Distorsi Makna Toleransi dalam Demokrasi



#Wacana — Setelah sempat mencuat di tengah publik, istilah NU cabang Kristen. Muncul pula istilah Kristen Muhammadiyah alias KrisMuha. Tepatnya, setelah acara launching buku berjudul Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan, di kantor Kemendikbudristek Mei tahun 2023 lalu.

Mengutip dari Kumparannews.com, buku ini awalnya diterbitkan tahun 2009 kemudian diterbitkan lagi oleh Kompas Gramedia di tahun 2023. Disampaikan bahwa buku ini ditulis berdasarkan penelitian Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Fajar Riza Ulhaq, Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) PP Muhammadiyah. 

Singkatnya, KrisMuha ini adalah orang Kristen yang menjadi simpatisan Muhammadiyah karena seringnya mereka berinteraksi dengan lembaga pendidikan Muhammadiyah dari tingkat rendah hingga tinggi yang memang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Fajar menyebutkan buku ini adalah gambaran toleransi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, seperti Ende, Nusa Tenggara Timur, Serui, Papua, Putussibau, dan Kalimantan Barat. 

Mu’ti menjelaskan bahwa orang-orang KrisMuha tetap teguh dengan akidah mereka dan bukan bagian dari anggota Muhammadiyah. Maka, Abdulah Mu’ti yang juga merupakan Guru Besar pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah menegaskan KrisMuha adalah varian sosiologis, bukan teologis, bukan pula sinkretisme agama. Tetapi, menggambarkan kedekatan pemeluk agama Kristen dengan Muhammadiyah( kumparan.com, 29/05/2023).

Dilihat hari aspek yuridis atau standar syariat Islam, disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa Islam rahmatan lilalamin. Islam adalah rahmat untuk seluruh alam. Syariatnya yang sempurna memberikan jaminan keamanan, ketentraman, kesejahteraan yang itu dirasakan oleh seluruh manusia, apa pun agamanya. Islam juga tidak memaksakan siapa pun dalam hal keyakinan, tentu dengan tetap menjalankan aktivitas menyeru kepada Islam dengan cara yang makruf. 

Kemudian dari aspek historis, tidak kurang-kurang dalam banyak sirah Rasulullah saw., kisah para sahabat dan buku-buku sejarah baik itu yang ditulis oleh muslim, bahkan kafir sekalipun yang mengakui betapa luar biasanya kehidupan di bawah naungan Islam. Kerukunan beragama tetap terjaga. Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. di Madinah, bernaung di bawahnya tiga agama selain Islam, Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Di masa-masa kepemimpinan para khalifah setelahnya pun sama. Bahkan orang kafir yang berada di bawah naungan negara Islam—Khilafah—mereka mendapatkan hak yang persis sama dengan warga muslim. Mereka tetap diberikan kebebasan untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinan. 

Wajar, orang kafir merasa sangat nyaman berada dalam naungan pemerintahan Islam. Bahkan, diceritakan dalam banyak buku sejarah, mereka akhirnya berbondong-bondong memeluk Islam tanpa paksaan karena melihat betapa luar biasanya agama ini mengurus urusan manusia dan mengatur kehidupan.

Namun, kemudian apakah dengan menyandingkan agama selain Islam dengan simbol Islam, seperti misalnya NU cabang Kristen atau KrisMuha ini menjadi tepat? Benarkah ini aspek sosiologis semata? Bukan aspek teologis atau sinkretisme? 

Dalam sebuah hadis disebutkan, “Islam itu tinggi dan tiada yang melebihi ketinggiannya.” Atau dalam ayat Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3 yang artinya, “… Telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu.” Atau dalam Al-Qur'an surah al-Imran ayat 85, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia dia akhirat termasuk orang-ornag yang rugi.

Maka, bagaimana hukumnya menyandingkan atau menyamakan/mensejajarkan antara agama selain Islam dengan Islam dan simbol-simbolnya, tentu harus dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif lagi, termasuk dari aspek fikih. Karena prinsip menganggap semua agama adalah sama atau sering dikenal dengan istilah pluralisme, jelas bertentangan dengan dalil-dalil di atas.  

Faktanya hari ini, justru opini pluralisme ini kian hari kian gencar di opinikan di tengah umat. Dengan narasi-narasi yang indah, atas nama toleransi dan keberagaman. Jangan merasa agamanya paling benar dan narasi-narasi serupa. Telah terjadi distorsi makna toleransi karena memang siapa pun bebas mendefinisikan apa pun hari ini.

Mengapa hal ini terjadi, tidak lain karena hak kebebasan itu diberikan seluas-luasnya kepada setiap individu, termasuk kebebasan dalam beragama. Buah dari sistem demokasi, yang lahir dari akidah sekuler yang memang sengaja memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar, ketika murtad atau keluar dari Islam hari ini bukanlah dianggap sebagai kejahatan, tetapi hak asasi yang justru harus dilindungi. Menganggap semua agama sama adalah wujud sikap toleransi. Beragama itu yang moderat saja, jangan terlalu keras atau ekstrim, dan seterusnya. Hal ini ditanamkan di setiap lini, baik di lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. 

Buah dari pluralisme yang belum lama kita saksikan adalah bagaimana euforia para tokoh dan pejabat negeri ini ketika menyambut kedatangan Paus. Dia dicium keningnya dan dikagumi sebagai sosok idola. Layakkah kita mengidolakan manusia yang bahkan tidak mengakui Allah Swt. sebagai Sang Khalik?

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” Rasulullah saw. telah menunjukkan diri sebagai pribadi yang sangat toleran. Dalam piagam Madinah, Rasulullah membuat kesepatakan dengan orang kafir untuk saling melindungi. Beliau juga bergaul secara makruf dengan tetangganya yang Yahudi. Bahkan suatu kali Rasul mengetahui ada jenazah Yahudi lewat, beliau berdiri sebagai tanda penghormatan. Spontan para sahabat yang sedang duduk-duduk bertanya, “Wahai Nabi, kenapa Engkau berdiri, padahal jenazah tersebut adalah seorang Yahudi? Jawaban Rasululah singkat, “Setidaknya ia adalah seorang manusia.” Sikap Nabi saw. ini menunjukkan betapa beliau menjunjung tinggi toleransi.

Perbedaan adalah fitrah dan Islam adalah agama yang sesuai fitrah. Maka sungguh Islam menjunjung tinggi perbedaan. Namun tentu dengan batasan yang jelas, bersumber dari syariat Allah yang tegas. Maka, ketika menganggap semuanya sama, justru melanggar fitrah. Wallahualam bissawab.[]


Nidaul Khasanah



Posting Komentar

0 Komentar