Negara Salah Urus Kekayaan Alam: Rakyat jadi Korban



#Wacana — Wilayah Kalimantan Barat merupakan provinsi penting dalam industri emas dan perak Indonesia, berada di urutan kedua Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbanyak, setelah Sulawesi Tenggara. Kalimantan Barat tercatat memiliki 21 IUP emas dan perak serta terdapat 2 eksplorasi yang dilakukan, berdasarkan data ESDM 2020.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Korwas PPNS) Bareskrim Polri berhasil mengungkap aktivitas penambangan emas illegal di Ketapang, Kalimantan Barat. Penambangan ini dilakukan oleh sekelompok Warga Negara Asing (WNA) asal China, telah menggali lubang sepanjang 1.648,3 meter di bawah tanah. (CNNIndonesia.com, 15/05/2024).

Warga Negara Asing (WNA) asal China berinisial YH yang terlibat penambangan emas illegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Ketapang pada 28 Agustus 2024 lalu. Mengutip detik.com, perbuatan YH membuat negara rugi hingga triliunan rupiah. Angka itu dihitung berdasarkan hilangnya cadangan emas akibat penambangan ilegal.

Dalam persidangan terungkap emas yang berhasil digasak YH melalui aktivitas penambangan illegal yang dilakukannya di Ketapang sebanyak 774,27 kg. Tak hanya emas, ia juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi tersebut sebesar  937,7 kg. Akibatnya, Indonesia rugi Rp1,2 triliun imbas aktivitas tersebut. (CNNIndonesia.com, 27/09/2024). 

Pada kesempatan yang sama, Sunindyo Suryo mengungkapkan modus yang digunakan oleh YH dalam melakukan aksinya adalah dengan memanfaatkan lubang tambang atau tunnel pada wilayah tambang yang berizin. Lubang tersebut seharusnya digunakan untuk pemeliharaan bukan untuk penambangan secara ilegal.


Akibat Salah Urus Kekayaan Alam

Fenomena penambangan ilegal yang terjadi di Ketapang Kalimantan Barat tersebut adalah salah satu dari sekian banyak kasus tambang “ilegal” yang terjadi di negeri ini. Lubang tambang atau tunnel pada wilayah tambang yang berizin pun begitu mudahnya digasak oleh warga negara asing. Tidak tanggung-tanggung kerugian yang ditimbulkan mencapai triliunan rupiah. Nilai kerugian negara sangat fantastis. Lalu benarkah ini semata-mata ulah YH ataukah karena negara gagal mengurus kekayaan alam?

Bukti bahwa pengurusan kekayaan alam gagal oleh negara—terjadinya banyak musibah—seperti longsor dilokasi penambangan yang memakan korban jiwa hingga hilangnya emas karena di tambang oknum tertentu. Hal ini menunjukkan adanya karut-marut dalam pengelolaan SDA.

Sistem tata kelola tambang korup juga salah satu penyebab timbulnya kerugian. KPK menemukan bahwa sekitar 11.000 izin tambang di Indonesia, 3.772 di antaranya bermasalah dan diduga melibatkan korupsi kepala daerah pemberi izin. (Kompas.com, 31/3/2024)

Penyebutan ilegal pada banyak kasus tambang tersebut, ibarat cuci tangan pemerintah atas persoalan pengurusan SDA yang salah. Berulangnya kasus tambang ilegal juga menunjukkan tidak berfungsinya hukum. Banyak pihak yang meminta pemerintah untuk berhenti melakukan obral penjualan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas, organisasi keagamaan, dan pensiunan tentara. Tidak menutup kemungkinan hal itu bisa menambah kerusakan lingkungan, karena pengelolaannya diserahkan kepada pihak yang bukan ahlinya. 

Kerusakan  lingkungan, deforestasi, pencemaran air, dan degradasi lahan adalah akibat penambangan yang tidak terkontrol, sehingga membahayakan ekosistem dan komunitas lokal. Sekalipun di kelola oleh perusahaan berpengalaman, menurut Jamil, selaku Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang, pertambangan batubara dan mineral kerap menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan sosial. Dia sangat pesimistis terhadap ormas seperti NU bisa mengelola bisnis pertambangan yang sangat kompleks. (Alinea.id, 05/02/2024)

Penanganan tambang memerlukan pengetahuan khusus dalam geologi, teknik pertambangan, lingkungan, dan keselamatan kerja. Hal itu tentu harus disesuaikan dengan ketentuan yang benar. Sebaliknya, jika dikelola oleh pihak-pihak ormas atau pemilik modal yang tidak memiliki keahlian tambang, maka negara dalam hal ini salah urus kekayaan alam karena  berbahaya dan rakyat pasti jadi korbannya. 

Fenomena pengelolaan tambang yang salah hingga merugikan negara seolah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di negara yang berideologi kapitalisme. Klaim “ilegal” seakan dianggap ampuh membungkam protes pada masalah besar lainnya. Terbukti pemberian izin tambang kepada ormas tidak diatur seketat perusahaan tambang profesional. Pada prinsipnya, pengelolaannya harus dikembalikan kepada negara. Alhasil, rakyat menjadi korban. Selain tidak diberikan hak menikmati hasil tambang, juga menjadi korban longsor di lokasi penambangan. Di sisi lain, para oligarki bisa dengan mudah mengelola dan menikmati hasil tambang tanpa kesulitan karena IUP dari pemerintah jadi jaminan.

Akibat bergesernya pengelolaan sumber daya alam oleh negara kepada swasta seperti yang selama ini terjadi, rakyat makin menderita dan berdampak pada kehidupan yang tidak stabil. Kebijakan distribusi hasil tambang masih ada ketimpangan, tidak secara adil diberlakukan terhadap rakyat. Tetap saja akan lebih condong pada kepentingan swasta dan asing. Jelas, semua itu menunjukkan pentingnya kembali pada pengelolaan manajemen negara (state based management) yang benar. Hanya melalui pengelolaan oleh negara saja, hasil pengelolaan SDA bisa dipastikan rakyat akan menikmatinya. Penambangan dengan arahan pemerintah dengan melibatkan rakyat.


Solusi Islam 

Negara seharusnya memiliki Big Data kekayaan atau potensi alam di wilayah tanah air sekaligus juga memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Negara memiliki kewaspadaan yang tinggi atas pihak asing dan pihak lainnya yang berniat merugikan Indonesia. Negara juga memiliki pengaturan atas tambang baik besar maupun kecil sesuai dengan sistem Islam. Pemerintah seharusnya mewakili rakyat mengelola SDA, bukan hanya menjadi pengatur tapi juga pelaksana.

Faktanya hari ini, pemerintah lebih banyak tunduk kepada kepentingan swasta, sehingga ketika terjadi masalah seperti terjadi longsor di lokasi penambangan atau masalah penambangan lain seperti kerusakan alam, pemerintah kehabisan solusi. 

Prinsipnya, dalam syariat Islam harusnya pemerintah sepenuhnya memegang kendali dalam pengelolaan SDA karena kekayaan alam adalah milik rakyat sedangkan swasta hanyalah pelaksana pekerjaan.

Problem pertambangan yang sudah sedemikian kompleksnya merusak dan rakyat yang jadi korban ketidakadilan, seharusnya negara segera beranjak untuk sadar memilih pengelolaan yang benar dan menolak sistem yang rusak. Memilih undang-undang yang sumbernya datang dari Sang Pembuat Hukum yang tidak memiliki sedikitpun kepentingan selain untuk kesejahteraan manusia, yakni Allah Swt..

Pengelolaan dengan syariat Islam penting agar mendapatkan distribusi yang adil dari hasil alam untuk rakyat, tidak seperti yang terjadi sekarang, yang banyak menikmati hanyalah segelintir orang saja. Dalam pandangan Islam, milkiyyah ammah adalah kepemilikan umum. Setiap tambang yang melimpah atau menguasai hajat hidup masyarakat haram dimiliki oleh pribadi atau swasta apalagi pihak asing. Negarapun hanya berkewajiban dalam mengelolanya bukan mengklaim milik negara. 

Sebagaimana hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Ibnu al-Mutawakkil bin Abd al-Madn dari Abyadl bin Hammal r.a., bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta agar diberi tambang garam. Ibnu al-Mutawakkil berkata, yakni yang ada di Ma’rib lalu Rasulullah memberikan tambang itu kepada Abbyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, "Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus menerus mengalir. Lalu Beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hammal).” ( HARI. Abu Daud, At- Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban)

Hadis tersebut memberikan isyarat bahwa tambang yang hasilnya melimpah tidak boleh dimiliki oleh individu, tetapi harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat dan diwariskan untuk generasi berikutnya.

Jika tidak taat pada aturan syariat dalam pengelolaan kekayaan alam, maka jangan salahkan siapa pun kalau terjadi kerusakan sistemik. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, "Dzhaharal fasaadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin-naasi liyudziiqohum ba’dal-ladzii ‘aamilu la’allahum yarji’uun.” Artinya, ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar manusia merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS ar-Rum: 41)

Ayat tersebut memberikan peringatan tentang al-fasd akan mendatangkan bencana, sehingga harus segera kembali ke ajaran Nabi saw. yaitu syariat Islam yang mampu memberikan solusi tuntas bagi setiap problematika manusia, baik kecil maupun besar. Menjadikan undang-undang yang datangnya dari Allah Swt. sebagai sumber hukum dan aturan yang hakiki. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar