Fasilitas Mewah Pejabat di Tengah Derita Rakyat

Fasilitas Mewah Pejabat di Tengah Derita Rakyat


Siti Rima Sarinah

(Aktivis Dakwah)



#Wacana — Pejabat bertabur fasilitas mewah seakan menjadi sesuatu yang wajar terjadi di negeri ini. Fasilitas wah inilah yang seakan menjadi magnet mengapa banyak orang berbondong-bondong ingin jadi pejabat. Salah satu fasilitas yang didapatkan pejabat dan menuai polemik adalah tunjangan rumah dinas anggota DPR yang menambah daftar panjang kemewahan yang diberikan negara di tengah perihnya derita rakyat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR periode 2024—2029 merupakan pemborosan uang negara dan tidak  berpihak pada kepentingan publik. Untuk memberikan tunjangan perumahan kepada 580 anggota DPR per bulan sekitar Rp50-70 juta, negara harus menggelontorkan dana sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. (kompas.com, 11/10/2024)

Selain pemborosan anggaran negara, tunjangan perumahan ini disinyalir akan menimbulkan persoalan baru yaitu mempersulit pengawasan dana tersebut apakah penggunaaan untuk kebutuhan rumah atau yang lain. Sebab, dana perumahan tersebut akan ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Maka wajar apabila ada anggapan tunjangan ini semakin memperkaya para pejabat di negeri ini. Lalu bagaimana dengan rakyat?

Dengan mudahnya pejabat mendapatkan tunjangan rumah dengan harga yang fantastis, sedangkan rakyat kesulitan untuk memiliki rumah. Bahkan, di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit rakyat, tanpa rasa iba negara justru mengeluarkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang merupakan tambahan penderitaan rakyat. Polemik Tapera dengan membebankan iuran kepada pekerja dengan pemotongan gaji 3% sangat membebani rakyat. Pasalnya, iuran ini semakin memperkecil nominal gaji yang diterima pekerja yang sebelumnya sudah dipotong dengan berbagai iuran seperti pajak, jaminan hari tua, pensiun, dan BPJS kesehatan.

Padahal berbagai program ini berpotensi menjadi lahan baru korupsi. Pemerintah hendaknya belajar dari kasus BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Tak menutup kemungkinan tunjangan perumahan yang didapatkan oleh para pejabat juga berpeluang besar terjadinya korupsi. Rakyat pontang-panting bekerja untuk mendapatkan rumah layak huni, sedangkan para pejabat tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan semua fasilitas mewah. Ironisnya, iuran yang dikumpulkan rakyat dengan kucuran keringat raib dikorupsi oleh oknum pejabat yang tak punya hati. 

Dengan berbagai dalih dikemukakan bahwa fasilitas mewah yang diperoleh para pejabat diharapkan memudahkan peran para pejabat sebagai wakil rakyat untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat, benarkah demikian? Faktanya para pejabat tersebut hanya menyalurkan aspirasi kepentingan mereka dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Para pejabat hanya “mewakili rakyat” untuk menerima semua kemewahan, sedangkan rakyat hidup di tengah derita himpitan kemiskinan yang sangat parah.

Inilah potret kelam para pejabat dalam sistem kapitalisme yang menjadikan jabatannya untuk meraih kekuasaan dan harta. Berbeda halnya dengan potret wakil rakyat dalam sistem Islam (Khilafah). Dalam Khilafah, ada struktur bernama majelis umat yang beranggotakan wakil kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) pada para pejabat pemerintahan. 

Majelis umat tidak ada, baik peran dan fungsinya dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Parlemen yang ada di dalam sistem demokrasi hanya memiliki fungsi anggaran dan legislasi hukum (undang-undang) yang tidak semestinya menjadi bagian dari tugas wakil rakyat. Dalam Khilafah penetapan anggaran dilakukan oleh struktur tersendiri, yakni Baitul Maal. Sebab yang berhak melegalisasi hukum bukanlah pembuat hukum. Para anggota majelis umat mewakili rakyat murni berdasarkan landasan keimanan dan ketakwaan serta menyadari sepenuhnya tugas mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Hanya menyampaikan aspirasi rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan mereka.

Keberadaan anggota majelis umat berperan penting mewakili aspirasi dan pendapat warga negara baik muslim maupun nonmuslim serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan pemerintahan. Sehingga, orang-orang yang berada dalam majelis umat adalah orang-orang pilihan yang memiliki kapabilitas dan kemampuan.  

Walhasil, para anggota majelis umat sangat memahami bahwa tugas mereka adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.. Keberadaan mereka sebagai anggota majelis umat semata-mata ingin mendapatkan rida dan pahala dari-Nya, bukan untuk mengejar keistimewaan dan fasilitas dari negara.  Anggota majelis umat bukan pegawai negara yang mendapatkan gaji seperti tunjangan fantastis yang didapatkan oleh para pejabat dalam sistem demkorasi. Wallahualam.[]






Posting Komentar

0 Komentar