Generasi Emas Berpikir Waras



#Remaja — Perilaku remaja yang tersorot oleh media saat ini banyak yang membuat kita mengelus dada. Perilaku yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia justru bertebaran mengotori wajah media. Bayangkan, ada perzinaan antara siswi sebuah sekolah menengah atas dengan gurunya yang sudah paruh baya. Pemerkosaan yang berujung pembunuhan pun ada. Remaja juga ada yang diberitakan tega mencabuli balita. Tambahan pula, banyak remaja yang terjun ke dunia prostitusi.

Selain kasus asusila, banyak remaja terjerat perilaku kriminal lainnya. Sebut saja jadi kurir atau bahkan pengedar narkoba seperti remaja 15 tahun di Purwakarta. Tawuran, mengacau keamanan ala geng motor, dan berbagai perilaku yang dilabeli kenakalan remaja juga tak pernah sepi dimuat di berbagai kanal media.

Dari segi gaya hidup, remaja tak ubahnya layang-layang putus talinya, tak punya pegangan, tak ada pendirian. Ke mana tren mengarahkan, ke sanalah arah tujuan. Ikut latah ala budaya FOMO (Fear Of Missing Out). Takut jika ketinggalan tren yang dijajakan oleh media. Tren K-Pop, frugal living, doom living, hingga boneka Labubu pun diikuti. Padahal tren ini belum tentu baik, nyaman, apalagi sesuai dengan syariat Islam.

Sebagian dari kita, pasti ada yang bertanya, “Kok bisa mereka melakukan hal itu, bagaimana sih cara berpikirnya?” Lalu, kalau kita kaitkan dengan visi emas Indonesia 2045, apakah bisa generasi muda dengan kondisi seperti ini  menjadi generasi emas yang akan membawa kemajuan negara dan bangsa? 


Hakikat Berpikir

Syekh Taqiyuddin Annabhani dalam buku Asy-syakhsiyah Islamiyah Juz 1 menjelaskan bahwa perilaku manusia sesuai dengan persepsinya. Persepsi atau dalam istilah bahasa Arab disebut dengan mahfum merupakan makna-makna yang bisa dipahami, ada faktanya dalam benak, baik fakta itu bisa diindera secara langsung atau didapatkan dari pengabaran sumber yang sudah bisa dibuktikan kebenarannya lewat jalur pembuktian yang bisa diindera. Makna selain ini tidak bisa dikatakan sebagai persepsi, ia hanya sekedar informasi (maklumat) saja.

Persepsi ini terbentuk dari jalinan antara fakta/realita dengan maklumat atau sebaliknya. Proses jalinan antara fakta/realita dengan maklumat disebut dengan proses berpikir. Proses ini melibatkan empat komponen yaitu fakta, panca indera sebagai alat untuk menginput data fakta serta maklumat, otak tempat antara fakta dan maklumat berkait, dan maklumat sebelumnya yang sudah tersimpan dalam otak.

Memusatnya pembentukan persepsi selaras dengan satu atau lebih kaidah yang dijadikan tolak ukur bagi maklumat atau fakta ketika ia berjalin. Kaidah inilah yang akan menentukan corak dari persepsi. Jika kaidah yang dipakai landasannya Islam maka persepsi yang terbangun adalah persepsi Islam. Otomatis perilakunya pun akan selaras dengan Islam. Jika selain Islam, kapitalisme-sekuler misalkan, maka persepsi dan perilakunya pun akan sejalan dengan kapitalisme-sekuler yang serba liberal. 

Sayangnya, saat ini faktanya, remaja kita dipaksa untuk menjadikan sekularisme kapitalis sebagai landasan utama bagi persepsinya. Persepsi sekuler-kapitalisme telah menjadi panglima bagi perilaku para remaja. Ajarannya, ikuti saja hawa nafsu sesukamu, tak perlu ragu karena kebebasan individu adalah segalanya dalam konsep ideologi ini. Walhasil, akal remaja menjadi tumpul, karena tidak pernah dipakai ketika berbuat. Hanya penginderaan naluriah (ihsas ghorizy) saja yang mereka lakukan. Jika nalurinya mengatakan ingin melakukan hubungan seksual, misalnya, tanpa pikir panjang apalagi mempertimbangkan halal-haram, langsung dilampiaskan. Inilah pola kepribadiannya. Tak heran, perilaku bebas tak mau terikat oleh aturan agama dan norma lainnya menjadi ciri khas bagi orang  yang  terjangkit persepsi ini. Parade perilaku lebih rendah binatang pun dipertontonkan. 


Berpikir Waras

Tentu saja pola pikir seperti di atas tidak bisa dibenarkan. Pola pikir demikian bukanlah pola pikir waras—membuat derajat manusia lebih rendah daripada hewan. Pada prinsipnya kemuliaan manusia memang terletak pada akalnya. Jika akal itu difungsikan dengan benar dan maklumat sebelumnya disandarkan pada kebenaran dari Sang Pencipta, Allah Swt., maka derajat  manusia tidak akan terjun bebas hingga berada di bawah hewan.

Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menyeru manusia untuk berpikir, salah satunya dalam firman Allah Swt. berikut ini.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS al-Imran: 190-191)

Ayat ini dan berbagai ayat yang ada di dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa berpikir adalah hal penting yang dilakukan oleh manusia. Dengan berpikir inilah manusia akan menemukan jati dirinya. Mereka akan menemukan juga tujuan hidupnya di dunia. Bahwa manusia itu makhluk lemah yang diciptakan oleh Sang Pencipta, ketika hidup di dunia mengemban misi yang diamanahkan oleh Pencipta menjadi hamba-Nya dan khalifah di muka bumi. Dalam artian manusia harus tunduk pada syariat Allah dan mau memimpin dunia dengan syariat-Nya. Kemudian, manusia juga akan semangat dan senantiasa waspada agar amanah dengan misinya. Akan ada hari kelak mereka diminta pertanggungjawaban. Inilah yang dinamakan dengan Akidah Islamiyah. Jika pemikiran ini kokoh dalam benak manusia, maka  manusia telah mempunyai pegangan yang kokoh untuk menjalani hidup. Tidak akan terombang-ambing laksana layangan putus tadi.

Akidah Islamiyah ini akan menjadi landasan bagi kaum muslim. Baik ketika berpikir, berkata, maupun berbuat. Dalam Islam, ketika kita melakukan apa pun harus senantiasa memadukannya dengan ruh (kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah). Kita adalah hamba dan Allah adalah Tuan. Artinya, dalam setiap amal, manusia harus menyelaraskannya dengan  syariat Islam. Tidak boleh melenceng darinya. Segala perbuatan yang disebutkan di awal tulisan adalah perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Jadi, jangan sampai terpikir untuk melakukannya.

Selain itu, ada kaidah amal ketika kita akan melakukan perbuatan. Kaidah pertama adalah senantiasa berpikir sebelum melakukan pelbagai amal. Pikirkan amal itu status hukumnya apa dalam Islam, manfaatnya apa, hingga tergambar hal teknis untuk mewujudkannya. Lalu, pikirkan juga nilai apa yang akan diwujudkan ketika melakukan perbuatan itu. Terakhir, kita lakukan amal tadi dalam suasana keimanan, penuh harap akan pertolongan-Nya dan senantiasa tawakal. Jadi tidak asal ada keinginan lalu buru-buru melakukan. Inilah cara berpikir waras. Cara berpikir generasi emas. Generasi dengan ketakwaan, kreativitas, tanggung jawab, dan semangat tinggi.[]



Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar