Kabinet Gemuk Demokrasi vs Struktur Pemerintahan Islam, Mana yang Menyejahterakan?



Anggun Permatasari

(Penulis dan Aktivis Dakwah) 


#TelaahUtama — Presiden Prabowo Subianto didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melantik Menteri Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024—2029, di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024) pagi. Adapun Menteri yang dilantik Presiden berjumlah 48. Pada kesempatan yang sama, dia juga melantik para wakil menteri negara sebanyak 55 orang. Selain itu, dia juga melantik Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet dan Muhammad Qodari sebagai Wakil Kepala Staf Kepresidenan (setkab.go.id, 21/10/2024).

Selanjutnya pada tanggal 22 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto secara resmi melantik para Penasihat Khusus sebanyak enam orang, tujuh orang Utusan Khusus, dan satu orang Staf Khusus Presiden (setkab.go.id, 22/10/2024). Jadi, total anggota kabinet adalah 119 orang.

Luar biasa, di tengah krisis multidimensi dan kerusakan di sana-sini yang merupakan juga warisan penguasa-penguasa sebelumnya, rakyat semakin apatis terhadap pemerintah. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kekayaan rakyat makin tersedot untuk membiayai jajaran penguasa di pemerintahan. 

Tidak hanya masyarakat, para pengamat juga sangat menyayangkan kondisi koalisi gemuk tersebut. Dilansir dari laman detiknews.com (21/10/2024), pengamat politik dari Universitas Udayana (Unud), Efatha Filomeno Borromeu menilai postur gemuk Kabinet Merah Putih era Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa memicu konflik antarlembaga, sebab banyak kementerian baru yang muncul. Dia juga khawatir akan risiko policy drift atau penyimpangan kebijakan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga masih mempelajari hal-hal terkait pengeluaran anggaran untuk penggajian anggota kabinet tersebut.

Kondisi perpolitikan seperti itu wajar terjadi di alam demokrasi-kapitalisme. Seharusnya masyarakat belajar dari pengalaman terdahulu yang berujung kekecewaan dari setiap janji manis ketika kampanye. Sayangnya, masyarakat selama ini hanya melihat kesalahan dilakukan oleh person, bukan dari sistem dan aturannya.

Idealnya, berdasarkan pengalaman beberapa tahun ke belakang, kerusakan jelas bukan hanya pada individu kepemimpinan, tetapi lebih pada sistem atau aturan yang diterapkan. Bahkan karena sistem ini, sosok penguasa jahat bisa leluasa berkamuflase menjadi pahlawan bagi rakyat. Sementara orang yang baik justru bisa terjerumus dalam kerusakan bahkan dianggap jahat. Walhasil, kehidupan rakyat makin jauh dari kebaikan dan kesejahteraan. Kenyataan ini sudah terbukti terjadi bertahun-tahun. Tidak hanya manusia, lingkungan pun terzalimi. 

Pergantian pemimpin setiap lima tahun sekali nyatanya tidak merubah apa pun ke arah yang lebih baik. Satu-satunya jalan keluar dari kerusakan yaitu dengan mengembalikan kehidupan Islam dan menegakkan seluruh aturan Allah taala dalam naungan Khilafah Islamiah. Sebab, sistem yang berasal dari Allah taala ini tegak di atas tiga pilar, yakni individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang melaksanakan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang berkomitmen dan konsisten menerapkan aturan Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan.

Allah taala berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa: 65)

Aturan Islam menetapkan bahwa penguasa adalah pelayan (rain) sekaligus junnah bagi rakyatnya. Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab atas nyawa, harta, kehormatan dan akidah setiap warganya. Pertanggungjawaban tersebut akan dihisab di akhirat kelak. Ketika khalifah atau pemimpin dibaiat tentunya dia harus siap untuk melaksanakan syariat Islam. Sehingga, terwujud kesejahteraan rakyat, karena sejatinya syariat Islam adalah solusi segala permasalahan umat.

Dalam struktur pemerintahan Islam tidak dikenal sistem kementerian. Khalifah di bawah tuntunan Al-Qur'an dan sunnah bertanggung jawab atas semua tugas kepemimpinan. Khalifah mengangkat pejabat untuk membantunya sesuai kebutuhan. Baik untuk melaksanakan fungsi kekuasaan, seperti kepala daerah (wali atau amil), keamanan, militer seperti amirul jihad, fungsi peradilan seperti para hakim atau qodhi, maupun fungsi administrasi atau nonkekuasaan lain, seperti para duta, pengurus baitulmal, kepala departemen kemaslahatan umat, departemen media, dan sebagainya.

Sistem Islam mencegah peluang konflik kepentingan dari siapa pun yang mewakili umat untuk mengangkatnya, baik para tokoh umat, partai politik, atau siapa pun yang terlibat dalam proses kontestasi khalifah. Hai ini dikarenakan sistem Islam melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab dan memandang jabatan sebagai amanah, bukan lahan 'basah' untuk memperkaya diri. Pemimpin harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, yakni seorang muslim yang bertakwa, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan punya kapabilitas. Orang-orang yang masuk dalam jajaran pemerintah tidak akan berburu jabatan apalagi politik balas budi.

Sistem Islam mewujudkan kesejahteraan dengan memfasilitasi semua kebutuhan rakyat. Kebutuhan pokok, sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, bahkan rasa aman. Sehingga, rakyat tidak akan berlomba-lomba untuk berebut jabatan hanya untuk meningkatkan kualitas kehidupan. 

Pemerintahan Khilafah adalah bersifat manusiawi artinya bahwa kejadian buruk bisa saja terjadi, seperti pejabat zalim yang menyalahi syariat, atau yang lainnya. Namun, adanya sejarah hitam tersebut tidak boleh dijadikan untuk memupuk rasa utopis meraih kegemilangan peradaban Khilafah. Apalagi, peluang penyimpangan akan dipersempit karena masyarakat Islam lahir dari sistem yang menerapkan Islam, rakyat akan senantiasa menjaga diri dan lingkungannya. 

Apalagi dalam struktur kekhalifahan ada Majelis Umat yang berisi utusan umat yang siap mengawal penguasa dalam menjalankan fungsinya. Lagi pula ada Mahkamah Madzalim yang menjadi pemutus jika terjadi sengketa umat dan penguasa. Mahkamah Madzalim memiliki hak atau kewenangan untuk memecat khalifah jika ia sudah melenceng dari hukum syara, dan atau kehilangan satu dari tujuh syarat in’iqad yang harus ada padanya. Lalu, sampai kapan kita akan terus rela menderita dengan sistem bobrok demokrasi dan menolak solusi Islam yang demikian menyejahterakan? Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar