Banjir: Fenomena Alam atau Kesalahan Tata Ruang Akibat Sistem Kapitalisme?



#Wacana — Banjir bandang yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat beberapa hari lalu, tercatat sebagai banjir terparah sepanjang tahun 2024. Setidaknya, bencana itu mengakibatkan 66 rumah, lima fasilitas publik rusak, dan 118 warga terpaksa mengungsi sementara.  Pejabat Walikota Sukabumi, Kusmana Hartadji mengatakan bahwa selain disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, kondisi sungai di wilayah Kota Sukabumi mengalami penyempitan, faktor sampah yang tersumbat, banyaknya bangunan di bantaran sungai hingga kondisi tata ruang menyebabkan Sukabumi rawan bencana alam (detikjabar.com, 08/11/2024).

Sukabumi hanya salah satu wilayah di Jawa Barat yang kerap kali mengalami banjir dan tanah longsor kala musim hujan tiba. Faktor penyebab banjir rata-rata sama, yaitu dikarenakan penyempitan sungai akibat banyaknya bangunan di bantaran sungai yang menyebabkan air hujan meluap. Masyarakat yang membangun rumah di sekitar bantaran sungai bukanlah tanpa sebab. Faktor ekonomi menyebabkan mereka hanya bisa tinggal di tempat yang rawan dengan bencana. 

Tidak dipungkiri, saat ini sangat sulit mendapatkan lahan untuk membangun perumahan yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Kalaupun ada, harganya sangatlah mahal dan tidak terjangkau oleh kantong masyarakat yang sebagian besar berada di tingkat ekonomi menengah ke bawah. Di sisi lain, banyak di bangun perumahan elite dengan menawarkan fasilitas mewah, hanya segelintir orang berkantong tebal yang mampu menikmati dan bermukim di permukiman tersebut.

Maraknya bisnis properti saat ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Rakyat dipersulit mengakses lahan yang aman untuk membangun pemukiman. Sedangkan di sisi lain, para pengusaha properti dipermudah untuk memiliki dan menguasai lahan dan berlindung di bawah regulasi undang-undang Permen 2/1999 tentang izin lokasi dan dengan adanya UU Cipta Kerja mengubah aturan tanah dengan PP 20/2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar. Regulasi ini yang menyebabkan lahan banyak dikuasai oleh pengusaha properti. Pada tahun 2011 saja, kurang lebih 60 ribu hektare lahan sudah dikuasai oleh lima pengembang properti besar (detikjabar.com, 9/12/2023). 

Fakta ini wajar terjadi sebab sistem kapitalisme yang hadir menaungi berbagai regulasi undang-undang dan kebijakan pemerintah, telah menganakemaskan para pemilik modal untuk menguasai lahan untuk kepentingan bisnis mereka. Perumahan yang menjadi salah satu hajat hidup rakyat dijadikan lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Merekalah yang mengendalikan harga rumah dengan harga selangit. Kalaupun pemerintah menyediakan rumah subsidi yang diklaim sebagai program yang dapat membantu rakyat untuk memiliki rumah, itu pun dengan harga yang tidak murah bagi rakyat, dan ditambah lagi syarat-syarat administrasi yang sulit untuk mengaksesnya.

Program setengah hati pemerintah ini hanyalah ilusi dan angan-angan yang tidak menjadi solusi bagi rakyat untuk memiliki rumah. Inilah wajah buruk sistem kapitalisme yang telah mengalihfungsikan peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator untuk memuluskan kepentingan bisnis para pengusaha dengan mengabaikan kepentingan rakyat.

Begitu banyak kesulitan dan problem kehidupan yang ditimbulkan akibat keserakahan sistem buatan manusia. Sistem ini mengakibatkan banyak kerusakan dan bencana yang dialami oleh masyarakat juga rusaknya tata kelola ruang hidup yang ditimbulkan. Kondisi ini tentu tidak akan terjadi tatkala pemerintah mengambil sistem yang benar (sistem Islam/Khilafah) untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menjaga kelestarian alam sehingga bencana banjir dan tanah longsor akibat ulah tangan manusia bisa diatasi.

Berbeda halnya dengan sistem kapitalisme yang menggeser peran negara dan dialihkan kepada pemilik modal (pengusaha). Dalam sistem Khilafah, kehadiran penguasa wajib sebagai pelaksana syariat Islam di seluruh lini kehidupan masyarakat dengan karakter penuh kepedulian dan tanggung jawab terhadap urusan rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasullah saw., ”Imam (khalifah) adalah raa’in dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR Bukhari)

Dengan orientasi sebagai pengurus/pelayan rakyat, maka negara senantiasa hadir untuk memenuhi dan menjamin semua kebutuhan rakyat termasuk kebutuhan akan lahan untuk perumahan. Jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan tidak hanya dari aspek kuantitas, tetapi juga kualitas. Pemberian izin pendirian bangunan hanya apabila sudah memenuhi kriteria keamanan, termasuk aspek rencana tata ruang wilayah (RT/RW) dan berkonstruksi sesuai wilayah. Misalnya, wilayah yang sering mengalami gempa, maka konstruksi bangunan harus tahan gempa. 

Selain itu, juga harus memenuhi tuntutan syariat, khususnya dari segi fungsi dan model bangunan rumah, juga kriteria kesehatan, kenyamanan, dan keamanan. Tidak boleh terjadi bahaya yang menimpa penghuni rumah, seperti rumah roboh karena bahan bangunan yang tidak berkualitas, membangun rumah di bantaran sungai atau di wilayah yang rentan terjadi banjir dan tanah longsor. 

Dengan mekanisme penerapan syariat ini, maka dipastikan semua individu rakyat memiliki rumah yang layak, aman, bersih, dan nyaman. Yang terpenting, negara tidak memberi celah sedikit pun bagi mafia tanah dan pengembang properti untuk menguasai lahan dan menjadi perumahan sebagai lahan bisnis, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. 

Terbukti dengan kehadiran Islam dalam kehidupan mampu menyelesaikan setiap problema kehidupan manusia. Sistem yang menjadi biang persoalan inilah yang harus dienyahkan dan diganti dengan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah. Sebab, hanya Khilafah satu-satunya sistem aturan kehidupan yang layak mengatur kehidupan manusia dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan sesuai aturan Sang Pemiliknya. Wallahualam.[]



Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar