Mengenal Dekat Sosok Abu Dzar al-Ghifari: Mengislamkan Perampok

Mengenal Dekat Sosok Abu Dzar al-Ghifari: Mengislamkan Perampok


Heni Ummu Faiz

(Ibu Pemerhati Umat)


#Tarikh — Sosok yang zuhud dan tawadhu. Bahkan keberaniannya patut diacungkan jempol. Dia merupakan mantan perampok di masanya dengan gelimang noda-noda kejahatan. Namun, Allah memberikan seberkas hidayah hingga dia masuk Islam secara kafah. Sosok tersebut adalah Abu Dzar al-Ghifari. Sahabat Rasulullah saw. yang tidak pernah menyerah dalam dakwah sekalipun tahu bahwa dirinya lemah.

Malah disebutkan bahwa Abu Dzar merupakan sahabat yang paling miskin, tetapi Rasulullah saw. mencintainya dan tetap memerintahkannya untuk bersedekah. Kecintaan beliau lakukan semata-mata agar Abu Dzar mendapatkan pahala kebaikan untuk menambah investasi jariahnya di akhirat kelak. 

Pernah suatu waktu Abu Dzar diperintahkan untuk bersedekah, "Wahai Abu Dzar, jika engkau membuat sup maka perbanyaklah kuahnya dan hendaknya engkau bagikan kepada tetanggamu.” Abu Dzar menjawab, "Ya Rasulullah, sup saya itu begitu istimewa." Rasulullah saw. menjawab dengan nada penasaran, "Apa maksudmu?" Abu Dzar menjawab, “Sup saya hanya terdiri dari air putih, dibubuhi garam, dan sedikit irisan bawang.”

Rasulullah saw. menjawab dengan penuh rasa kagum dan terharu, “Tidak mengapa wahai Abu Dzar.” Abu Dzar kemudian memberikan kepada tetangganya. Hal tersebut dilakukan dengan penuh rasa taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Reaksi tetangganya sungguh luar biasa, tidak menolak apalagi mencela, justru membalasnya dengan menu yang lebih baik. 

Kezuhudan dan ke-wara-an Abu Dzar sangat dikenal di kalangan sahabat. Kemiskinan yang menggelayuti kehidupannya tidak lantas membuat rendah diri apalagi enggan berdakwah. Jika melihat masa lalunya, justru berbanding terbalik karena beliau adalah mantan perampok di kabilahnya dan lingkungannya pun adalah perampok. Kebiasaannya adalah meneror, merampas, dan berbagai perbuatan buruk lainnya. Namun, Allah Swt. memberikan cahaya hidayah hingga akhirnya masuk Islam. 

Setelah masuk Islam, Abu Dzar menyesali segala perbuatannya dan menebus segala kesalahan dengan berbagai kebaikan. Berada di kabilahnya Abu Dzar terus berdakwah, meski mendapatkan penolakan dari teman-teman perampok seprofesinya. Abu Dzar diusir dari kabilahnya dan memutuskan pergi bersama ibu dan saudara laki-lakinya bernama Anis al-Ghiffari. Mereka kemudian pindah ke Najd Atas.

Abu Dzar akhirnya menjadi sosok yang revolusioner di lingkungan yang baru. Sering kali kepintaran dan ide-idenya mendapatkan penolakan hingga akhirnya hijrah ke Makkah. Kedatangannya di kota Makkah justru saat kondisi kacau. Abu Dzar sangat tertarik dengan Islam setelah sampai di rumah Rasulullah saw., kemudian berbaiat. Rasulullah saw. membaca situasi politik terus memanas dengan kafir Quraisy yang sangat menentang Islam. Maka diperintahkan Abu Dzar untuk menyembunyikan keislamannya hingga kondisi kota Makkah kondusif. 

Di luar dugaan, Abu Dzar justru mengumumkan keislamannya hingga mengakibatkan reaksi dari kaum kafir Quraisy. Abu Dzar mendapatkan siksaan yang luar biasa. Namun, hal tersebut dilakukan oleh Abu Dzar berulangkali tanpa rasa penyesalan apalagi "kapok". Sebuah sikap ngeyel yang bagus dan jarang ditemukan di masa sekarang. Penyiksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy dihentikan saat mengetahui kalau Abu Dzar adalah salah seorang yang berasal dari suku Ghifar. Mereka berasumsi jika Abu Dzar meninggal dunia, maka tidak akan lagi jalan bagi penduduk Makkah untuk pergi ke Syam.

Abu Dzar sahabat Rasulullah saw. yang masyhur akan ketangguhannya. Kesalehan beliau turut menghantarkan hampir seluruh sukunya yang suka merampok masuk Islam. Kesederhanaan beliau telah disabdakan oleh Rasulullah saw., “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.” Arti dari perkataan Rasulullah saw. adalah bahwa Abu Dzar akan tetap menjadi Abu Dzar yang dikenal sederhana, zuhud, dan setia kepada Islam.

Abu Dzar wafat pada tahun 652 M, di al-Rabadha, di padang pasir sebelah timur Madinah. Beliau dikenang karena kesalehannya yang ketat dan juga penentangannya terhadap Muawiyah selama kekhalifahan Utsman bin Affan. 

Pelajaran berharga bagi kita saat ini adalah kelemahan dan kekurangan diri jangan menyurutkan semangat untuk taat terhadap syariat. Hal ini bisa dibuktikan oleh sahabat Rasulullah saw., Abu Dzar al-Ghifari, sosok yang kuat sekalipun mengetahui dirinya lemah tetapi tidak pernah menyerah mendakwahkan Islam kafah. Wallahualam bissawab.[]




Posting Komentar

0 Komentar