Gaya Nyentrik saat Pelantikan, Wakil Rakyat Minim Empati



#TelaahUtama — Anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) periode 2024—2029 resmi dilantik pada Selasa, 1 Oktober lalu. Banyak harapan rakyat digantungkan. Namun sayangnya, khalayak dibuat gagal fokus. Masyarakat menilai momen tersebut justru menjadi ajang menampilkan beragam pakaian dengan gaya yang nyentrik.

Gaya nyentrik yang katanya unik anggota DPR dan DPD ini menjadi sorotan, terutama ketika mereka berfoto bersama. Semuanya tampil memesona dan anggun dengan mengenakan kebaya. Politisi Gerindra, Titiek Soeharto mengenakan kebaya merah muda yang serasi dengan aksesori miliknya. Politisi PDI Perjuangan, Puan Maharani juga tampil anggun dengan kebaya putih dan selendang merah.

Tidak ketinggalan, beberapa selebritis baru maupun lama yang kembali menjadi legislator di Senayan turut tampil nyentrik, di antaranya Rieke Diah Pitaloka dan Nafa Urbach. Hampir semua legislator yang dilantik mengenakan busana dengan warna sesuai partai masing-masing (metrotvnews.com, 2/10/2024). Tidak kalah, penyanyi senior Melly Goeslaw, Uya Kuya, dan Jamaluddin Malik yang mengenakan kostum Ultraman juga tampil eksentrik (detiknews.com, 2/10/2024).

Ada juga momen unik saat pelantikan kemarin. Para anggota dewan yang hadir berteriak "uhuy" saat wajah anggota DPD terpilih yang juga komedian, Alfiansyah Komeng muncul di layar (detiknews.com, 1/10/2024).

Miris, di tengah himpitan hidup yang dialami rakyat Indonesia, para wakil rakyat yang lahir dari rahim demokrasi justru memperlihatkan sisi kemewahan. Penampilan serasi dari ujung kepala hingga ujung kaki menunjukkan mereka minim empati. Alih-alih menjadi contoh yang baik bagi rakyat, mereka justru berpenampilan hedonis.

Parahnya lagi, figur atau sosok sangat kental dalam dunia perpolitikan di Indonesia, ketimbang melihat visi dan misi para wakil rakyat. Faktanya, orang-orang yang berhasil duduk memangku jabatan, jangankan berpikir untuk menjadikan kekuasaan sebagai wasilah menegakkan hukum Allah, isi kepala mereka hanya dipenuhi bagaimana menciptakan gimmick agar popularitas terdongkrak dan balik modal kampanye.

Para pemimpin saat ini baik dari kalangan intelektual maupun selebriti kebanyakan tidak memahami tugas mereka sebagai anggota lembaga legislatif. Mereka menebar janji manis tetapi kebijakan yang diterapkan sungguh mengerikan dan membuat rakyat sengsara. Mereka seakan tertawa di atas penderitaan rakyat.

Siapa saja yang telah Allah jadikan pemimpin, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka surga Allah haram atas dirinya.” (HR Ahmad)

Seharusnya, para anggota dewan mencontoh Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin yang bersahaja. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab: 21)

Ketimbang mengoleksi aksesoris, Beliau saw. gemar bersedekah dan tidak suka menyimpan harta di rumahnya. Rasulullah saw. juga sangat bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Beliau saw. melakukan berbagai cara agar tidak membebani umat. Bahkan, Rasulullah saw. rela menahan lapar ketika tidak memiliki apa-apa.

Berbeda dengan pemimpin di alam demokrasi saat ini, alih-alih berjuang untuk umatnya, mereka justru melakukan pemborosan. Dilansir dari korantempo.co (3/9/2024), di tahun 2014 lalu, anggaran pelantikan anggota DPR dan DPD menghabiskan Rp16 miliar. Untuk anggaran pelantikan di DPRD tahun 2024, pemerintah daerah menghabiskan ratusan juta rupiah. 

Bahwasanya, sebagai negeri dengan mayoritas muslim di dunia, umat harus mengingatkan penguasa untuk menjadikan Al-Qur'an dan assunnah sebagai pedoman. Dalam aturan Islam, seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari)

Sejarah kekhilafahan dahulu juga banyak sekali memberikan contoh pemimpin yang bersifat zuhud. Tercatat Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meski dunia ada di dalam genggamannya, ia memilih untuk meninggalkannya hingga wafat. Saat dia sakit, datanglah Maslamah bin Abdil Malik. Saat itu pakaian Khalifah Umar terlihat kotor, hingga Maslamah bertanya kepada istrinya, ”Apakah kalian tidak mencucinya?” Namun, istri Khalifah Umar malah balik bertanya, ”Apakah ia punya baju yang lain?” (Al-Kawakib Ad-Durriyah, 1/380).

Teladan seperti mereka tidak akan pernah lahir di sistem demokrasi kapitalisme-sekuler. Penyakit wahn telah bersarang di dada para pemimpin saat ini. Jangankan berkorban sampai miskin, untuk sekadar membagi separuh kekayaan yang didapat saja rasanya mustahil terjadi.

Sungguh sangat sulit kita temukan sosok pemimpin yang begitu sederhana dalam sistem kapitalisme-sekuler. Menjauhi kenikmatan dan kekayaan dunia karena menganggapnya sebagai musibah bagi akhiratnya. Betapa Islam tidak pernah kehabisan sosok-sosok fenomenal yang patut menjadi teladan sepanjang masa. Sosok yang lahir di bawah asuhan sistem Islam.

Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)

Begitu besar perhatian sistem Islam pada politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Sejarah telah membuktikan bahwa selama 1.400 tahun, Islam memimpin dunia dengan berbagai prestasi dan pencapaian gemilang di seluruh aspek kehidupan. Adalah tugas kita bersama menegakkan kembali hukum Allah Swt.. Umat tidak butuh pemimpin nyentrik, banyak gimmick tetapi minim visi-misi dan empati. Umat butuh pemimpin yang menjamin kesejahteraan dan keberkahan. Sejatinya, keberkahan atau rahmatan lil alamin hanya akan datang jika umat kembali pada syariat Islam kafah. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar