahnya. Adapun untuk level yang lebih rendah lagi sudah tidak terhitung banyaknya, bahkan bisa jadi sudah pada taraf membudaya.
Sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Jokowi kasus korupsi juga makin parah dari sebelumnya. Bahkan ada yang menyebut, pemerintah Jokowi lebih asik memamerkan berbagai capaian yang diraih dalam sepuluh tahun pemerintahannya di bidang lain, utamanya infrastruktur, padahal di sisi lain telah “sukses” membawa pemberantasan korupsi di Indonesia ke titik nol alias tidak meningkat sama sekali.
Begitu pun dengan Indonesia Corruption Watch. Dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi 2023 yang dirilis 19 Mei 2024, menunjukan jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun sejak periode kedua Jokowi. Jumlahnya pun melonjak nyaris tiga kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023. Setidaknya ada enam menteri dan sat wakil menteri, serta sebelas gubernurnya yang terjerat kasus korupsi jumbo alias megakorupsi.
Masyarakat sendiri sempat berharap kekuasaannya akan membawa angin segar perubahan. Maklum kondisi pemerintahan sebelumnya juga bisa dikatakan sudah cukup parah. Namun nyatanya, kerusakan yang terjadi justru makin bertambah parah. Apalagi pada masa ini upaya pelemahan semua fungsi kelembagaan justru terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif, termasuk pada lembaga antirasuah, dan mirisnya itu dilakukan oleh penguasa!
Sampai-sampai saking kecewanya, mantan ketua KPK periode 2015—2019 Agus Rahardjo pernah membocorkan rahasia pada acara Rosi di Kompas TV yang tayang 30 Nopember 2023 lalu. Ia mengatakan pernah diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan pengusutan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto dalam kasus korupsi E-KTP.
Harapan Hanya pada Sistem Islam
Semestinya masyarakat belajar bahwa berharap perubahan dengan mempertahankan sistem sekuler demokrasi liberal hanya akan berujung kekecewaan. Kerusakan jelas bukan hanya pada person kepemimpinan, tetapi lebih pada sistem aturan yang diterapkan. Bahkan dengan sistem inilah, sosok jahat bisa berkamuflase seolah jadi pahlawan bagi rakyat. Sementara sosok yang baik bisa terjerumus dalam kerusakan. Ujung-ujungnya, kehidupan masyarakat makin jauh dari kebaikan.
Satu-satunya obat bagi kerusakan adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan menegakkan seluruh aturan Allah dalam naungan Khilafah Islamiah. Sistem ini tegak di atas tiga pilar, yakni individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang melaksanakan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang konsisten menerapkan aturan Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Landasan akidah yang menjadi fondasi tegaknya negara dan kepemimpinan akan menjadi faktor utama yang menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan. Islam menetapkan, penguasa adalah pelayan (rain) sekaligus junnah (junnah) bagi satu per satu rakyatnya. Mereka bertanggung jawab atas terjaganya nyawa, harta, akal, kehormatan dan akidah setiap warga negaranya, dan pertanggungjawaban tersebut akan dihisab kelak di akhirat dengan pertanggungjawaban yang berat.
Baiat pengangkatan khalifah atau penguasa mencakup kesiapannya untuk melaksanakan syariat tersebut. Justru hal inilah yang menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diinginkan setiap orang, mengingat syariat Islam hakekatnya datang sebagai solusi tuntas atas setiap permasalahan kehidupan. Wajar jika masyarakat yang hidup dengan sistem Islam dari zaman ke zaman mampu tampil sebagai umat pilihan, bahkan selama belasan abad selalu menjadi pioner peradaban cemerlang.
Dalam sistem pemerintahan Islam tidak dikenal sistem kementerian. Khalifah di bawah tuntunan akidah dan syariah bertanggung jawab atas semua tupoksi kepemimpinan. Ia boleh mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan, apakah untuk melaksanakan fungsi kekuasaan, seperti kepala daerah (wali atau amil), fungsi keamanan atau militer seperti amirul jihad, fungsi peradilan seperti para hakim atau kadi, maupun fungsi administrasi atau nonkekuasaan lain, seperti para duta, pengurus baitulmal, kepala departemen kemaslahatan umat, departemen kemediaan, dll. Semuanya benar-benar diangkat sesuai kebutuhan, sehingga amanah kepemimpinan berjalan efektif dan efisien.
Sistem pengangkatan khalifah dengan tugasnya yang berdimensi akhirat tersebut secara alami mencegah peluang konflik kepentingan dari siapapun yang mewakili umat untuk mengangkatnya, baik para tokoh umat, partai politik, atau siapapun yang terlibat dalam proses kontestasi khalifah. Hal ini dikarenakan jabatan Khilafah dan para pembantunya bukan jabatan “basah”. Melainkan amanah berat yang cuma layak diterima oleh mereka yang memenuhi syarat-syarat in’iqad, yakni seorang muslim yang bertakwa, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan punya kapabilitas untuk melaksanakan tupoksinya berdasarkan tuntunan syariat.
Para pejabat pembantunya akan dipilih oleh khalifah dengan syarat-syarat yang ketat dengan prinsip “menyerahkan amanah pada ahlinya”. Hal ini mengingat fungsi mereka adalah tangan kanan yang baik buruknya akan ia pertanggungjawabkan sehingga jabatan apa pun dalam sistem Khilafah juga jauh dari makna duniawi, apalagi material. Oleh karenanya, tidak akan ada fenomena perburuan jabatan sebagaimana yang terjadi sekarang.
Betul bahwa kecacatan pernah terjadi dalam sejarah pelaksanaan sistem Khilafah, seperti munculnya beberapa pejabat zalim yang menyalahi syariat, atau yang lainnya. Namun adanya sejarah hitam tersebut tidak boleh dijadikan untuk menihilkan kegemilangan peradaban Khilafah yang faktanya diakui oleh banyak penulis sejarah. Kecacatan tersebut justru hanya menunjukkan betapa manusiawinya sistem Khilafah sehingga memungkinkan saja ada penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Terlebih peluang penyimpangan akan sangat sempit karena masyarakat Islam adalah masyarakat yang cerdas dan aware dengan syariat. Pintu-pintu amar makruf nahi mungkar terbuka lebar, baik dilakukan oleh warga negara secara individual, maupun oleh jemaah atau parpol. Apalagi dalam struktur kekhalifahan juga ada yang disebut Majelis Umat yang berisi para simpul umat yang siap mengawal penguasa dalam menjalankan fungsinya, serta Mahkamah Madzalim yang menjadi pemutus jika terjadi sengketa umat dan penguasa. Bahkan Mahkamah Mazalim memiliki kewenangan untuk memecat khalifah jika ia sudah melenceng dari hukum syara, dan atau kehilangan satu dari tujuh syarat in’iqad yang harus ada padanya. Jadi, sampai kapan kita menutup mata dari solusi Islam yang demikian menjanjikan?
0 Komentar