Mulianya si Mata Juling dan Muridnya yang Buta



#Tarikh — Dikisahkan di masa generasi tabiin ada seorang tabiin yang ditakdirkan oleh Allah Swt. bermata juling. Kekurangan yang dimilikinya tidak mengurangi dirinya untuk berbuat taat dan menjalankan hukum syarak. Sebaliknya, justru ujian tersebut menambah rasa syukur untuk terhindar dari perbuatan maksiat kepada Allah Swt.. Dialah Ibrahim an-Nakha'i seorang guru yang bijaksana. Dia memiliki seorang murid yang buta tetapi senantiasa takzim kepada gurunya bernama Sulaiman ibnu Mihran. 

Suatu ketika saat keduanya hendak pergi ke masjid. Di tengah perjalanan, mereka diejek oleh orang-orang yang berhati hasad. Orang-orang itu mengejek dengan pandangan sinis terhadap keduanya. "Lihatlah ada orang juling dan orang buta saling menuntun pergi ke masjid.” Reaksi yang dilakukan oleh Ibrahim an-Nakha'i terhadap cemoohan orang-orang yang iseng adalah, “Wahai Sulaiman, bagaimana jika kita tidak usah melewati jalan ini lagi, karena nanti orang-orang itu akan mendapat dosa akibat mencemooh kita.”

Sementara Sang murid menjawab dengan tegas. "Tidak perlu wahai Ibrahim. Kita akan mendapatkan pahala kesabaran sementara mereka mendapatkan dosa atas perkataannya.”

Sekilas perkataan muridnya seperti sudah impas dan berkeadilan. Namun, bagi mereka yang memiliki kemurnian hati yang lurus karena landasan ketakwaan tentu akan berbeda. Begitu pula dengan Ibrahim an-Nakha'i yang menolak. Dia berkata, "Wahai Sulaiman kita bisa sama-sama selamat dari perbuatan dosa dan itu jauh lebih baik daripada kita mendapatkan pahala mereka berdosa.”

Sungguh hal yang sulit ditemukan di masa sekarang tersebab orang akan lebih menyukai berdosa atau celaka. Sementara orang-orang yang hidup di sistem Islam senantiasa mengaitkan antara pemikirannya yang sahih dengan perbuatan atau aktivitasnya. Maka ketika sekecil apa pun perbuatan yang dia perbuat akan diminta pertanggungjawaban termasuk membiarkan orang lain dalam kubangan dosa. 

Inilah yang dilakukan oleh Ibrahim an-Nakha'i yang menginginkan orang lain tidak mengharapkan mendapatkan "kecipratan dosa" akibat membiarkan mereka mengolok-olok dirinya. Hal itu dilakukan karena rasa sayang kepada saudaranya. Inilah perbuatan yang pernah diajarkan Rasulullah saw.. Disebutkan dalam hadis Rasulullah saw. yang artinya, "Tidaklah beriman di antara kalian sampai kalian mencintai saudaranya sendiri seperti kalian mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari nomor 13 dan Muslim: 45)

Al-Qur'an menyebutkan sifat penyayang dan penuh kasih Rasulullah saw. dalam surat At Taubah ayat 128,

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّ مْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaum-mu sendiri, berat dirasakan olehnya penderitamu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Hadis dan dalil inilah yang menguatkan Ibrahim an-Nakha'i untuk sabar dan tetap tidak mengharapkan saudaranya berdosa. Sikap ini seharusnya menjadi motivasi umat di masa sekarang untuk lebih peduli terhadap saudaranya sekalipun hanya sekadar agar tidak "kecipratan dosa". Wallahualam bissawab.



Heni Ummu Faiz


Posting Komentar

0 Komentar