Antara Bangkrutnya Sritex, Kemandirian Ekonomi Bangsa dan Hegemoni Asing




#Wacana — Bangkrutnya raksasa tekstil se-Asia Tenggara mempunyai buntut PHK besar-besaran. Direktur Utamanya sendiri mengatakan bahwa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mengalami guncangan dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karenanya, PT Sritex dan anak perusahaannya terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran dan merumahkan sekitar 10 ribu orang karyawan mereka. 

Diketahui bahwa Sritex ini telah merugi selama empat tahun berturut-turut sejak 2021. Perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Lukminto ini juga dibebani oleh utang sebesar 1,597 miliar AS atau setara dengan Rp25 triliun dengan kurs Rp15.600 (Kompas.com, 2/11/2024).

Pabrik Tekstil Kolaps 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta memandang bahwa bukan hanya Sritex saja melainkan sudah banyak industri tekstil yang dihantam masalah. Banyaknya pabrik tekstil lain yang berguguran sudah terjadi selama dua tahun terakhir (cnbcindonesia.com, 5/11/2024).

Sekitar tiga puluh perusahaan sudah kolaps selama dua tahun terakhir. Mereka berhenti dan tutup. Dengan tutupnya 30 perusahaan tekstil di Indonesia tersebut, tentu menelan korban pemutusan hubungan kerja sebanyak 150.000 orang. 

Jika menilik kebelakang, sejak Covid-19 melanda pada tahun 2020-2021, perusahaan tekstil di negeri ini sudah mulai mengalami kontraksi. Namun, sempat bangkit pada kuartal pertama di tahun 2022 dengan pertumbuhan sebesar 12 persen. 

Kemudian setelah kuartal ketiga pada 2022 terjadilah penurunan kinerja pada industri tekstil. Hal tersebut diakibatkan munculnya isu perang Ukraina-Rusia yang ditambah lagi adanya kebijakan zero Covid-19 dari Cina. 

Redma menyatakan bahwa Cina sebelumnya menghentikan barang di pelabuhan saat wabah Covid-19 melanda sehingga pelabuhan ditutup. Kemudian pada kuartal ketiga, barang-barang sudah mulai keluar, tetapi sejak itulah terjadi PHK hingga tahun 2023.

Politik Dumpling Cina

Adanya tekanan global dari kondisi Pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia mempengaruhi penurunan produk ekspor tekstil dan garmen. Kondisi ini juga diperparah dengan banjirnya produk-produk impor ilegal yang masuk ke dalam negeri, terutama produk baju bekas.

Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Permana menyatakan bahwa pasca-Covid-19, kondisi ekonomi Indonesia terbilang meningkat. Permintaan barang di Indonesia masih bagus sementara di negara lain termasuk Eropa justru sangat rendah (voi.id, 30/10/2024).

Dengan melemahnya permintaan di negara lain menjadikan industri terkstil dan produk tekstil (TPT) kesulitan ekspor. Hal ini pun dirasakan pula oleh negara pelaku bisnis tektil layaknya Cina, Bangladesh, juga India.  Hal tersebut menimbulkan oversupply di Cina, sehingga ia mengakali dengan gebrakan ekspor ke negara berkembang salah satunya Indonesia. 

China menjual barang dengan harga murah yang dikenal dengan sebutan dumpling. Hal ini jusru menjadi bumerang terhadap industri TPT dalam negeri dengan membanjirnya produk impor. Peminatnya yang makin tinggi menjadikan barang lokal tidak bisa bersaing. Berbeda dengan Vietman dan Bangladesh yang tidak membiarkan produk Cina membanjiri pasarnya, maka hingga saat ini kondisi ekonomi mereka masih aman.

Industri TPT di negeri ini termasuk salah satu industri padat karya yang mempekerjakan puluhan ribu tenaga kerja dan tentunya berkontribusi penting dalam perekonomian dalam negeri. Pada kenyataannya, di tahun 2022 saja industri TPT menyerap tidak kurang dari 3,6 juta orang tenaga kerja dan menyumbang sekitar 6,38 persen PDB. 

Sehingga bila industri tekstil harus gulung tikar, tentunya bukan hanya ekonomi negeri yang terselamatkan, pendapatan ekonomi masyarakat pun demikian. Andri menyatakan hal tersebut tentu berkontribusi terhadap turunnya kelas menengah dalam lima tahun terakhir. 

Kemandirian Ekonomi

Ustaz Ismail Yusanto, Cendekiawan Muslim menyatakan bahwa bila berbicara tentang kemandirian pangan ataupun kemandirian barang konsumsi, tidak akan pernah dicapai bila negara terus menerus melakukan impor.  

Penekanannya bukan ketidakbolehan melakukan impor, karena pada dasarnya hukum melakukan impor dalam sebuah negara adalah mubah. Namun, saat ini produk impor justru mematikan ekonomi dalam negeri yang dipenuhi oleh motif keuntungan para pedagang. Ditambah lagi saat ini negara tunduk pada para pedagang. 

Sehingga, visi industrialisasi sangat penting, ujar ustaz lulusan UGM ini, negara yang besar layaknya Indonesia akan menjadi santapan dan pasar negara-negara maju. Sedangkan, negara yang menjadi pasar tidak akan pernah bisa mandiri. Mereka akan terus menjadi obyek mainan negara-negara maju secara ekonomi dan bahkan politik.

Islam Menjawab

Nash menyebutkan bahwa Islam memberikan mandat pada negara untuk bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyatnya) dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karenanya, negara wajib membuat sejahtera rakyatnya dari aspek apa pun termasuk ekonomi. Negara mempunyai kebijakan untuk tidak berhubungan dengan negara yang berupaya untuk mengeksploitasi rakyat dengan cara apa pun. 

Untuk itu, tentunya negara harus mempunyai posisi tawar yang kuat di mata negara lain. Sedangkan, posisi tawar sebuah negara ditentukan dari asas yang dibangun negara tersebut. Sebagai negeri yang mayoritas muslim tentunya asas yang harus dibangun adalah datang dari Sang Khalik karena kehidupan bernegara tentu tidak boleh mengesampingkan agama. 

Hal tersebut terlihat jelas saat bagaimana Rasululah saw. membangun negara Khilafah di Madinah. Beliau membangunnya dengan asas Islam, membentuk rakyat dan menjalankan negara pun menggunakan prinsip-prinsip Islam termasuk dengan negara mana saja Khilafah boleh bekerjasama. 

Demikian juga terhadap industri yang dijalankan di dalam negeri tentunya akan menggunakan asas Islam. Karena Islam juga mengatur bagaimana menjalankan perekonomian yang menyejahterakan. Ekonominya sehat dan tidak tajam pada wong cilik, Wallahualam bissawab.[]


Ruruh Hapsari


(Penulis dan Aktivis Dakwah)

 


Posting Komentar

0 Komentar