#Wacana — Masa kampanye Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) 2024 telah dimulai. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan kampanye Pilkada 2024 dimulai per tanggal 25 September 2024. Seperti biasa, para paslon mulai bergerilya blusukan ke tengah masyarakat untuk menebar pesona dan janji-janji manisnya. Di hari pertama masa kampanye, paslon dengan nomor urut 4 Rena Da Frina-Teddy Risandi melakukan sejumlah agenda kegiatan, dari hadir dalam acara maulid hingga menjenguk pasien di rumah sakit.
Kehadirannya di sana tentu bukan sekadar memenuhi undangan melainkan untuk mendengarkan keinginan dan harapan masyarakat menjelang Pemilihan Walikota Bogor yang semakin dekat. Ia pun banyak menerima pertanyaan dan masukan terkait berbagai masalah yang dihadapi Kota bogor, mulai dari masalah lingkungan, pendidikan, dan kesehatan (radarbogor, 26/09/2024).
Aksi blusukan tebar pesona dan menebarkan berbagai program janji manis pada masyarakat sudah menjadi kebiasaan para paslon di masa kampanye. Hal serupa juga dilakukan paslon nomor urut 1 Sendi-Meli, yang memiliki program unggulan DOKI (Dokter Ontrog Ka Imah). Melalui program ini warga bisa mendapatkan layanan kesehatan tanpa harus datang ke puskesmas atau rumah sakit. Ini dapat meningkatkan kesehatan warga tidak hanya dengan aksi kuratif tapi juga preventif.
Aksi blusukan ini bukan tanpa maksud. Tujuannya adalah menarik simpati masyarakat untuk memberikan hak dan dukungan terhadap paslon. Untuk kesekian kalinya masyarakat pun terbuai dan hanyut termakan janji manis hingga mereka menaruh harapan besar pada paslon tersebut. Akankah program tersebut terealisasi? Tentu tidak, fakta membuktikan janji manis kampanye tidak pernah ada realisasinya.
Paslon hanya akan merealisasikan janji dan program kontrak politiknya kepada pengusaha/pemilik modal yang 'telah berjasa' memberikan uluran tangannya untuk menyokong dana kampanye yang tidak murah. Sudah menjadi rahasia umum, kontestasi politik demokrasi berbiaya sangat mahal sehingga paslon membutuhkan uluran tangan pengusaha untuk bisa ikut dalam kompetisi meraih kursi kekuasaan.
Inilah hubungan simbiosis mutualisme antara paslon dan pengusaha yang sudah lazim terjadi dalam sistem kapitalisme. Yang pada akhirnya akan melahirkan kebijakan dan aturan propengusaha dan lagi-lagi mengorbankan kepentingan rakyat. UU Omnibus Law, Proyek Strategi Nasional (PSN), UU Tapera, dan kenaikan PPN 12% adalah deretan kebijakan propemilik modal yang membuat hidup rakyat semakin miskin dan sengsara.
Beginilah cara demokrasi dalam mencetak seorang pemimpin. Hanya memanfaatkan rakyat saat butuh suara, mendekati rakyat untuk menarik simpati rakyat. Saat terpilih, mereka seketika mengalami amnesia akan janji dan program yang diiming-imingkan kepada rakyat di masa kampanye. Demi ambisi kekuasaan, mereka menghalalkan semua cara tanpa memedulikan dampak yang ditimbulkannya.
Padahal, Rasulullah saw. telah mengingatkan kaum muslim akan bahaya cinta kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda, “Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada hari kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR ath-Thabrani)
Rasulullah pun mengingatkan agar sosok pemimpin itu harus kuat, tidak mudah dipengaruhi oleh yang lain. Dari Abu Dzarr r.a., ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu Beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda, “Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR Muslim no. 1825)
Berbeda dengan sistem demokrasi-kapitalisme, Islam memiliki standar kelayakan kriteria seorang pemimpin. Bukan dilihat dari harta yang dimilikinya, melainkan kemampuan dan kapasitasnya untuk menjadi seorang pemimpin. Pemimpin dalam Islam telah mendedikasikan dirinya untuk menjadi pelayan umat. Memahami apa yang dibutuhkan umat dan selalu hadir di tengah-tengah umat untuk menyelesaikan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh rakyat.
Kekuasaan dan jabatan yang diemban seorang pemimpin adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga ia akan sangat hati-hati melaksanakan tugasnya agar tidak satu pun amanahnya ada yang terabaikan. Seorang pemimpin bersikap demikian karena yang menjadikan landasan kepemimpinannya adalah keimanan dan ketakwaan. Tidak mengharapkan apapun kecuali ingin mendapatkan pahala dan rida dari Allah Swt..
Walhasil, tidak satu pun kebijakan dan aturan yang diterapkan kecuali semata-mata untuk kemaslahatan rakyat. Tidak satu pun kebijakan yang ditetapkan menyulitkan atau membuat rakyat hidup miskin dan sengsara, seperti halnya yang terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Rakyat pun merasakan pengurusan negara yang menjamin semua kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, keamanan, transportasi dan lain-lain secara layak dan gratis untuk semua individu rakyat tanpa memandang status ekonominya.
Sosok pemimpin seperti inilah yang dirindukan oleh umat. Pemimpin yang siap hadir dalam kehidupan rakyatnya yang menjadikan kekuasaannya sebagai wasilah untuk menerapkan hukum-hukum Allah secara kafah. Pemimpin bervisi akhirat yang sangat memahami bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat nanti.
Maka kaum muslim pun harus sadar dan pandai dalam memilih calon pemimpinnya. Apabila salah dalam memilih pemimpin, rakyatlah yang akan merasakan imbasnya. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama berjuang untuk menghadirkan sosok pemimpin yang amanah, terpercaya, dan peduli terhadap urusan rakyat. Walahualam.[]
Siti Rima Sarinah
0 Komentar