#CatatanRedaksi — Pelantikan kabinet Presiden Prabowo Subianto terlaksana pada 21 Oktober 2024. Susunan kabinetnya dinilai terbanyak di dunia. Dilansir dari laman cnbcindonesia.com (26/10/2024), Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo bisa dikatakan menorehkan sejarah baru dalam jumlahnya, paling banyak di antara negara demokrasi di dunia.
Tercatat kabinet gemuk ada di India dengan jumlah menteri 30 orang, disusul Brazil dengan 37 menteri. Indonesia memiliki jumlah tertinggi, 53 orang. Terdapat 48 menteri dan lima pejabat yang tidak berada di bawah koordinasi oleh Kementerian Koordinator.
Dikutip dalam tempo.co (23/10/2024), Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan mengatakan penambahan jumlah kementerian di kabinet Presiden Prabowo tidak efisien. Fadhil menilai perubahan akan membuat tantangan di masa awal pemerintahan Prabowo lebih berat. “Risiko dari kabinet super gemuk dalam 1-2 tahun ke depan, selain soal inefisiensi, gerakannya sudah pasti lamban,” kata dia lewat pernyataan resmi pada Selasa, 22 oktober 2024.
Prabowo ingin bergerak cepat dalam pelaksanaan berbagai program dan visinya. Masalah yang akan datang adalah berkaitan dengan koordinasi. Dengan kabinet gemuk ditambah berbagai menteri koordinator dan badan, maka koordinasi kemungkinan besar sulit optimal. “Siapa bertanggung jawab dan satu dengan lainnya timbul overlapping,” lanjutnya.
Tumpang tindih kewenangan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. “Bisa timbul persoalan antara para menteri,” ujarnya. Kementerian Koordinator Perekonomian, misalnya, tugas dan fungsinya bisa saja saling bertumpuk dengan kementerian koordinator yang juga terkait pangan.
Selain itu, ada sinyalemen bahwa kabinet gemuk ini adalah bagi-bagi kekuasaan terkait pemenangan pemilu presiden beberapa waktu yang lalu. Pengamat hukum dan politik, Pieter C Zuklifli menyampaikan, "Koalisi besar yang dibentuk untuk meraih kemenangan dalam pemilu biasanya harus 'dibayar' dengan bagi-bagi kursi menteri kepada partai-partai pendukung. Apakah benar ini solusi efektif? Sejarah menunjukkan bahwa kinerja kabinet yang besar bisa memperlambat pengambilan keputusan karena setiap kebijakan harus melewati banyak lapisan kepentingan," dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Pieter Zuklifli kembali mengingatkan kabinet Prabowo-Gibran dihadapkan pada harapan besar dari masyarakat yang menginginkan perubahan nyata. Isu-isu seperti reformasi hukum, peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah ekonomi yang kompleks memerlukan kerja keras dan sinergi yang luar biasa. "Namun, pertanyaannya, apakah kabinet yang sangat besar ini bisa mewujudkan semua itu? Apakah Prabowo dan Gibran mampu fokus pada program-program prioritas tanpa terseret dalam kepentingan politik jangka pendek?" pungkasnya (Tribunnews.com, 22/10/2024).
Secara sederhana, ketika jumlah menteri banyak secara otomatis penyerapan anggaran untuk operasional, gaji, dan tunjangan pasti bertambah juga. Logikanya sumber pemasukan anggaran lebih banyak terjadi pada sektor pajak maka sudah bisa dibayangkan kondisi yang akan dilakukan ke depan adalah pajak akan digenjot untuk pembiayaan itu, lagi-lagi rakyatlah yang harus menanggungnya.
Dilansir dari laman bisnis.com (22/10/2024), terkait gaji menteri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2000. Dalam regulasi ini, gaji menteri sebesar Rp5,04 juta. Selanjutnya, dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan Keppres Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu, ditetapkan menteri menerima tunjangan Rp13,6 juta. Dengan penetapan ini, maka seorang menteri atau setingkat akan membawa pulang gaji pokok dan tunjangan jabatan sebesar Rp18,64 juta setiap bulan.
Untuk pendapatan wakil menteri, aturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.176/MK.02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Wakil Menteri. Menteri dan Wakil Menteri juga mendapatkan kendaraan dinas, rumah jabatan, dan jaminan kesehatan. Dalam rumah jabatan, dapat diuangkan berupa kompensasi tunjangan perumahan sebesar Rp35 juta per bulan.
Dengan menghitung biaya resmi saja, maka untuk 53 menteri, uang pajak yang digelontorkan untuk gaji dan tunjangan mencapai Rp988,34 juta per bulan. Sedangkan untuk wakil menteri, dibelanjakan Rp1,06 miliar per bulan. Untuk menteri dan wakil menteri, jika diganti tunjangan perumahannya menjadi uang, maka dibelanjakan Rp3,81 miliar. Dengan jumlah belanja ini, maka biaya resmi untuk menteri dan wakilnya setiap bulan menghabiskan Rp5,85 miliar atau Rp70,26 miliar per tahun anggaran APBN. Selanjutnya, masih harus disediakan 109 kendaraan dinas termasuk asuransinya.
Luar biasa, pengeluaran negara habis hanya untuk pembiayaan kabinet yang gemuk ini, belum ditunjukkan kinerjanya sudah berat saja beban APBN menanggungnya. Padahal, kondisi deflasi masih terus menghantui, pasar sepi, daya beli turun, PHK besar-besaran terjadi. Ekonom Senior Indef, Fadhil Hasan menyebut kabinet yang super gemuk ini bukannya mempercepat mimpi Prabowo untuk terwujud, tapi justru akan menjadi penghambat dan ujung-ujungnya target perekonomian, termasuk pertumbuhan 8 persen, akan sulit dicapai. “Jadi yang tidak terbayangkan itu, bagaimana Pak Prabowo mengorkestrasi gerak dari kabinet yang super gemuk. By default, orang gemuk itu pasti lamban, tidak bisa lari. Kalau lari pun terseok-seok, dikalahkan yang lebih ramping. Jadi, size itu matters dalam hal efisiensi," ujarnya dalam acara diskusi publik Indef (CNNIndonesia.com, 22/10/2024).
Pesimistis yang muncul semua berdalil, di samping wajah lama masih ada, maka harapan terjadi perubahan signifikan masih diragukan. Sejatinya perubahan itu dipengaruhi oleh dua hal yakni pemimpin dan sistem yang menaunginya. Memang benar pemimpin telah berganti, tetapi rakyat juga tidak lupa bahwa presiden yang terpilih sekarang adalah calon yang disponsori, bahkan dibela habis-habisan oleh presiden sebelumnya, sampai-sampai sang anak pun bisa menempati posisi wapres saat ini. Maka bisa dibayangkan bagaimana model kepemimpinan yang ada ke depan.
Malah, sistem politik yang masih sama yaitu sekuler-demokrasi tetap menjadi haluan koalisi gemuk ini. Sehingga pemerintahan yang dibangun koalisi, pemenangan juga oleh koalisi—ada biaya yang tidak murah dikeluarkan untuk pemenangan. Maka, sangat wajar politik balas budi itu terjadi. Banyaknya orang yang dirangkul dalam pemerintahan akan secara langsung berimbas pada makin sedikitnya orang/parpol yang akan mengkritisi pemerintahan ke depan, bahkan mungkin tidak ada.
Seandainya demokrasi mau jujur dengan sistemnya, seharusnya wajar ada oposisi dalam pemerintahan untuk balancing sistem pemerintahan. Namun, karena bukan lahan basah dan cenderung tidak menguntungkan, hal itu pun dianulir kemunculannya. Sehingga pemerintahan ke depan mungkin akan muncul seragam, bahkan mungkin antikritik juga seperti yang sebelumnya.
Begitulah realitasnya sistem pemerintahan kapitalis-demokrasi. Sudahlah pemerintahan ditetapkan dengan suara terbanyak, bahkan pihak yang berkuasa adalah yang punya kapital besar (oligarki) karena aktivitas politik demokrasi yang berbiaya besar tidak akan bisa lepas dari penyandang dana dengan aneka kompensasi, misalnya PSN, tambang, dan sebagainya.
Alhasil, berharap pada demokrasi untuk kesekian kalinya bagi rakyat muslim terbesar di negeri ini akan kembali mendulang kekecewaan seperti masa-masa sebelumnya. Seharusnya, umat Islam di negeri ini mau mendalami agama Islam yang telah sempurna mengatur hidup ini. Sungguh Allah berfirman, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS al-Maidah: 3)
Allah Swt. berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS al-Ahzab: 36)
Dengan demikian, jika rakyat negeri ini tidak ingin kecewa, sebenarnya mudah saja, yaitu kembali kepada sejatinya fitrah seorang hamba Allah Swt. yang berhukum secara totalitas dengan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah Islam yang mengikuti manhaj Nabi Muhammad saw.. Wallahualam bissawab.
Hanin Syahidah, S.Pd.
0 Komentar