#Wacana — Pengembangan Industri Halal adalah salah satu fokus penting dalam peta jalan perekonomian Indonesia. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo saat meresmikan Kawasan Indonesia Islamic Financial Center (IIFC) di Jakarta, pada Selasa, 17 September 2024. Dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai 236 juta jiwa, dikatakan bahwa, “Ini sebuah market besar, pasar besar, potensi besar, yang harus kita pikirkan agar peluang yang ada tidak lepas ke negara yang lain,” ujar Presiden. Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat industri halal dunia. Ia menambahkan bahwa langkah ini harus diikuti dengan penguatan ekosistem ekonomi syariah serta menyiapkan pelaku industri halal yang profesional. (liputan6.com 17092024).
Tak berselang lama, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyelenggarakan Pameran Halal Indonesia International Industry Expo (Halal Indo Expo) 2024 pada 26—29 September 2024. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan bahwa Industri halal dan ekonomi syariah merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia. Seiring waktu, sektor halal menunjukkan kinerja yang semakin positif. Berdasarkan Indonesia Halal Market Report (IHMR) 2021/2022, Indonesia berpeluang menambah USD5,1 miliar atau IDR72,9 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor yang termasuk pada industri halal. (liputanesia.com, 30/09/2024)
Dengan nilai yang sedemikian fantastis, tentu pemerintah sangat berkepentingan mengembangkan industri halal. Sektor utama penyumbang terbesar dari pertumbuhan industri halal adalah sektor manufaktur, diikuti oleh sektor pariwisata, dan di urutan ketiga ada sektor industri kreatif.
Ada gula, ada semut
Industri halal memang sedang naik daun. Bukan karena semangat berlomba-lomba untuk menerapkan aturan Islam, tapi karena potensi keuntungannya yang menggiurkan. Data dari The State of the Global Islamic Economy Report 2023—2024 menyebutkan bahwa konsumsi produk halal global diperkirakan mencapai USD2,4 triliun. Artinya, terdapat potensi bagi Indonesia untuk menjadi pasar dan sekaligus produsen produk halal terbesar di dunia.
Tahun 2025 diperkirakan belanja muslim mencapai USD2,8 triliun dengan tingkat Compound Annual Growth Rate (CAGR) dalam empat tahun sebesar 7,5%. Data jumlah penduduk muslim di Indonesia tercatat sebanyak 241,7 juta jiwa per Desember 2022 (berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri), atau setara dengan 89,02% dari populasi tanah air sebanyak 277,75 juta jiwa pada akhir tahun 2022. Ini tentunya merupakan potensi pertumbuhan yang sangat besar untuk ekonomi syariah dan industri halal.
Mengutip data dari Master Plan Industri Halal Indonesia 2023—2029, dinyatakan bahwa perkembangan industri halal adalah salah satu jawaban atas transformasi ekonomi Indonesia, menuju ekonomi berkelanjutan dalam pengembangan paradigma baru industrialisasi di Indonesia di saat ini dan mendatang. Mewujudkannya tidak mudah, perlu ada kesiapan SDM yang unggul dan mampu bersaing—termasuk penguatan pelaku industri halal—dengan dukungan riset dan inovasi. Penerapan kebijakan dan regulasi, penguatan keuangan dan infrastrutur, serta penguatan halal brand and awareness.
Wajar jika pemerintah menggandeng perguruan tinggi demi melancarkan target indonesia sebagai pusat industri halal. Mempersiapkan SDM pelaku industri halal, riset dan inovasi tentu akan lebih mudah. Mengutip pernyataan wakil presiden Ma’ruf Amin saat meresmikan Grand Launching Universitas Indonesia Halal Center (UIHC) di Universitas Indonesia tahun 2021 lalu bahwa peran penting perguruan tinggi dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah selain melahirkan SDM yang berkualitas dan ahli di bidang syariah, juga memiliki tanggung jawab menghasilkan riset-riset untuk memajukan industri produk halal.
Menurutnya, ada empat peran yang dapat diambil oleh perguruan tinggi dalam upaya mengembangkan industri produk halal nasional, di antaranya: (a) pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan adanya Halal Center diharapkan dapat menjadi pusat penyedia SDM untuk industri halal, seperti penyelia halal, auditor halal, dan lain sebagainya; (b) pengembangan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang akan memberikan kemudahkan bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal terhadap produk-produknya; (c) pengembangan riset produk halal dan inkubasi bisnis di universitas dengan infrastruktur laboratorium, SDM, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, dapat menjadi pionir dalam inovasi dan riset produk halal, terutama untuk mendukung pengembangan inkubasi bisnis produk halal bagi UMKM; (d) meningkatkan literasi masyarakat mengenai ekonomi dan keuangan syariah—universitas harus berperan secara aktif—mendorong literasi dan edukasi ekonomi dan keuangan syariah. (setneg.go.id)
Downgrade peran intelektual
Jika diteliti lebih dalam, ikut sertanya perguruan tinggi dalam memajukan industri halal ini pada dasarnya adalah upaya downgrade peran intelektual. Hal ini dikuatkan juga dengan upaya yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) yang terus mendorong perguruan tinggi mengambil peran dalam membangun ekosistem halal di Indonesia. BPJPH mengundang 28 perguruan tinggi dalam rapat kordinasi bulan juli lalu dan memberikan rekomendasi bahwa perguruan tinggi dapat membuka program studi yang terkait dengan jaminan produk halal. Selain itu, perguruan tinggi juga dapat mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) atau Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LPPPH). Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan rakor dimaksudkan untuk menjaring gagasan dan bertukar informasi dalam rangka menggali potensi pengembangan sekaligus publikasi riset dan inovasi serta program studi halal yang selama ini belum tergarap optimal.
Terlihat jelas bahwa perguruan tinggi hanya difokuskan sebagai penyedia tenaga kerja untuk industri. Peran penting perguruan tinggi dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah seolah dibatasi hanya untuk melahirkan SDM yang berkualitas dan menjadi pegawai ahli di bidang syariah, memiliki tanggung jawab menghasilkan riset dan inovasi memajukan industri produk halal juga tidak jauh dari standar kapitalis. Alhasil, perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka pencetak intelektual, berubah menjadi pemasok karyawan untuk industri. Lembaga riset dan pengabdian masyarakat juga berfokus untuk mewujudkan peran ini, kolaborasi antara perguruan tinggi dan pelaku industri juga menjadi focal point, agar dari proses hulu ke hilir semakin terintegrasi,
Menjadikan Perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai supplier tenaga kerja dan pusat riset untuk memajukan industri adalah upaya mengerdilkan fungsi pendidikan. Tentu saja, sinkronisasi pengetahuan dan penelitian sangat dibutuhkan, tapi bukan berarti fungsi lembaga pendidikan dan penelitian hanya sebatas penyedia ide dan SDM untuk industri. Independensi dan kelelusaaan lembaga penelitian untuk melakukan riset akhirnya akan terbentur pendanaan jika dianggap tidak mudah diaplikasikan oleh industri. Jurusan dan program studi yang harusnya fokus mencetak agent of change dan para cendikiawan, hanya terpaku untuk mencetak pegawai yang bisa diserap industri.
Halal adalah esensi, bukan gimik
Maraknya kampanye halal dan munculnya kesadaran akan kehalalan makanan dan minuman, serta produk obat dan farmasi, adalah hasil dari meningkatnya kesadaran umat Islam yang ditopang oleh media sebagai wadah peyebarannya. Baik media konvensional maupun media sosial, menjadikan umat Islam mudah untuk mendapatkan pilihan produk halal.
Dengan potensi masyarakat Indonesia yang saat ini berada pada kategori middle class income atau kelas berpendapatan menengah, tentunya menjadi salah satu ceruk pasar besar di dalam negeri bagi pengembangan industri halal nasional. Peluang industri halal ini tidak hanya ditangkap oleh para pengusaha muslim, tapi juga oleh perusahaan multinasional dan konglomerasi lokal yang nota bene bukan berlatar belakang muslim. Para pelaku industri ini, bukan menganggap halal sebagai nilai yang utama dan pertama. Mereka menganggap industri halal sebagai peluang usaha semata tanpa memedulikan esensi dari halal itu sendiri.
Industri halal adalah peluang usaha yang diambil oleh para kapitalis, maka tetap saja value base-nya adalah meraup untung. Pertumbuhan industri halal yang cenderung naik, kemampuan halal based industry untuk bounce back pascapandemi, dan maraknya kesadaran akan segala sesuatu yang berlabelkan halal, mendorong semua pelaku usaha memburu pasar ini. Kaum muslimin (umat Islam) diposisikan sebagai konsumen, sehingga langkah yang diambil kapitalis adalah sekadar memastikan bahwa produk bisa diserap oleh pasar.
Sebagai kalangan intelektual, institusi pendidikan seharusnya bisa menyadari maraknya jargon halal pada beberapa waktu belakangan sesungguhnya adalah sekadar kata-kata kosong. Konsep halal sesungguhnya adalah mengajak kaum muslim untuk taat dan melaksanakan segenap aktivitasnya—termasuk pemenuhan kebutuhan secara halal—tidaklah berhenti pada pelabelan. Esensi dari setiap aktivitas muslim adalah keridaan Allah terhadap aktivitas halal yang dilakukan dan benda-benda halal yang dikonsumsi.
Dengan melabeli suatu benda halal, tidak otomatis menjadikan aktivitas jual belinya halal. Begitu pula dengan melabeli suatu aktivitas—misal wisata halal, tidak lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang berpahala. Sejatinya, esensi halal itu justru ketika mampu menerapkan Islam secara sempurna dan totalitas.
Memberikan logo halal dan maraknya riset serta inovasi yang berfokus pada konsumen muslim, sejatinya tidak menjadikan ekosistem halal sebagai realitas hidup. Karena yang dilakukan sebatas melabeli hal-hal yang sudah ada dengan bungkus halal. Sedangkan secara sistemik dan struktural, tidak menjadikan halal—haram dan Islam sebagai standar hidup. Tidak mungkin Allah rida jika sistem perekonomian ribawi yang diterapkan—hanya diganti dengan bahasa dan istilah berbeda—sehingga seolah yang dilakukan itu halal. Sistem pemerintahan yang berlandaskan selain Al-Qur'an sebagai sumber hukumnya, tentu tidak akan menjadikan Allah rida.
Esensi halal hanya akan terwujud ketika menerapkan Islam secara kafah. Bahwasanya, menerapkan sistem ekonomi Islam yang didukung oleh sistem pemerintahan Islam yang paripurna akan mewujudkan ekosistem halal yang hakiki, bukan slogan semata. Wallahualam.[]
0 Komentar