Rusydah Ru’yah, S.P.
(Aktivis Dakwah)
#Wacana — Kewajiban kerja paruh waktu yang dibebankan kepada mahasiswa penerima beasiswa Uang Kuliah Tunggal (UKT) Institut Teknologi Bandung (ITB) menuai kontroversi. ITB menyatakan kerja paruh waktu ini merupakan timbal balik dari bantuan beasiswa yang telah diberikan oleh pihak kampus. Dalam dokumen "Konsep Beasiswa Bekerja" yang dikeluarkan oleh Kantor Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, tertulis bahwa Beasiswa UKT ITB menggunakan ‘prinsip kesetaraan’. Berdasarkan prinsip kesetaraan ini, ITB dan penerima beasiswa dilihat sebagai dua pihak yang saling memberi dan menerima. Selain itu, penerima beasiswa akan diperlakukan sebagai rekan kerja dengan diberikan kesempatan berkontribusi kepada ITB. (tempo.co, 26/09/2024)
Kebijakan ini tentu mendapat protes dari kalangan mahasiswa ITB. Mereka berunjuk rasa selama tiga hari berturut-turut hingga Kamis (26/09), menuntut kebijakan kewajiban kerja paruh waktu bagi penerima keringanan UKT dicabut karena dianggap ada unsur pemaksaan dan dianggap sebagai bentuk imbalan dari keringanan UKT. Sekitar 170 orang Mahasiswa ITB melakukan konvoi dari Kampus ITB di Jalan Ganesa Kota Bandung ke Gedung Annex, Jalan Taman Sari Kota Bandung, sambil membawa spanduk yang bertuliskan kritik atas kebijakan kerja paruh waktu tersebut. Poster-poster itu bertuliskan “Institut Ternak Budak”; “Kerja Rodi di Kampus Reini” yang merujuk pada nama Rektor ITB Reini Wirahadikusumah, (bbc.com, 29/09/2024)
Walaupun pada akhirnya kebijakan tersebut direvisi oleh ITB—tidak diwajibkan tapi sukarela—tetap saja menunjukkan ketidakmampuan negara menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang terjadi di ITB ini hanyalah salah satu dari sekian contoh gambaran sistem pendidikan Indonesia hari ini. Untuk sekedar minta keringanan UKT saja, mahasiswa masih dibebankan pada sesuatu yang bukan kewajibannya.
Hari ini, pendidikan tinggi masih dianggap sebagai sesuatu yang langka bagi sebagian masyarakat karena biaya kuliah menempuh pendidikan tingkat S1 saja makin mahal. Bagi masyarakat yang ekonominya pas-pasan, mereka harus berpuas diri menempuh jenjang SMA/ SMK saja. Kalaulah ingin kuliah gratis atau mendapatkan keringanan UKT, juga bukan perkara mudah. Selain kemampuan akademik yang mumpuni, siswa yang ingin kuliah S1 gratis melalui bantuan/beasiswa harus melalui persyaratan dan administrasi yang tidak mudah. Ini baru berbicara kuantitas, belum kualitas pendidikannya.
Menurut Edi Subchan, salah satu dosen PTN di semarang, mahalnya biaya masuk pendidikan tinggi di Indonesia tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang terus mendorong Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus (sebagai) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kebijakan PTN-BH dilegitimasi oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sebagai turunannya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 88 Tahun 2014 tentang perubahan PTN menjadi PTN-BH yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud No. 4 Tahun 2020.
Beliau menambahkan, Konsekuensi logis dari perubahan status tersebut adalah bertambahnya beban PTN untuk menggalang dana sendiri. Meskipun syarat menjadi PTN-BH dilihat dari kemampuan menggalang dana selain dari mahasiswa, praktik di lapangannya berbeda. Sebagian besar PTN-BH terbukti tidak dapat menutup kebutuhan operasional, apalagi mengembangkan kampus, hanya berdasarkan subsidi pemerintah yang makin terbatas atau bahkan berkurang. Alhasil, hal paling mudah adalah menaikkan UKT dan IPI. (Theconversation.com, 31/05/2024)
Itu baru dari sisi biaya pendidikan, belum dari sisi kualitas pendidikannya. Kurikulum pendidikan di Indonesia berkali-kali mengalami perubahan. Kabinet berubah, kurikulum pun ikut berubah. Saat ini, Indonesia menerapkan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Merdeka Belajar diluncurkan pada Desember 2019 dan Kampus Merdeka pada Januari 2020.
Keberadaan MBKM dianggap sebagai katalis perwujudan pendidikan tinggi kapitalisasi World Class University (WCU) dalam episode-2: Kampus Merdeka (Merdeka Belajar: Kampus Merdeka) memuat arahan bagi empat program, salah satu programnya adalah PTN-BH tidak lagi jadi persyaratan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk memiliki hak otonom pembukaan program studi baru, melainkan cukup dengan terakreditasi A dan B asalkan bekerja sama dengan institusi kapitalis kuat berupa perusahaan multinasional terdaftar Fortune 500, seperti Royal Dutch Shella, Google, dan Tokopedia (di samping organisasi multilateral PBB dan organisasi nirlaba kelas dunia seperti USAID).
Selain itu, dinyatakan bahwa PTN dan PTS diberi otonomi untuk membuka prodi baru jika perguruan tinggi tersebut memiliki akreditasi A dan B. Prodi dapat diajukan jika ada kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas Top 100 ranking QS. Kerja sama dengan organisasi mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja, dan penempatan kerja. Kementerian akan bekerja sama dengan PT dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan. Prodi baru tersebut otomatis akan mendapatkan akreditasi C dari BAN-PT. (ditpsd.kemendikbud.go.id)
Kebijakan ini sejalan dengan arahan global yang diaruskan oleh UNESCO (The United Nations Educational Social Culture Organization). UNESCO mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul “Transforming Education to Transform Our World by 2030”. Dalam dokumen tersebut disampaikan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia dengan kekuatan besar untuk melakukan transformasi yang landasannya adalah kebebasan, demokrasi, dan pembangunan manusia berkelanjutan. (press.un.org, 04/02/22).
Semakin jelas bahwa kurikulum pendidikan Indonesia hari ini mengarah pada sekularisme. MBKM sejatinya dirancang bagi percepatan keberhasilan transformasi pendidikan sekuler. MBKM adalah agenda hegemoni kapitalisme untuk menancapkan tsaqofah Barat pada benak generasi muslim negeri ini. Kondisi ini menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi-kapitalisme yang asasnya adalah sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan, memang sifatnya rusak dan merusak.
Dalam sistem demokrasi, negara berperan sebagai regulator, sebatas membuat hukum sementara pelaksanaannya diserahkan kepada individu atau swasta yang standar perbuatannya diukur dengan materi. Pendidikan menjadi komoditas bisnis dan diperjualbelikan. Pendidikan yang telah dijauhkan dari agama serta dibisniskan ala kapitalis jelas tidak akan pernah mampu membangun, memajukan, dan meningkatkan martabat kehidupan masyarakat. Malahan yang terjadi sistem pendidikan menjadi lahan keuntungan bagi bisnis.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan. Penerapannya mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan gratis. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam, menguatkan pola pikir dan pola sikap berstandarkan pada akidah Islam. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, maka negara harus membuat kurikulum yang terstruktur mampu mengembangkan metode pemikiran, pemikiran analisis, dan hasrat pada pengetahuan untuk meraih pahala dan keridaan Allah Swt.. Kurikulum dalam Islam dibuat berasaskan pada akidah Islam.
Kurikulum Islam dibuat terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum ini dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik. Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.” Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya Al-Qur'an, kemudian hapalkan kepadanya Al-Qur'an.”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahamkan cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Terkait pembiayaan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Seluruh pembiayaan pendidikan diambil dari Baitulmaal, dari pos fai’ dan kharaj serta pos kepemilikan umum.
Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab r.a. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar (setara Rp89 juta jika diasumsikan harga 1 gram emas sebesar Rp1.400.000) setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitulmaal.
Semua itu akan bisa terlaksana secara optimal ketika negara menerapkan sistem Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Penguasa (khalifah) akan menerapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun pemerintahannya. Ketika kita kembali kepada sistem Islam, sistem yang langsung berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt., maka generasi yang berkualitas pun akan bisa terwujud dalam sebuah peradaban yang gemilang. Wallahu’alam bishowab.
0 Komentar