Oleh: Emilda Tanjung
FOKUS — Bank Dunia kembali mengomentari harga beras di Indonesia. Carolyn Turk, perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, mengungkapkan bahwa harga beras Indonesia tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, bahkan selisihnya bisa mencapai 20%. Ironisnya, pendapatan para petani tidak sebanding dengan kenaikan harga beras ini. Hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dolar AS atau sekitar Rp15.199 per hari. Artinya, pendapatan petani lokal hanya mencapai 341 dolar AS atau Rp5,2 juta per tahun.[1]
Terlepas dari polemik dalam menyikapi pernyataan Bank Dunia ini, kenaikan harga beras memang sudah kita rasakan lebih dari 2,5 tahun terakhir. Sejak kenaikan harga pada akhir 2022, hingga saat ini pemerintah tidak mampu menstabilkan harga beras kembali ke tingkat harga sebelumnya. Namun, yang pemerintah lakukan justru beradaptasi dengan tingginya harga melalui kebijakan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pembelian, padahal pemerintahlah yang bertanggung jawab mengatasi persoalan ini agar seluruh masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka tanpa terkecuali.
Penyebabnya Multifaktor Klasik
Berbagai pihak pun memberikan respons terkait penyebab mahalnya harga beras di Indonesia. Bank Dunia sendiri menyebutkan bahwa mahalnya harga beras di Indonesia disebabkan pembatasan impor serta keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras hingga melemahkan daya saing pertanian.
Sementara itu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa penyebab mahalnya harga beras adalah akibat adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan saat impor karena menggunakan skema fee on board (FOB). Ditambah biaya distribusi (cost freight) yang menambah biaya importasi hingga sampai ke gudang Bulog.[2]
Tidak kalah pentingnya, berkurangnya lahan pertanian serta biaya pupuk, benih, dan upah buruh yang mahal, makin menambah tingginya ongkos produksi beras di tingkat petani.[3] Pada rantai tata niaga pun demikian, rantai pasok yang sangat panjang, banyaknya makelar yang terlibat dalam distribusi pangan, serta mafia impor, semuanya masih menjadi problem pada usaha perberasan yang tidak kunjung tertangani oleh pemerintah.[4]
Pengelolaan beras yang semrawut mulai dari hulu hingga ke hilir ini akhirnya berkontribusi pada mahalnya harga jual. Seluruh faktor yang disampaikan di atas pun sebenarnya adalah kondisi klasik yang selama ini telah membuahkan berbagai problem seputar beras. Sekalipun pemerintah menyatakan telah melakukan banyak kebijakan sebagai terobosan untuk menyelesaikan persoalan, nyatanya tidak solutif akibat regulasi yang dilahirkan hanyalah berupa kebijakan teknis yang tidak berbasis kebutuhan hakiki rakyat.
Akar Masalah, Tata Kelola Pertanian Pangan Kapitalisme
Oleh karena itu, diperlukan cara pandang yang komprehensif dan mendasar untuk melihat akar persoalannya. Problematik yang melingkupi pertanian dan pangan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan problem sistemis dan ideologis. Semua yang menjadi faktor penyebabnya, berawal dari kesalahan paradigma dan konsep pengelolaan.
Jika kita cermati secara mendalam, kita bisa dapati bahwa karut-marut ini berpangkal dari sistem pengelolaan pertanian dan pangan yang kapitalistik neoliberal. Bahayanya sistem kapitalisme neoliberal ini bahkan telah menyimpangkan cara pandang tentang konsep pangan yang mana pengadaan pangan hanya mengutamakan aspek ekonomi, yakni untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negara, bukan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat.
Bahkan, paradigma ekonomi alias untung-rugi ini makin melemahkan visi kedaulatan pangan dan menguatkan kapitalisasi pertanian dengan model industrialisasi pertanian. Impor yang makin jorjoran walaupun biaya impor mahal adalah bentuk hilangnya visi kemandirian tersebut. Begitu pula model pertanian modern, seperti food estate yang masif dikembangkan saat ini pun wujud dari korporatisasi atau industrialisasi pertanian.
Akibat paradigma tersebut, wajarlah jika tata kelola yang dijalankan oleh pemerintah (neoliberal) bukan berorientasi pada rakyat, bahkan penerapan sistem politik demokrasi malah makin meminggirkan peran negara yang sebenarnya. Negara (dalam hal ini pemerintah) hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat, sedangkan , pengurusan berbagai hajat publik diserahkan kepada korporasi. Hal ini kemudian melahirkan perusahaan pertanian skala besar menguasai semua rantai pangan, mulai dari produksi sampai konsumsi berorientasi komersialisasi.
Realitas ini menyebabkan sulitnya petani rakyat mendapatkan lahan, bahkan termasuk mendorong masifnya alih fungsi lahan pertanian. Begitu pula kesulitan mendapatkan saprotan juga karena petani harus membelinya dengan harga pasar (yang ditentukan korporasi), sedangkan subsidi dari pemerintah tidak cukup dan tidak sesuai kebutuhan.
Buruknya lagi, konsep reinventing government yang menjadi panduan kerja lembaga pemerintahan saat ini, mengarahkan unit teknis pemerintahan (seperti Bulog) hadir di tengah rakyat tidak semata melayani rakyat, tetapi justru sebagai pedagang. Bulog dan BUMN lainnya bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari profit. Paradigma bisnis ini mencabut fungsi BUMN yang seharusnya menjalankan public service obligation (PSO) menjadi aktivitas komersial.
Seiring dengan itu, sistem ekonomi kapitalisme dengan nilai kebebasan dan mekanisme pasar bebas, telah melahirkan akumulasi modal oleh korporasi-korporasi raksasa yang membuka jalan bagi mereka untuk menguasai seluruh rantai usaha pertanian, produksi-distribusi-konsumsi, bahkan importasi. Dominasi perusahaan pertanian pangan seperti ini mampu mengendalikan pasokan pangan, harga pasar, hingga konsumsi masyarakat. Saat ini saja, pasar beras Indonesia makin mengarah kepada oligopoli, makin menyulitkan pemerintah dalam pengendaliannya.[5]
Demikianlah problem utama penyebab mahalnya harga bahan pangan, khususnya beras, yakni akibat penerapan sistem politik demokrasi yang melahirkan pemerintahan yang lemah dan abai mengurusi rakyat. “Penguasa” yang sesungguhnya bukanlah negara, melainkan korporasi yang berorientasi keuntungan. Praktik sistem ekonomi kapitalisme pun telah menimbulkan dominasi oleh korporasi besar dan menciptakan ketimpangan ekonomi. Alhasil, pemerintah harus meninggalkan semua arahan dari berbagai pihak yang masih mengacu pada konsep dan sistem kapitalisme.
Politik Pangan Islam, Menstabilkan Harga dan Menyejahterakan Rakyat
Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk jaminan stabilitas harga serta menyejahterakan petani. Adanya jaminan ini disebabkan politik ekonomi Islam memang bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat, serta memampukan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.[6]
Tanggung jawab pengaturan pemenuhan kebutuhan, termasuk pangan, wajib berada sepenuhnya di pundak negara, yakni Khilafah. Rasulullah Saw. telah menegaskan dalam sabdanya, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw. menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. ….” (HR Muslim). Dengan demikian, pemerintah tidak boleh sekadar menjadi regulator lalu menyerahkan pengelolaannya kepada korporasi.
Lantas, bagaimana pemerintahan Islam (Khilafah) mampu menstabilkan harga? Hal ini sangat terkait dengan pengaturan pangan, mulai dari produksi. Ketika pemerintah menguasai pasokan pangan secara utuh, negara akan mampu mengendalikan harga. Oleh sebab itu, Khilafah wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Untuk menjaga pasokan ini, Khilafah memastikan produksi pangan terealisasi secara optimal. Kebijakan pertanian akan dijalankan dengan dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, termasuk penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan. Terkait intensifikasi ini, Khilafah akan memastikan petani mudah mengakses modal dan saprotan.
Sedangkan pada aspek distribusi, Khilafah hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud rantai tata niaga yang bersih, transparan, sehingga harga yang terbentuk adalah harga yang wajar. Khilafah sangat tegas melarang penimbunan, riba, praktik tengkulak, kartel, dsb. Penerapannya disertai penegakan sanksi secara tegas sesuai syariat Islam. Untuk menjalankan pelaksanaan pengawasan ini, Khilafah akan mengangkat sejumlah kadi hisbah.
Sejalan dengan itu semua, sistem ekonomi Islam akan diberlakukan, di antaranya mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dan lainnya. Buah penerapannya akan menghilangkan akumulasi harta pada segelintir orang, perekonomian pun akan tumbuh karena modal benar-benar diberdayakan pada sektor riil, termasuk pertanian. Akhirnya, rakyat bisa memiliki akses ekonomi yang akan menaikkan kondisi perekonomian dan daya belinya.
Penerapan sistem politik ekonomi Islam secara kafah juga akan mampu merealisasikan jaminan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat dan menyejahterakan petani. Pemenuhan hal ini bisa terwujud karena hadirnya pemerintah yang memang bervisi kemaslahatan rakyat.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24). Wallahualam.
0 Komentar