Siti Rima Sarinah
(Aktivis Dakwah)
#Wacana — Pajak menjadi salah satu sumber pemasukan bagi Indonesia. Menurut wikipedia, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tentu kita sangat familiar dengan slogan “orang bijak bayar pajak”, yang merupakan imbauan dan motivasi agar rakyat rajin membayar pajak.
Pajak yang diterapkan di negeri ini sangat beragam dan setiap tahunnya senantiasa mengalami kenaikan. Kenaikan pajak sangat berdampak pada perekonomian masyarakat di antaranya kenaikan biaya hidup, pengurangan daya beli, terjadinya inflasi, dan juga berdampak pada sektor usaha yang mengakibatkan PHK besar-besaran.
Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025, tertuang dalam amanat UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menanggapi rencana tersebut, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Sri Herianingrum S.E. M.Sc., menyatakan bahwa kenaikan pajak akan meningkatkan pendapatan pemerintah. Namun, berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi mikro yang dampaknya akan terasa pada proses produksi dengan adanya tambahan biaya, sehingga kemungkinan akan mengurangi profitabilitas perusahaan (http//unair.ac.id).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kenaikan pajak yang kerap kali dilakukan oleh pemerintah semakin menambah beban hidup rakyat. Totalitas negara memalak rakyat dengan pajak tersirat jelas dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang merasa bangga atas kinerja Direktorat Jenderal Perpajakan (Ditjen Pajak) dikarenakan penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ia pun memberikan apresiasi yang tinggi kepada Ditjen Pajak yang dianggap telah berhasil menjadi tulang punggung negara (muslimah news.net, 20/07/2024).
Narasi pajak yang selalu digaungkan oleh dan untuk kepentingan rakyat digunakan untuk membiayai sektor publik seperti BBM, LPG, fasilitas sekolah, rumah sakit, dan jalan tol. Dana subsidi merupakan dana dari pajak. Faktanya, rakyat tidak sedikit pun merasakan kebermanfaatan pajak yang diklaim dibangun dengan subsidi pajak. Untuk kesehatan rakyat harus membayar BPJS apabila ingin mendapatkan pelayanan kesehatan, begitu banyak bangunan sekolah yang tidak layak pakai tetapi masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan jalan tol tarifnya semakin mahal sehingga keberadaannya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Apabila negara bisa menjalankan fungsi selayaknya ibu rumah tangga yang ahli dalam mengelola dan mengatur keuangan keluarga, sang ibu akan mengalokasikan uang yang dimilikinya untuk keperluan dan kebutuhan keluarga yang menjadi prioritas utamanya. Niscaya kebutuhan keluarga bisa terpenuhi.
Indonesia telah diberikan karunia kekayaan alam yang melimpah ruah. Kekayaan alam ini lebih dari cukup untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok individu rakyatnya. Negara tidak memerlukan uang rakyat dengan memaksanya membayar pajak. Sayangnya, atas nama liberalisasi kepemilikan, kekayaan alam milik rakyat diserahkan secara sukarela untuk dikelola oleh asing dan aseng. Walhasil, negara mencukupkan diri dengan mengumpulkan uang receh dari pajak.
Dampak dari liberalisasi ini mengakibatkan angka kemiskinan semakin tinggi, biaya hidup semakin mahal, kesehatan dan pendidikan pun sulit untuk diperoleh. Kondisi ini tidak membuat negara iba kepada nasib rakyatnya dan justru menambah beban rakyat dengan memalak pajak. Negara tidak berdaya, tunduk dan patuh pada kepentingan pemilik modal. Inilah tabiat buruk penguasa dalam sistem demokrasi yang menghamba kepada pemilik modal/korporasi sebagai imbalan balas budi untuk suntikan dana menduduki jabatan kekuasaan.
Negara memalak rakyat tidak akan pernah dijumpai dalam sistem Islam. Sebab dalam Islam, negara diamanahi untuk menjadi pengurus dan pelayan bagi semua urusan rakyat. Negara memiliki kas negara (baitulmaal) yang memiliki pos-pos pemasukan yang bahkan lebih dari cukup untuk menjamin semua kebutuhan individu rakyat. Karena negara mengelola kepemilikan umum yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, keamanan, trasportasi dan lain sebagainya.
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara. Berbeda dalam sistem Islam, dharibah/pajak diambil apabila keuangan di kas negara sedang kosong dan hanya bersifat sementara (rakyat yang mampu/kaya saja dipungut pajak). Tetapi apabila kas negara sudah terisi, penguasa tidak akan menarik pajak lagi dari rakyat.
Di sinilah letak perbedaan antara sistem pemalak rakyat dan sistem pe-riayah rakyat. Kondisi ini seharusnya membuat kita segera bangkit untuk membabat habis sistem buatan akal manusia yang senantiasa membuat rakyat sengsara. Menjadikan sistem Islam dalam naungan Khilafah tegak kembali agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bisa terwujud. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar