Penambahan Kementerian Hanya untuk Memakmurkan Kepentingan Para Elite

 


Fadia Nur Baiti 

(Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta) 


#Wacana — Probowo Subianto sebagai presiden terpilih periode tahun 2024-2029 berencana menambah jumlah kementerian. Penambahan menteri direncanakan diduga hanya untuk memenuhi tuntutan dari partai politik yang meminta kursi kekuasaan. Rencana tersebut pun harus ditinjau kembali dengan mempertimbangkan tingkat urgensinya. Hal ini akan memperparah situasi serta tidak efektif dan efisien.

Perencanaan penambahan kementerian pun sepertinya akan terwujud dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang telah disepakati dalam waktu 8 jam pada Senin, 9 September 2024. Bahwasanya, presiden berwenang menetapkan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan. Dengan adanya revisi undang-undang yang berlangsung cepat ini, menunjukkan kesan pemaksaaan dan sarat kepentingan pihak tertentu.

Sebenarnya, terlalu banyak kementerian dapat membingungkan masyarakat karena masing-masing menteri mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan apa yang ingin mereka kendalikan. Kebijakan penambahan kementerian juga berpotensi adanya duplikasi peraturan, peningkatan anggaran, serta kesempatan baru untuk melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Seharusnya, pemimpin diisi oleh orang-orang profesional dan berintergritas, bukan Yang membawa kepentingan politik untuk memakmurkan kepentingan para elite. Terlebih lagi, banyak urusan rakyat yang harus diselesaikan—warisan—dari kebijakan sembrono kepemimpinan sebelumnya, bukan justru bagi-bagi kue kekuasaan. Praktik pembagian kue kekuasaan ini niscaya terjadi karena sistem demokrasi, mau tidak mau, itu adalah bagian hitam untuk memperoleh kursi kekuasaan.

Sistem demokrasi saat ini merupakan sistem yang rusak, tidak tersolusikan, dan tidak selaras dengan masyarakat. Sejatinya karena demokrasi bukan dari Allah Sang Mudabbir. Mindset dalam sistem ini pun memberikan manusia ruang kebebasan tanpa batas hingga melahirkan pemimpin zalim yang membuat aturan untuk memuluskan kepentingan diri sendiri. Tidak dipungkiri pula, bahwasanya dalam pencalonan presiden membutuhkan dana yang sangat besar dan membuka modal kampanye termasuk dari para oligarki.

Ketika para penguasa terpilih, hal yang pertama kali dipikirkan adalah mengembalikan modal kampanye dan memperoleh keuntungan sampai akhir kekuasaan. Kebijakan apa pun tidak akan mengubah kondisi dalam negeri ini, karena masih didasarkan pada sistem politik demokrasi. Maka dari itu, mustahil penguasa memikirkan apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggung jawab urusan rakyat.

Sungguh, kekuasaan yang bertujuan untuk melayani rakyat hanya bisa diwujudkan dalam Khilafah Islamiyah. Pemimpin berkewajiban mengatur urusan rakyat dengan melakukan ar-ri’ayah yaitu menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia, dan negara. Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Dalam Khilafah, kekuasaan ada di tangan umat dan kedaulatan ada di tangan syariat.

Imam Nawawi berkata, “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang mudah untuk dikumpulkan.Ahlul Halli wal ‘Aqdi merupakan orang yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, pandangan, dan pengaturan di dalam sebuah negeri, dengan syarat yaitu adil, berilmu, dan memiliki pendapat yang arif serta mampu mengurusi kemaslahatan umat. 

Melalui ketentuan tersebut, wakil umat atau penguasa yang terpilih bukan hanya penguasa yang ingin melaksanakan kehendak hukum manusia saja, melainkan untuk menjalankan hukum Allah Swt., sehingga hal ini membawa kemaslahatan bagi manusia karena berjalan di atas koridor syariat.[]


Posting Komentar

0 Komentar