#Sirah — Tercatat seorang ulama hebat, zuhud, dan wara yang rela mengorbankan segala sesuatu untuk menimba Ilmu dari para guru yang luar biasa. Dialah Hatim Muhammad bin Idris Ar-Razi. Beliau lahir tahun 195 H dan wafat pada 277 H. Dikutip dari buku Kumpulan Kisah Teladan karya M. Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Thaib, ketika Abu Hatim Ar-Razi berada di Basrah pada 214 H, ia berencana menetap di kota (Basrala).
Kegigihan beliau dalam mencari ilmu patut diacungi jempol. Segala rintangan yang menghalangi untuk terwujudnya sebuah impian diupayakan sekuat tenaga agar bisa dilalui. Memegang hadis Nabi saw.,“Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap individu muslim.” Hadis ini terngiang-ngiang siang dan malam dalam benak ulama zuhud ini, maka pelbagai cara dilakukan selama tidak melanggar hukum syarak agar beliau mampu meraih ilmu.
Suatu ketika, beliau kehabisan perbekalan karena saking banyaknya tempat yang dikunjungi untuk berguru pada ulama-ulama salih. Baju-bajunya sebagai benda terakhir terpaksa dijual agar tetap bisa menimba ilmu. Mungkin bagi sebagian kita hari ini akan merasa aneh karena begitu semangatnya dan pengorbanan yang luar biasa. Bahwasanya dalam sistem kehidupan saat ini, niat mencari ilmu adalah untuk mengejar materi bagi kebanyakan orang, bukan karena Allah—dengan niat—untuk menghilangkan kebodohan agar bisa taat.
Sangat berbeda dengan orang-orang yang hidup di masa Islam, mencari ilmu itu suatu keharusan dan harus diperjuangkan. Termasuk Abu Hatim bersama teman karibnya berkeliling mencari ilmu untuk bertemu syekh dan berguru kepadanya. Abu Hatim menuturkan bahwa ketika pulang dari menuntut ilmu hanya meminum air putih saja untuk menghilangkan rasa lapar. Hal tersebut sering ia lakukan karena memang di rumahnya sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ia lakukan tanpa sepengetahuan teman karibnya. Beliau tahan rasa lapar tersebut selama beberapa hari.
Suatu ketika teman karibnya datang untuk mengajaknya kembali mencari ilmu, Abu Hatim tak bisa menyembunyikan rasa laparnya hingga mengakibatkan sakit. Saat diajak ia pun menolak karena kondisi kesehatannya. Kemudian temannya pun bertanya apa yang membuatnya sakit. Abu Hatim menceritakan kondisinya dan temannya tercengang karena selama ini berpikir tidak ada masalah apa-apa. Hingga akhirnya temannya menawarkan uang yang dimilikinya. Teman karibnya mengatakan bahwa dia akan memberikan setengah dinar untuk dipergunakan membayar sewa dari uang yang dia miliki sebanyak satu dinar. Setelah itu mereka pun pergi ke kota Basrah.
Sebuah persahabatan luar biasa yang diikat oleh akidah yang kokoh. Rela mengorbankan apa pun demi sahabat karibnya dalam menuju ketaatan. Tidak peduli uang ataupun harta habis yang penting ilmu bisa didapatkan. Maka tidaklah heran bertebaran orang-orang berilmu di masa Islam yang bersungguh-sungguh dalam belajar sekalipun kondisi serba terbatas. Prinsip "man jadda wa jadda" atau “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil".
Usaha keras dalam menimba Ilmu patut kita contoh dari kisah Abu Hatim. Beliau pun telah menorehkan tinta emas sebagai ulama ahli hadis di masanya. Lantas bagaimana kita dengan fasilitas serba ada? Mengapa justru lebih banyak berleha-leha dan cenderung menyepelekan ilmu terlebih tsaqafah Islam. Jawaban ada pada diri kita. Wallahualam bissawab.
Heni Ummu Faiz
0 Komentar