Kasus Stunting Makin Genting, Negara Nggak Mau Pusing




#Wacana — Kasus stunting merupakan persoalan yang terus mewarnai dari sekian banyaknya permasalahan yang di hadapi negeri ini. Pasalnya kasus stunting terus mengalami peningkatan, tentu hal ini menjadi kekhawatiran akan nasib generasi bangsa di masa depan. Apa yang bisa diharapkan dari generasi yang mengalami gizi buruk dan sakit-sakitan? Padahal negara membutuhkan generasi yang sehat, kuat, dan cerdas untuk membangun dan melanjukan estafet perjuangan bangsa di masa depan. Kemajuan sebuah bangsa salah satunya dilihat dari kualitas generasi bangsanya.

Berbagai upaya tengah dilakukan di berbagai daerah untuk mengentaskan masalah stunting. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah kota (Pemkot) Bogor melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) yang menggelar Evaluasi dan Monitoring Tim Percepatan Penurun Stunting (TTPS). Sekretaris Daerah Kota Bogor, Syarifah Sofiah selaku ketua TTPS menerangkan strategi penurunan stunting dengan intervensi langsung kepada Baduta (di bawah usia dua tahun) menjadi fokus perhatian kelurahan dan kecamatan. Sementara itu, calon pengantin, ibu hamil, dan ibu menyusui diintervensi jajaran Dinas Kesehatan dan puskesmas yang sudah memiliki program untuk penambahan vitamin dan pemeriksaannya (Jabarekspres.com, 04/10/2024).

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pemerintah terkait percepatan penurunan kasus stunting masih terlalu landai, walaupun pemerintah optimis dengan target penurunan stunting 14 persen tercapai di 2024. Sehingga pemerintah merasa perlu adanya perubahan perilaku masyarakat yang memicu stunting. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Endang L. Achadi menyatakan stunting bukan harus diobati, tetapi dicari cata mengatasinya dan mencegahnya.

Jika kita mencermati persoalan stunting sebenarnya muncul dari bagian persoalan mendasar masyarakat terkait pemenuhan kebutuhan dasar. Selama ini negara abai terkait pemenuhan kebutuhan mendasar berupa pangan. Akibatnya, banyak rakyat yang kekurangan gizi, termasuk ibu hamil, bayi, dan balita yang menghambat tumbuh kembang pada anak sehingga terjadilah stunting. Selama ini program-program pemerintah untuk menurunkan angka stunting terlihat setengah hati dan tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.

Dari program pembagian biskuit, susu ikan, hingga makan bergizi gratis ternyata tidak mampu menjadi solusi tuntas mengatasi stunting. Bahkan program-program ala kadarnya ini menuai polemik di tengah masyarakat. Polemik yang paling menonjol adalah penyalahgunaan anggaran untuk stunting yang ditemukan di suatu daerah, dari total dana Rp10 miliar untuk program stunting hanya digunakan Rp2 miliar yang dimanfaatkan secara nyata untuk pemberian makanan bergizi. Sebesar Rp8 miliar lainnya digunakan untuk perjalanan dinas, rapat, dan progam lainnya (republika.id, 14/06/2023).

Tidak dipungkiri setiap program untuk menuntaskan persoalan masyarakat yang membutuhkan dana besar, seperti kasus stunting sangat rawan untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum pejabat. Alih-alih dapat menurunkan dan mencegah kasus stunting, justru memunculkan masalah baru. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan stunting tidak lepas dari persoalan sistemik yang tidak bisa diselesaikan secara parsial, apalagi dengan program-program ala kadarnya dari pemerintah. 

Sudah menjadi opini umum bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah menjadikan negara abai atas tanggung jawabnya terhadap rakyat yang menjadi amanahnya. Bagaimana tidak, tak ada satu pun kebijakan atau program yang lahir dari sistem batil ini mampu menuntaskan persoalan rakyat. Malah, kehadiran kapitalisme inilah yang menjadi penyebab lahirnya berbagai persoalan kehidupan. Jadi, bagaimana mungkin sistem pembuat masalah dapat menuntaskan masalah?

Pada hakikatnya, setiap persoalan rakyat akan terselesaikan apabila menggunakan sistem yang benar dan baik. Termasuk persoalan stunting yang sangat menentukan masa depan negara. Seharusnya kasus stunting tidak terjadi apabila negara menjalankan peran sebagai pelayan rakyat. Kebutuhan pangan menjadi kebutuhan pokok rakyat dan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi dan menjamin setiap individu rakyat bisa memperolehnya. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam (Khilafah). Sistem Islam merupakan sistem yang sangat peduli dengan urusan rakyat, apalagi menyangkut nasib generasi. Dengan penerapan politik ekonomi Islam akan menjamin semua kebutuhan primer (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) bagi setiap individu  rakyat secara adil dan merata. Kebutuhan gizi setiap orang akan dipenuhi, termasuk ibu hamil, bayi, dan balita. Bukan hanya kebutuhan akan pangan, kebutuhan akan rumah sehat, air bersih, sanitasi, edukasi, kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan semua akan dijamin oleh negara.

Adalah khalifah yang menjadi pemimpin rakyat yang bertanggung jawab memenuhi dan memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan primernya, termasuk kecukupan pangan bergizi. Khalifah di bantu oleh para muawin dan para wali dan amil untuk menjalankan tugasnya. Selain itu, khalifah memiliki struktur administrasi yang memastikan program-program yang terkait dengan kemaslahatan rakyat bisa dirasakan hingga ke penjuru negeri. Sehingga terwujudlah kesejahteraan dan kemakmuran di tengah rakyat sebagai bukti nyata sistem politik ekonomi Islam mampu menuntaskan persoalan stunting yang terkait dengan masalah ekonomi.

Walhasil, Islam dapat mewujudkan generasi sehat dan unggul yang menjadi generasi terbaik pembangun peradaban, bukan generasi yang lemah sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Mukmin yang kuat lebih dicitai Allah azza wa jalla daripada mukmin yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Nasai)

Wallahualam.


Posting Komentar

0 Komentar