Basmi Predator Anak!



#CatatanRedaksi — Kembali, predator anak memakan korban. Kali ini berkedok sebuah Panti Asuhan Yatim Piatu di Kota Tangerang. Dilansir bbc.com (10/10/2024), Polres Metro Kota Tangerang telah menetapkan Sudirman (49), Yusuf Bachtiar (30), dan Yandi Supriyadi (28) sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak panti asuhan di Tangerang, Banten. Sudirman adalah pimpinan panti itu, yang disebut polisi telah beroperasi sejak Mei 2006 tanpa izin. Sementara itu, Yusuf dan Yandi adalah pengurus panti. Keduanya diduga merupakan korban pelecehan oleh Sudirman yang kemudian berbalik menjadi pelaku. Jumlah korban kekerasan seksual di panti asuhan di Tangerang, Banten, diperkirakan bisa mencapai lebih dari 40 anak.

Pembiaran dari masyarakat dan lemahnya pengawasan pemerintah diduga membuat kekerasan seksual bisa terus berlangsung di sana selama setidaknya 18 tahun. Bagaimana mungkin kejadian itu sudah selama itu, tetapi tidak ada yang berani berbicara. Bahkan disinyalir sudah banyak yang tahu tetapi takut melapor atau dibiarkan saja. Yang membuat sedih juga adalah perilaku menyimpang itu dilakukan seorang "bapak asuh" anak-anak yatim di panti asuhan tersebut yang seharusnya bapak asuh ini menjadi pelindung dan pengayom mereka sekaligus memberi rasa aman, tetapi malah merusak anak-anak itu.

Panti Asuhan itu bernama Darussalam an-Nur, nama yang islami. Namun, hal itu hanya dijadikan kedok untuk mendapatkan donasi dan bantuan operasional, banyak pihak terkait ini telah dikelabui. Perilaku bejat seorang oknum seperti Sudirman ini sungguh telah mencoreng lembaga pendidikan Islam hari ini. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, animo masyarakat akhir-akhir ini cukup besar terkait pendidikan agama untuk anak-anak mereka sejak dini dan rutin. Para orang tua atau wali begitu antusias untuk lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta yang berbasis agama, semacam boarding school, pondok pesantren, dan sekolah asrama.

Sebagaimana dikutip oleh detik.com (29/7/2024), pada masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) seperti saat ini,  pemandangan di beberapa sekolah negeri terlihat lengang. Kurangnya pendaftar, tidak ada satu pun murid yang mendaftar menjadi kenyataan pahit yang dihadapi oleh beberapa sekolah. Fenomena ini bagaikan mimpi buruk mengingat 15 tahun silam, sekolah negeri identik dengan antrean panjang dan predikat unggulan yang diincar banyak orang tua.

Perubahan drastis ini bagaikan pergeseran era dalam dunia pendidikan. Dulu, sekolah negeri menjadi primadona karena dianggap memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik, gratis, dan memiliki akses yang mudah dijangkau. Kini, paradigma tersebut mulai bergeser. Sekolah swasta dengan berbagai keunggulannya, seperti kurikulum internasional, fasilitas modern, dan pendekatan pendidikan yang lebih inovatif, mulai menarik minat orang tua. Ditambah lagi, faktor demografi seperti urbanisasi dan desentralisasi pendidikan turut berkontribusi pada fenomena ini.

Begitulah faktanya, muncul distrust terkait kualitas sekolah negeri dan hasil didikannya. Terlebih racun medsos dan gawai yang masif di kalangan anak-anak dan remaja hari ini semakin memukul habis potensi pemuda hari ini dan sekolah umum (tidak ada basis agama) akan semakin rawan output-nya, cukup mengkhawatirkan juga. Akan tetapi, dengan adanya kejadian yang viral di Tangerang ini memberi imbas muncul rasa takut kepada orang tua atau wali murid untuk memondokkan/menyekolahkan secara boarding anaknya. Padahal, kondisi ini seharusnya tidak terjadi.

Orang tua atau wali harusnya selektif dalam menyeleksi sekolah, pondok, boarding school yang memang sesuai untuk anaknya dan sejalan juga dengan kualitas output yang dikehendaki orang tua. Pada akhirnya, mereka bisa tenang dan tentram menyerahkan anaknya untuk dididik di sana. Tidak bisa dipungkiri, terkadang keterbatasan biaya menjadikan mereka sekadar memondokkan anak-anaknya di tempat yang terjangkau (murah) bahkan gratis tetapi kualitasnya tidak terukur bahkan cenderung memasrahkan secara utuh hanya kepada lembaga pendidikan tersebut tanpa mengontrol perkembangan anaknya. Seharusnya orang tua tidak boleh berlepas tangan di mana pun si anak itu dididik.

Peran sekolah dan orang tua/wali harusnya bersinergi dengan baik, terlebih jika si anak masih di usia anak- anak dan remaja. Seharusnya keluarga benar-benar mempersiapkan anaknya sejak dini sebelum mereka dilempar di belantara kehidupan yang tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan aneka macam bentuk orang dan perilakunya. Setelah itu, masyarakat juga senantiasa memperhatikan semua kejadian di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak boleh abai terhadap kejadian di sekitarnya.

Sementara negara harus aware dan mengatur pengaruh media di tengah-tengah masyarakat. Di samping juga negara serius menjaga kualitas pendidikan anak didik sejak rancangan, proses pembelajaran, dan hasilnya. Oleh karena itu, butuh political will besar bagi negara, bukan selalu tergagap dengan kondisi, baru bertindak setelah ada korban. Persis yang sering terjadi di mana kurikulum sering berganti, tetapi kualitas pendidikan tetap tidak terealisasi, semua hanya sebatas teori yang tidak pernah terbukti.

Jika kita lihat fakta hari ini, tidak mengagetkan kiranya semua ini terjadi. Hal ini karena fungsi negara dalam sistem demokrasi-kapitalisme membuka jalan kepada swasta atau perseorangan untuk mengelola pendidikan, wajar akhirnya biaya sekolah dan kuliah mahal. Selain itu, asas kehidupan sekularisme hari ini akan selalu kontradiksi dengan agama Islam sebagai keyakinan mayoritas penduduk negeri ini.

Sekularisme-demokrasi sudah menolak urusan agama masuk dalam ranah publik. Atas nama HAM, perilaku yang menyimpang tetap tumbuh subur di alam demokrasi-sekularisme karena ada jaminan kebebasan berekspresi. Hukuman yang ringan terhadap pelaku kejahatan ini menjadikan mereka tidak jera untuk terus mereplikasi diri, karena kejahatan warisan kaum sodom ini seperti api yang membakar sekam, terus akan menjalar ke mana-mana jika pelakunya tidak dibasmi sampai bersih. 27 anak bahkan 40 anak yang disinyalir sudah menjadi korban kejahatan, jika tidak direhabilitasi dan diberikan pendampingan yang memadai akan menjadi pelaku di saat dia beranjak remaja dan dewasa.

Begitulah jahatnya perilaku sodom ini, maka wajar di masa Nabi Luth kaum ini diazab Allah dalam bentuk hujan api dari langit. Terbayang jika hari ini mereka di penjara, maka mereka akan dapat mangsa baru penghuni penjara yang mayoritas juga laki-laki. Maka sungguh benar ketika Islam jelas dan tegas memberi hukuman bagi pelaku penyimpangan seksual ini dengan menjatuhkannya dari gedung yang paling tinggi di wilayah itu dengan kepalanya terlebih dahulu atau dibakar sebagaimana ungkapan sayidina Ali bin Abi Thalib radiyallahuanhu.

Itulah solusi Islam yang harus diadopsi oleh negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, di mana pemimpin negaranya muslim, hakimnya muslim, bahkan pelakunya juga kabarnya beragama Islam harusnya dilakukan dengan cara itu agar terputus mata rantai predator anak ini. Sudah cukup anak-anak kita terus menjadi korban kebiadaban mereka. Hanya saja, aturan hukum Islam ini sekarang tidak populis karena pasti tertolak oleh negara sekuler dengan alasan HAM. Maka saat ini, mau tidak mau harus diupayakan benteng terakhir menjaga anak-anak kita sesuai kemampuan kita masing-masing dengan dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar terus menerus di tengah masyarakat. Sampai akhirnya, umat sadar dan menginginkan Islam secara keseluruhan bisa diterapkan dalam kehidupannya. Namun, itu butuh keistikamahan hingga akhir hayat. Berharap syariat Islam diterapkan secara kafah sehingga ancaman predator anak bisa dihabisi sampai ke akar-akarnya dengan sanksi hukum Islam. Semoga tidak lama lagi. Wallahualam bissawab.[]



Hanin Syahidah, S.Pd.



Posting Komentar

0 Komentar