Imam Besar Masjid Nabawi Promosikan Islam Moderasi



#Wacana — Jakarta (Antara) 8/10-2024, Imam Masjid Nabawi Syekh Ahmad bin Ali al- Hudzaifi melakukan kunjungan ke Indonesia pada 8—11 Oktober 2024, salah satu tujuannya untuk mempromosikan nilai-nilai Islam toleran dan moderat (JakartaAntara, 08/10/2024).

Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama, Komarudin Amin mengatakan nilai-nilai Islam toleran dan moderat yang digaungkan itu senafas dengan upaya pemerintah Indonesia dalam memperkuat moderasi beragama di setiap lini kehidupan.

Tempo.co menulis bahwa Imam Besar Masjid Nabawi, Syekh Ahmad bin Ali al-Hudzaifi menyinggung soal ekstriminisme dalam kuliah umumnya di Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif  Hidayatulloh Jakarta, pada Kamis siang. Ahmad menuturkan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahualaihi wasalam memiliki corak yang moderat bukan bertendensi ekstrem.

"Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahualaihi wasalam yaitu syariat Islam adalah syariat yang berada di pertengahan, bukan termasuk ajaran yang mengajarkan pada ekstrem kanan, bukan juga ajaran yang mengajarkan ekstrem kiri," kata Ahmad dihadapan mahasiswa UIN Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.

Istilah moderasi agama bukan dari sejarah kontemporer lokal Indonesia. Bukan juga berasal dari peristiwa peledakan WTC (9/11/2001) di New York (AS) yang melariskan istilah "terorisme". Bahkan sejarah istilah moderasi agama itu berakar jauh sebelumnya.

Istilah moderasi dapat dilacak sampai sejak revolusi Iran tahun 1979. Sebagaimana penjelasan Fereydan Hoveyda seorang pemikir dan diplomat Iran. Dia menegaskan dalam artikelnya yang terbit tahun 2001, dengan judul Moderate Islamist? American policy Interest—sebuah artikel Ilmiah dalam The Journal of National Committe on America Policy. Istilah Islamic moderation, moderate Islam mulai banyak digunakan setelah tahun 1979 oleh jurnalis dan akademis untuk mendiskripsikan konteks hubungan antara dua hal. Di satu sisi adalah muslim, Islam atau Islamist (aktivis Islam), sedang di sisi lain adalah Barat (The West). Dalam konteks inilah muncul istilah "Moderaye Islamist" (Aktivis Islam Moderat) yang dianggap pro-Barat (The West), khususnya yang pro-Amerika Serikat. Sebagai lawan  dari "Moderate Islamist" akhirnya diberi label "Hard Line Islamist" (Aktivis Islam Garis Keras), yakni mereka yang menginginkan Islam secara pure dan menolak ideologi Barat.

Kebijakan moderasi agama harus kita pandang dalam perspektif politik global, bukan perspektif lokal (Indonesia) apalagi dalam perspektif politik kekinian di rezim yang ada saat ini.

Moderasi agama adalah bagian dari strategi politik luar negeri negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat yang mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menghalangi kembalinya umat Islam dalam agamanya secara murni terutama dalam mengamalkan syariat Islam kafah dalam institusi negara Khilafah. Kedua, untuk mempertahankan sistem demokrasi-sekuler yang ada saat ini di negeri-negeri Islam, dengan cara mempertahankan penguasa yang menjadi proxy mereka, agar Amerika Serikat dan negara-negara penjajah lainnya dapat terus mengeksploitasi dan menghisap kekayaan alam negeri-negeri Islam yang sangat kaya.


Sikap Kaum Muslimin Terkait Arus Moderasi Agama

Umat Islam yang memiliki kemuliaan akan ajaran Islam harus memiliki sikap tegas terhadap arus opini moderasi agama, di antaranya yang pertama, mengungkap kritik terhadap kesesatan kebijakan moderasi beragama; kedua, menyadarkan kepada umat bahwa kebijakan moderasi beragama bukan kebijakan pemerintah, tetapi merupakan agenda politik luar negeri Amerika Serikat terhadap negeri-negeri muslim; ketiga, menyadarkan masyarakat bahwa moderasi beragama sangat berbahaya terhadap ajaran-ajaran Islam; keempat, terus berjuang untuk dakwah kepada Islam kafah sampai tegaknya hukum-hukum Islam dalam institusi Khilafah. Hanya Khilafah yang akan menjaga akidah umat Islam.[]



Solati Ummu Nida

Posting Komentar

0 Komentar