Menyoal Kabinet Gemuk Besutan Prabowo




Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany) 


#TelaahUtama — Baru saja Presiden Prabowo Subianto melantik jajaran menteri dan wakil menteri pada Senin (21/10). Dalam Kabinet Merah Putih yang diusung Prabowo, terdapat 48 menteri dan 56 wakil menteri. Kabinet tersebut diklaim sebagai kabinet paling gemuk sejak Orde Baru hingga Reformasi. 

Proporsi ‘gemuk’ Kabinet Merah Putih pun mendapat tanggapan dari beberapa kalangan. Prabowo sendiri menyebutkan besarnya kabinet dalam pemerintahannya adalah hal yang ‘lumrah’, mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan berpopulasi besar. Beberapa pakar juga menyebut kondisi perekonomian Indonesia memang masih membutuhkan banyak peran negara, maka jumlah kementerian yang dibutuhkan pun semakin banyak. Di sisi lain, tidak sedikit pakar yang justru ragu akan efektifitas kerja kabinet baru. Beberapa di antara mereka yang kontra bahkan memprediksi kabinet tersebut akan lumpuh dalam waktu 2 tahun. 

Kabinet ‘gendut’ dalam sistem pemerintahan Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejarah mencatat di penghujung masa kekuasaan Soekarno, ia pernah membentuk Kabinet Dwikora II pada tahun 1966 yang lebih dikenal dengan nama Kabinet 100 Menteri. Kabinet yang dibentuk Soekarno di tengah suasana kacau pasca-Gerakan 30 September 1965 itu terdiri dari 132 pejabat menteri dan pembantu presiden setingkat menteri. Program utama dari Kabinet Dwikora II ialah pemenuhan sandang, pangan, konfrontasi dengan Malaysia, dan melanjutkan pembangunan. Namun, kinerja kabinet tersebut dianggap tidak memuaskan dan hanya berlangsung selama 35 hari, yaitu dari 24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966. Kabinet gemuk ini pula yang menjadi prolog lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang kemudian menggulingkan kekuasaan Presiden ke-1 RI. 

Jika kita telaah, pemilihan jajaran kabinet baru sangat dominan politik transaksional ‘bagi-bagi kue’. Hal ini karena Prabowo-Gibran memang diusung oleh koalisi super gemuk, yakni Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus), dengan akumulasi suara 14 partai di atas 80%. Maka, tidak mengherankan politik balas budi sangat kental terjadi di Kabinet Merah Putih. Prabowo yang memilih untuk ‘merangkul’ banyak pihak guna meminimalkan oposisi atas prioritas-prioritasnya, harus membayar keputusannya dengan menjadikan kabinetnya berisikan orang-orang partai pendukungnya. 

Kabinet gemuk besutan Prabowo Subianto sejatinya berpotensi mengalami banyak masalah. Masalah pertama yang akan dihadapi kabinet ‘berbadan besar’ tentunya adalah masalah institusional. Kita melihat dalam Kabinet Merah Putih, Prabowo memecah 9 kementerian pada pemerintahan sebelumnya menjadi 21 kementerian baru. Ia juga membentuk tujuh kementerian koordinator, yaitu bidang politik dan keamanan, hukum dan HAM, imigrasi dan pemasyarakatan, perekonomian, pembangunan manusia dan kebudayaan, infrastruktur dan pembangunan kewilayahan, dan pemberdayaan masyarakat serta pangan. Suburnya kementrian yang beberapa di antaranya tampak tumpang tindih dapat menimbulkan inkonsistensi dan memicu konflik antarlembaga. Kondisi ini kemudian berisiko mengalami policy drift atau penyimpangan kebijakan. 

Permasalahan kedua dalam kabinet gendut adalah perlambatan kerja pemerintah. Tak dipungkiri secara logika ‘orang gemuk’ hampir dipastikan gerakannya lamban. Ia akan sulit adu cepat dengan yang lebih ramping. Sehingga bisa dikatakan kabinet super gemuk yang dijalankan Prabowo-Gibran akan melambat selama satu hingga dua tahun ke depan. Koordinasi antarlembaga pun akan menjadi kian rumit, pada akhirnya membuat birokrasi dalam pemerintahan makin sulit dan berliku. 

Peliknya birokrasi akan sangat terasa terutama pada kementrian yang mengalami pemisahan. Sebagai contoh Kementerian Koperasi dan Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang saat ini sudah menjadi dua kementerian terpisah. Pemisahan dua lembaga tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang bagaimana sepatutnya kedua lembaga berkoordinasi. Selama ini dua kementrian tersebut berada dalam satu naungan. 

Permasalahan lain yang tak kalah pelik adalah masalah pembengkakan anggaran negara. Penambahan anggaran negara dalam kabinet super besar hampir dipastikan tidak terelakkan karena adanya penambahan kebutuhan untuk belanja pejabat dan pegawai di kementerian baru ataupun kementerian yang dipecah. Berdasarkan analisis Celios, dari seluruh pengeluaran untuk kabinet gemuk ala Prabowo-Gibran berpotensi menimbulkan pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun selama 5 tahun ke depan. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru (batampost.co.id, 18/10/2024). Padahal, kondisi perekonomian negeri ini tengah carut-marut dengan adanya deflasi berbulan-bulan lamanya yang diiringi dengan penurunan daya beli masyarakat. 

Malah, pembentukan lembaga baru atau pemisahan beberapa kementerian dapat menimbulkan implikasi fiskal terhadap anggaran kementerian atau lembaga yang telah ada sebelumnya. Implikasi fiskal dapat terjadi di beberapa kementerian yang dipisahkan seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang  kini dipisahkan menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahaan dan Kawasan Permukiman (PKP). Dalam konteks ini, implikasi fiskal setelah pemisahan Kementerian PUPR bisa terjadi karena munculnya Kementerian PKP membuat kebutuhan anggaran Kementerian PKP tidak hanya sebatas untuk perumahan rakyat seperti sebelumnya, melainkan meluas ke sektor perumahan secara universal. 

Kabinet gemuk juga berimplikasi pada banyak hal. Implikasi pertama adalah perebutan akses kepada program strategis di jajaran pemerintahan. Kita melihat sebagian dari menteri dan wakil menteri adalah elite partai politik, yang artinya kondisi tersebut berpotensi mendatangkan kompetisi internal terutama menjelang Pemilu 2029. Maka jangan heran kondisi semacam ini membuat tiap-tiap elite politik akan saling sikut dan berebut pengaruh guna menaikkan porsi kekuasaan dalam kabinet baru. 

Implikasi lain dari kabinet super besar adalah minimnya figur profesional. Penuhnya kabinet oleh utusan partai atau relawan pendukungnya memang sejalan dengan politik balas budi dalam demokrasi. Walhasil, rezim yang baru berkuasa saat ini realitasnya lebih memilih untuk memperkecil ruang oposisi dan mengesampingkan kalangan profesional yang kompeten di bidangnya. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang akan ‘ditelurkan’ di masa depan akan lebih berpihak pada kepentingan kelompok ataupun partai. 

Kabinet gendut Prabowo-Gibran juga sangat rentan tersandera kepentingan bisnis. Daftar menteri yang telah dilantik oleh Prabowo tidak sedikit yang berlatar belakang hingga terafiliasi dengan pebisnis. Hal ini tentu berpotensi kuat menimbulkan konflik kepentingan pada setiap pengambilan kebijakan, bahkan lebih jauh bisa membuka celah korupsi lebih lebar. Tidak dapat dipungkiri memang, politik balas budi yang dipraktikkan kabinet Prabowo tidak hanya berlaku untuk jajaran elite politik pendukungnya tetapi juga para cuan yang telah ‘berjasa’ memuluskan kemenangannya menjadi orang no. 1 negeri ini. 

Selain itu, gemuknya komposisi kabinet berpotensi direspons Dewan Perwakilan Rakyat dengan meminta tambahan jumlah kursi. Saat ini, jumlah kursi DPR sudah bertambah menjadi 580. Dengan kondisi kabinet yang ‘membengkak’ akan serta-merta memotivasi DPR untuk menambah jumlah anggota. 

Dari sini kita dapat melihat bagaimana politik balas budi yang dipertontonkan dalam sistem demokrasi benar-benar menimbulkan banyak masalah. Namun apa mau dikata, sistem politik demokrasi yang diemban negeri ini tidak akan pernah bisa dipisahkan dari politik transaksional yang menjadi spirit demokrasi. Ongkos politik demokrasi begitu mahal hingga membuat praktik politik menjadi sangat transaksional. Suara dukungan rakyat pun menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Pada akhirnya, visi misi ‘perjuangan’ berubah sesuai dengan kepentingan partai dan cuan. 

Tidak hanya itu, kekuatan koalisi dibutuhkan rezim yang baru berkuasa untuk meraih kekuasaan politik mutlak yang lebih besar serta mendapatkan dukungan yang lebih luas. Dalam kasus Kabinet Merah Putih, jajaran kabinet tidak hanya berisikan orang-orang dari partai pengusung tetapi juga partai-partai nonkoalisi yang ramai-ramai merapat ke pusaran kekuasaan di detik-detik terakhir penobatan Prabowo sebagai presiden. Partai-partai nonkoalisi yang merapat tidak terkecuali partai-partai yang bahkan berseberangan ‘ideologi’ dengan kepemimpinan Prabowo. Dengan dalih rekonsiliasi dan perdamaian, para elite politik yang telah mendapat jatah kursi bersegera menanggalkan ideologi ‘perjuangan’ mereka demi memperebutkan ‘jatah kue’. 

Politik transaksional dalam kabinet baru juga sangat kental kepentingan bisnis para pemilik modal. Politik demokrasi yang begitu mahal, menjadikan para elite politik membutuhkan biaya besar untuk ikut berpartisipasi dalam kontestasi politik termasuk biaya iklan pencitraan. Maka, tidak mengherankan jika beberapa kebijakan ‘super boros’ di era Jokowi seperti proyek IKN (Ibu Kota Negara) dan kereta cepat akan tetap dipertahankan di masa kepemimpinan Prabowo. 

Dengan kentalnya politik ‘bagi-bagi kue’ dalam demokrasi, mungkinkah kesejahteraan rakyat terealisasi? Politik balas budi ala demokrasi sejatinya menjadikan kepentingan rakyat di bawah kepentingan oligarki dan para pemilik modal. Hal ini karena sesungguhnya suara rakyat hanya dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan, tidak lebih. Kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan penguasa bisa dipastikan tidak akan terlepas dari kepentingan partai dan cuan. Dengan demikian, apa umat patut berharap kesejahteraan bisa diraih dengan penerapan sistem demokrasi? Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar