Minimnya Serapan Anggaran BTT: Rakyat Dirugikan, Siapa yang Diuntungkan?



#Bogor — Kota Bogor dikenal sebagai Kota Hujan karena curah hujannya yang tinggi sepanjang musim hujan. Karena faktor inilah, kota ini rawan mengalami bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan pohon tumbang. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor mencatat sepanjang bulan Januari hingga Juli 2024 telah terjadi bencana alam sebanyak 430 kasus. Memasuki bulan Oktober 2024 di Kota Bogor terjadi 85 kejadian bencana yang mengakibatkan 72 rumah terdampak akibat bencana tersebut.

Wakil Ketua DPRD Kota Bogor, M. Rusli Prihatevy menyoroti minimnya serapan anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) dalam penanggulangan bencana oleh Pemerintah Kota Bogor. Sementara angka bencana yang terjadi cukup tinggi dan berdampak pada kerusakan infrastruktur. Anggaran BTT untuk bencana baru terserap 0,33 persen dari total pagu anggaran sebanyak Rp92,11 miliar. Rusli juga menekankan pentingnya penyaluran BTT untuk para korban bencana, untuk memastikan tidak ada bencana susulan di lokasi dan memaksimalkan serapan anggaran agar tidak terjadi SILPA dan mempercepat perbaikan infrastruktur untuk menghindari penundaan hingga tahun depan. (detiknews, 17/10/2024)

Kota Bogor sebagai Kota Hujan yang rawan bencana memerlukan mitigasi penanganan bencana yang tepat dan cepat. Sudah ada anggaran BTT yang dialokasikan untuk menangani bencana, namun sayangnya dana yang begitu besar ternyata hanya sedikit yang dikeluarkan sebagai anggaran BTT. Pihak Pemkot Bogor belum memberi keterangan tentang hal ini. Apakah masih dalam perhitungan jumlah bantuan yang akan diberikan (karena ketentuan bantuan yang diberikan sesuai kerusakan yang dialami), atau menunggu hingga akhir tahun sehingga tidak terjadi kekurangan anggaran. Fakta rendahnya serapan anggaran untuk bencana, menunjukkan betapa buruknya kinerja pemerintah dalam mengelola anggaran. Anggaran yang seharusnya terealisasi untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat, ternyata tidak terserap dengan optimal. 

Minimnya serapan anggaran bukanlah hal baru yang terjadi di negeri ini. Pasalnya, hal ini menjadi kasus yang terus berulang dan terlihat tidak ada perbaikan sama sekali. Padahal, anggaran tersebut menyangkut hajat hidup rakyat. Anggaran itu sejatiya adalah uang milik negara, bukan milik individu, namun ternyata dikelola oleh pihak-pihak yang tidak amanah. 

Sudah menjadi rahasia umum di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler. Setiap anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan rakyat, kerap kali menjadi lahan korupsi ataupun menjadi peluang penggelembungan dana yang dilakukan oleh oknum pejabat. Pemerintah kerap kali berkeluh kesah terkait APBN dan defisit anggaran karena harus mensubsidi BBM dan listrik, yang pada akhirnya subsidi dari pemerintah harus dikurangi, bahkan dicabut. Nyatanya, pengelolaan anggaranlah yang memang bermasalah.

Wajar apabila hal ini terjadi, sebab sistem kapitalisme-sekuler yang menjadi rujukan berjalannya pemerintahan saat ini. Dengan asas meminggirkan peran agama dalam kehidupan, membuat para oknum pejabat yang diamanahi untuk mengalokasikan anggaran sesuai peruntukannya, justru “dinikmati” oleh segelintir orang tertentu. Ironisnya, anggaran dana setiap tahunnya mengalami peningkatan, tetapi anggaran minim dialokasikan untuk rakyat, dan sisanya diambil oleh oknum pejabat. 

Berapa banyak kasus korupsi dan penggelembungan dana yang katanya untuk infrastruktur, bencana, pendidikan, dan lain sebagainya, dilakoni oleh oknum pejabat. Mereka mengambil uang negara yang notabene uang rakyat hingga miliaran bahkan triliunan rupiah. Namun, negara tidak memberikan hukuman yang memberi efek jera, sehingga kasus-kasus serupa terjadi berulang-ulang.

Berbeda halnya dengan sistem anggaran yang diterapkan dalam Islam (Khilafah). Sistem anggaran bersandar pada ketentuan syariat yang bertumpu pada peran negara sebagai pelayan bagi urusan rakyatnya. Semua kebutuhan anggaran diatur oleh sistem keuangan (APBN Khilafah) dalam institusi yang disebut baitul maal. Negara menjadikan seluruh kebutuhan rakyat sebagai prioritas utama. Negara Khilafah menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan mekanisme sesuai syariat. Khilafah pun menjamin kebutuhan asasi yang bersifat komunal, yakni pendidikan, kesehatan, keamanan. Semua dijamin dan difasilitasi oleh negara, baik dalam keadaan aman maupun keadaan tertimpa bencana alam.

Di dalam Islam, negara adalah raa’in (pengurus/pelayan rakyat) yang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, termasuk saat terjadi bencana. Khilafah akan secara sungguh-sungguh melakukan mitigasi secara disiplin sehingga bisa meminimalkan risiko akibat bencana. Khilafah akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi segera terselesaikannya bencana, meski untuk itu butuh biaya yang besar.

Negara khilafah akan menjamin ketersediaan dana dalam menanggulangi bencana banjir. Negara tidak akan melimpahkan tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, negara akan memenuhinya. Hal ini mudah dilakukan karena khilafah memiliki sumber pemasukan yang beragam, bukan didominasi oleh utang dan pajak sebagaimana terjadi saat ini.

Di dalam baitul maal terdapat pos khusus untuk keperluan bencana alam. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath-Thawaari). Seksi ini memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat/bencana yang menimpa mereka.

Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim secara sukarela. Rakyat tidak perlu khawatir, ketersediaan dana untuk bencana akan terwujud karena dalam Islam tidak ada model APBN seperti dalam sistem hari ini yang bersifat tahunan sehingga kerap kali dana yang ada tidak mencukupi atau tidak terserap secara optimal.

Anggaran yang dikeluarkan dari baitul maal dipastikan sesuai peruntukannya. Ada badan pengawas keuangan yang memastikan terealisasinya anggaran tersebut. Sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi oknum pejabat yang ingin memanipulasi dana anggaran tersebut untuk memperkaya dirinya. Yang terpenting, pejabat-pejabat dalam sistem Khilafah adalah orang-orang yang sangat memahami bahwa jabatannya adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. inilah, mereka menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.

Terbukti selama 1300 tahun Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Khilafah menjadi negara yang paling maju dari segi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Fakta ini membuktikan bahwa dengan Islam, semua persoalan umat manusia akan terselesaikan. Kebalikan dengan penerapan sistem rusak kapitalisme, hanya membawa berbagai persoalan kehidupan yang tak kunjung habis. Wallahualam.[]




Siti Rima Sarinah


Posting Komentar

0 Komentar