Anggun Permatasari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#TelaahUtama — Di tengah kehidupan yang kian karut-marut, publik digemparkan kasus pelecahan anak yatim piatu. Mirisnya, predator anak merupakan ketua yayasan dan pengasuh anak. Dilansir dari laman kompas.com (8/10/2024), sebanyak 18 anak di Panti Asuhan Darussalam An-Nur di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, diduga mengalami kekerasan seksual oleh pengurus dan pemilik panti asuhan. Komisaris Aryono, selaku Kepala Humas Polres Metro Tangerang menyampaikan bahwa saat ini polisi telah menetapkan tiga tersangka, yakni pemilik yayasan panti asuhan berinisial S (49), pengurus yayasan berinisial YB (30), dan Y.
Parahnya, setelah dilakukan peninjauan oleh pihak berwajib, korban mencapai 40 orang. Banyak orang tua yang menitipkan anaknya di yayasan yang berdiri sejak tahun 2006 silam ini. Selain untuk diasuh, juga untuk dididik. Sayangnya, yayasan ini tidak amanah dan dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin. Kelalaian dan pembiaran masyarakat serta lemahnya pengawasan pemerintah diduga membuat kekerasan seksual bisa terus berlangsung di sana selama setidaknya 18 tahun.
Kejadian tersebut sungguh memilukan. Di saat pemerintah mencanangkan program “Indonesia Emas 2045”, kita mendapati kenyataan bahwa calon generasi penerus harapan bangsa justru telah dirusak oknum tidak bertanggungjawab. Jika para korban tidak mendapatkan penanganan yang sesuai, dikhawatirkan akan menjadi predator seksual di masa depan, nauzubillah.
Miris! Namun sejatinya, kejadian memprihatinkan tersebut wajar terjadi di negeri yang masih menganut sistem demokrasi kapitalisme-sekuler. Dalam sistem ini, negara hanya bertugas sebatas regulator semata. Negara tidak benar-benar hadir mengayomi masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Standar terpenuhinya kebutuhan hidup hanya dilihat dari perhitungan secara keseluruhan, tidak dipastikan pada tiap individu.
Alhasil, kasus anak-anak yatim yang terlantar tidak tertangani dengan baik. Negara tidak benar-benar hadir mengurus mereka. Kasus-kasus semisal ini akhirnya diambil alih masyarakat atau lembaga dengan swadaya sendiri.
Sistem pendidikan hari ini bagaikan menara gading yang sulit dijangkau. Dari sisi kualitasnya pun masih jauh dari baik. Akhirnya masyarakat banyak yang berpikir bahwa “asal anaknya bisa sekolah” atau “asal dapat ijazah”. Masyarakat tidak lagi memandang bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban dan wasilah mendekatkan diri kepada Allah Swt.. Kurikulumnya juga tidak membentuk akidah bagi anak didik. Materi dijadikan tujuan utama dalam sistem pendidikan kapitalisme-sekuler.
Kasus serupa yang berulang nyatanya tidak membuat masyarakat bermuhasabah bahwa sistem ini adalah sistem yang salah, baik dari sisi hukum, sistem sanksi, sistem sosial, maupun secara undang-undang. Masyarakat sibuk dengan masalahnya sendiri, sehingga cuek ketika melihat penyimpangan. Pendidikan agama yang tertanam di masyarakat juga sangat minim. Sehingga, pelanggaran syariat dianggap biasa.
Masyarakat juga tidak bisa berharap banyak pada penegakkan hukum di negara yang menganut demokrasi. Hukum dalam sistem demokrasi tidak memberikan efek jera. Berdasarkan laman hukumonline.com, bahwasanya sesuai Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016, tiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76E UU 35/2014 berpotensi mendapat pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp5 miliar. Adapun jika tindak pidana menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sesuai Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016.
Belum lagi proses hukum yang panjang dan berbelit-belit serta permasalahan pasal karet dalam berbagai UU menjadi celah para oknum mempermainkan peradilan. Masalah HAM juga kerap membayangi penegakkan hukum. Wajar jika publik skeptis terhadap jalannya hukum peradilan. Hukum kebiri saat ini menuai pro kontra di masyarakat sebagai hukuman bagi para predator anak. Bagaimana kita berharap pada sistem hukum seperti ini?
Kejahatan seksual sangat kompleks dan beragam. Namun, karena sistem hari ini begitu dangkal, sehingga tidak mampu mendefinisikan apa itu tindak asusila, zina, amoral, maupun perbuatan cabul. Sistem sekuler menjadikan manusia hidup semaunya, bebas, dan tidak terikat dengan aturan Allah Swt.. Oleh karena paham sekuler sudah tertanam kokoh, mereka menganggap aturan Sang Pencipta tidak memiliki wewenang mengatur kehidupan manusia. Agama ditempatkan untuk mengatur ritual peribadatan semata, seakan aturan buatan manusia saja yang berlaku.
Kondisi ini diperparah dengan kemajuan teknologi dan media yang menyuburkan industri pornografi sebagai stimulus seksual yang membabi-buta. Tentu saja, permasalahan kompleks ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberikan pendidikan seks sejak dini atau mempertimbangkan kondisi psikologis pelakunya. Harus ada upaya sistemis untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas sampai akarnya.
Jika kita kembali pada syahadat kita sebagai seorang muslim, tentu Islam adalah satu-satunya solusi dalam menjawab permasalahan kejahatan seksual termasuk predator anak. Dalam aturan Islam, anak yatim atau yatim piatu tidak boleh sembarangan diadopsi atau malah diterlantarkan. Secara garis nasab akan diminta pertanggungjawabannya. Kalau memang benar-banar tidak ada, maka negara yang akan turun tangan mengurusnya.
Islam memandang bahwa naluri seksual adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia secara alami dan membutuhkan pengaturan untuk penyalurannya. Islam juga menegaskan bahwa satu-satunya aturan yang Allah halalkan dalam mengimplementasikan naluri nau’ (naluri melestarikan keturunan) adalah melalui pernikahan, bukan yang lain.
Aturan ini harus dipahami agar kerusakan sosial seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, sodomi, dan kejahatan seksual lainnya bisa dihindari. Aturan Islam merupakan aturan preventif (pencegahan) yaitu antara lain, pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, termasuk sesama jenis. Selain adanya larangan khalwat dan ikhtilat di antara lawan jenis, dalam interaksi sesama jenis pun Islam menetapkan aturan tertentu.
Aturan itu seperti larangan untuk tidur di ranjang/kasur yang sama, larangan untuk tidur dalam selimut yang sama, hingga mengatur batasan aurat antara sesama jenis. Selain itu, negara bertanggung jawab melindungi rakyat dari berbagai informasi maupun konten yang menstimulasi syahwat.
Negara wajib mengatur jalannya informasi di media dan memilah informasi sampah yang menyesatkan pikiran dan perasaan masyarakat. Di samping aktivitas preventif ini, negara akan menerapkan sejumlah hukum yang mengatur sanksi yang diberikan negara atas pelaku zina dan perilaku seksual yang menyimpang. Bagi pezina, hukumannya adalah rajam bagi pelaku muhshan (sudah pernah menikah) dan hukuman cambuk 100 kali jika ghairu muhshan (belum pernah menikah). Adapun perilaku zina sesama jenis, hukumannya adalah hukuman mati.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth a.s. maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Dalam aturan Islam, hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Sedangkan untuk pelaku lesbi dan perilaku menyimpang seksual lainnya, jenis sanksinya diserahkan pada khalifah. Sebab Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Lesbi (sihaaq) di antara wanita adalah (bagaikan) zina di antara mereka.” (HR Thabrani)
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai aspek teknis hukuman mati bagi kaum homoseksual. Menurut Ali bin Abi Thalib r.a., kaum homoseksual sebaiknya dibakar hidup-hidup. Sedangkan menurut Ibnu Abbas r.a., mereka harus mencari gedung tertinggi, kemudian mereka akan dilemparkan hingga jatuh terlebih dahulu dan ketika menyentuh tanah mereka akan dilempari batu.
Menurut Umar bin al-Khaththab r.a. dan Utsman bin Affan r.a., kaum homoseksual dijatuhi hukuman mati dengan cara dilempar ke tembok hingga mati. Menurut Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-Uqubat, para sahabat Nabi mempunyai pandangan berbeda mengenai metode ini. Hanya saja, semua orang sepakat bahwa kaum homoseksual/sodomi dan lesbian harus dijatuhi hukuman mati.
Namun, bagi para pelaku yang memanfaatkan kejahatan seksual sebagai lahan bisnis, maka hanya khalifahlah yang berwewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada mereka. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Sanksi tegas seperti ini akan menimbulkan efek jera bagi pelaku, sekaligus merupakan upaya negara menutup celah munculnya kasus serupa.
Berulangnya kasus kejahatan seksual selama ini sesungguhnya disebabkan karena negara tidak mengambil sistem Islam sebagai dasar pembuatan aturan. Sehingga sanksi tidak menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat secara luas. Hanya aturan Islam saja yang akan mampu menuntaskan segala bentuk kejahatan seksual yang terjadi hari ini. Hanya saja, dibutuhkan perjuangan yang istikamah dari masyarakat luas untuk mengembalikan institusi pelaksana aturan yang Allah turunkan, yakni melalui tegaknya Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Wallahualam bissawab.
0 Komentar