#TelaahUtama — Selasa (01/10) menjadi momen pelantikan para wakil rakyat untuk lima tahun ke depan. Yang menarik dari 580 nama-nama yang menjadi anggota DPR RI 2024—2029, 23 di antaranya adalah selebriti tanah air. Selain 23 artis dari kalangan DPR, terdapat pula dua anggota DPD yang dilantik, yakni Komeng dan Jihan Fahira. Tidak hanya para artis yang melenggang ke istana, Ultraman pun ikut serta. Seorang anggota DPR terpilih, Jamaludin, yang kerap melakukan aksi cosplay Ultraman selama kampanye, ikut hadir dalam pelantikan bersama ‘stuntman’ yang mengenakan kostum superhero tersebut.
Mulusnya jalur artis menuju gedung parlemen nyatanya tidak terlepas dari tingkat pemahaman politik masyarakat Indonesia. Perpolitikan Indonesia masih sangat ditentukan oleh sosok/figur, ketimbang kemampuan dan gagasan. Kondisi ini terlihat jelas dari bagaimana sosok Alfiansyah Komeng misalnya, mampu mendulang lebih dari satu juta suara dalam pemilihan DPD daerah Jawa Barat tanpa kampanye serta dukungan partai, dan hanya mengandalkan foto ‘nyeleneh’ disertai penyematan nama "Komeng" dalam kertas coblos. Sayangnya, para selebritis yang terpilih tidak selalu memahami tugas mereka nantinya sebagai anggota lembaga legislatif tersebut. Bahkan, Komeng sendiri mengakui dirinya hanya berambisi memperjuangkan pengesahan Hari Komedi Nasional, tidak lebih.
Miris memang, masyarakat negeri ini memiliki kecenderungan untuk memilih sosok yang familier bagi mereka, seperti tetangga, kenalan atau dalam konteks ini, selebritis. Jika pun yang bertanding dalam pesta demokrasi adalah wajah-wajah tersohor dalam dunia politik Indonesia, mereka harus tetap berjuang mendulang suara dengan memamerkan gimik politik yang dianggap efektif menarik perhatian rakyat. Tidak jarang para tikus berdasi ‘senior’ membuat rekayasa guna menampilkan citra tertentu selama masa kampanye. Narasi semacam "gemoy effect", "slepet", salam tiga jari dan empat jari pun sempat menjadi gimik terlaku pada perhelatan Pilpres 2024 lalu.
Dagelan pollitik yang dipertontonkan oleh para calon rakyat dengan memanfaatkan gimik dan figur pesohor sejauh ini cukup ‘sukses’. Tidak tanggung-tanggung operator yang bekerja di balik layar kesuksesan mereka adalah para influencer dan buzzer yang bertugas memanipulasi opini publik. Selama masa kampanye tampak berseliweran gimik politik di media sosial yang tak terhitung jumlahnya. Malah, gimik yang kerap tampil di mesin pencarian jauh lebih banyak dibanding konten-konten berisikan gagasan para calon wakil rakyat yang akan bertanding dalam pesta demokrasi.
Strategi pemasaran politik dalam sistem demokrasi memang dihadapkan dengan durasi kampanye yang cukup pendek. Oleh karena itu, para wakil rakyat merasa perlu mengadopsi strategi politik yang ‘sederhana’ dan mudah diingat untuk mendulang suara saat pemilu. Hal tersebut dilakukan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia yang rendah tingkat pendidikannya. Apalagi pada tahun 2024 ini, jumlah pemilih milenial dan Gen Z di Pemilu 2024 mencakup 56% (106.358.447 orang) dari total populasi pemilih. Sehingga, telah terjadi pergeseran penting terkait generasi pemilih yang secara signifikan memengaruhi perubahan strategi kampanye politik—fokus yang lebih kuat—pada media sosial untuk menarik perhatian para pemilih muda.
Tambahan pula, tingkat literasi masyarakat masih sangat rendah dengan urutan kedua dari bawah literasi dunia menurut data UNESCO. Minat baca dan kemampun masyarakat Indonesia memahami konteks sangat memprihatinkan, dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca. Alhasil, masyarakat Indonesia lebih banyak menangkap hal yang ada di permukaan dan tidak mudah menyerap visi misi yang disampaikan para calon wakil rakyat. Maka dari itu, wajar jika gimik politik dan figur sangat laris dinikmati masyarakat.
Di dalam demokrasi, tiap-tiap suara memiliki bobot yang sama besarnya. Suara satu orang gila sama penting dan beratnya dengan suara satu orang profesor. Semua dinilai sama, masing-masing hanya dinilai satu suara. Tidak bisa satu orang alim ulama lantas dapat mewakili ribuan suara. Hal inilah yang membuat para wakil rakyat berlomba-lomba membangun citra melalui gimik-gimik ‘seru’ guna mendulang suara kalangan mayoritas, yakni kawula muda dan masyarakat berpendidikan rendah.
Dari sini sejatinya nama-nama yang terpilih ke senayan tidak perlu memiliki keahlian ataupun pendidikan tinggi. Cukup dengan ketenaran dan permainan gimik di media sosial, mereka mampu membangun opini publik dan membalikkan keadaan. Pascaduduk di kursi penguasa, mereka tetap melanjutkan sandiwara politik untuk memuluskan kebijakan-kebijakan pro-cuan dan antirakyat yang saat ini tidak lepas dari peran para buzzer dan infuencer politik.
Lihat saja bagaimana citra Jokowi sebagai sosok sederhana misalnya, tidak selaras dengan kebijakan pro-cuan dan antirakyat di masa kepemimpinannya. UU Cipta Kerja dan UU Minerba adalah segelintir kebijakan era Jokowi yang makin menyengsarakan perekonomian rakyat. Tidak cukup sampai di situ, sosok sederhana tersebut justru tengah memperjuangkan keturunannya untuk eksis di panggung politik. Tentu saja jalan yang ditempuh Jokowi tidak akan mulus tanpa adanya dukungan dari mereka-mereka yang duduk di istana. Padahal para tikus berdasi yang disahkan menjadi wakil rakyat tersebut berasal dari partai-partai yang di dalam kampanyenya menyebut dirinya sebagai partai ‘wong cilik’, partai reformasi hingga partai Islam.
Pembelokan opini publik melalui gimik politik juga cukup signifikan dalam perpolitikan negeri terutama upayanya ‘melindungi’ rezim. Sebut saja dalam kasus #SawitBaik, buzzer bayaran penguasa membangun narasi bahwa kebakaran hutan yang rutin terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan bukanlah akibat dari pembukaan lahan baru oleh perusahaan kelapa sawit. Kampanye #SawitBaik juga menjadi senjata Jokowi melawan perang dagang karena adanya pemberlakuan moratorium dari Uni Eropa mengenai impor minyak sawit. Sedangkan di masa pandemi COVID-19, buzzer berperan besar melindungi setiap kebijakan pemerintah seperti mempromosikan pariwisata Indonesia di tengah situasi pandemi. Malahan, dalam isu pelemahan KPK, influencer dan buzzer berperan membelokkan isu sebagai masalah radikalisasi di tubuh KPK dengan isu Taliban KPK.
Inilah fakta demokrasi. Demokrasi hanya mengambil suara rakyat sebagai legitimasi atas kekuasaan penguasa, bagaimanapun caranya. Tatkala calon sudah terpilih dan menduduki kursi kekuasaan, mereka berperan sebagai penjilat oligarki dan cuan bukan pelayan rakyat. Mereka bahkan tidak segan mengesahkan undang-undang yang antirakyat. Suara rakyat pun akan ditinggalkan begitu saja setelah mereka sukses meraih kekuasaan. Sejatinya, demokrasi tidak akan menghendaki pemimpin yang cerdas dan cakap dalam memimpin, cukup dengan citra positif yang menarik hati pendukungnya.
Sungguh, hal yang mustahil berharap kesejahteraan dapat terwujud dalam sistem demokrasi. Kecacatan sistem politik demokrasi bukan hanya terletak pada absurditas pemimpinnya saja, melainkan juga pada landasan sistem politiknya yang tegak berdasarkan pada sekularisme, yaitu pemahaman yang memisahkan agama dengan kehidupan. Alhasil, pelaku politik dan aturan dalam sistem ini berjalan hanya berdasarkan pada kekuatan akal manusia yang terbatas dan berpeluang besar memunculkan perbedaan, perselisihan, dan pertentangan.
Lebih dari itu, benturan kepentingan begitu besar dalam menentukan kebijakan. Hal ini karena dalam satu kebijakan setidaknya harus mengakomodasi kepentingan oligarki, partai, keluarga, hingga personal si pejabat. Jadilah kepentingan umat kerap disingkirkan sebab bertentangan dengan kepentingan elite politik. Kebijakan yang dibuat pun tidak lebih sebagai pemuas hawa nafsu para pemimpin yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini jelas bahwa bertaburnya bintang di senayan dan berseliwerannya gimik politik yang tampak manis di sosial media, sangatlah bertolak belakang dengan aturan yang akan dihasilkan, jauh dari kata makmur dan sejahtera. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar