Dilema Penerimaan Negara dan Beban Masyarakat dalam Sistem Kapitalisme



Zakiyah Amin, S.P., M.M.

(Aktivis Dakwah) 



#Wacana — Pada 1 Januari 2025, Indonesia akan mengalami kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bertujuan untuk memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); memperbesar penerimaan pajak; serta mengurangi ketergantungan pada utang negara. Namun, di balik klaim pemerintah, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana dampaknya terhadap perekonomian rakyat, terutama di tengah kesulitan ekonomi yang semakin dalam.



Penerimaan Negara vs Beban Masyarakat


Kenaikan tarif PPN ini sejatinya diharapkan dapat menambah penerimaan negara. Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memprediksi bahwa penerimaan negara dapat bertambah hingga Rp100 triliun. Akan tetapi, penerimaan yang lebih tinggi dari PPN bukanlah jaminan bahwa kondisi fiskal negara akan membaik secara signifikan. Sebelumnya, meskipun tarif PPN dinaikkan pada 2022, kontribusinya terhadap pendapatan domestik justru mengalami penurunan, menunjukkan bahwa potensi penerimaan belum sepenuhnya terealisasi.


Selain itu, meskipun tarif PPN meningkat, banyak pihak meragukan efektivitasnya dalam mengatasi masalah struktural dalam ekonomi Indonesia, terutama dalam hal utang negara yang terus membengkak. Defisit APBN masih terjadi dan ketergantungan pada utang luar negeri terus berlanjut.


Inilah dilema yang terus terjadi pada kebijakan kenaikan PPN; di satu sisi berupaya memperbesar penerimaan negara, tetapi di sisi lain tidak mampu mengatasi akar permasalahan fiskal negara.


Malah, kenaikan PPN tentu saja akan berimbas langsung kepada masyarakat, khususnya kelas menengah yang menjadi motor utama konsumsi domestik. Produk-produk yang dikenakan PPN; seperti barang elektronik dan kendaraan bermotor, diprediksi akan mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga ini akan menurunkan daya beli masyarakat yang makin tertekan dengan biaya hidup yang terus merangkak naik. Pelaku usaha, terutama di sektor pariwisata dan retail, juga akan merasakan dampak buruk dari kenaikan tarif ini, yang dapat menyebabkan penurunan omzet dan pemutusan hubungan kerja (PHK).



Di sektor pertanian dan peternakan, harga pakan ternak yang diperkirakan akan naik lima persen, diikuti biaya produksi pertanian yang meningkat, turut menambah beban produsen dan petani. Ini mengarah pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin menekan daya beli masyarakat, terutama golongan rentan miskin dan miskin.



Analisis Ekonomi Kapitalisme: Pajak Sebagai Sumber Utama


Kenaikan tarif PPN ini merupakan wujud dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme, pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Dalam sistem ini, negara berfungsi sebagai fasilitator yang mengumpulkan pajak dari rakyat untuk membiayai kebutuhan negara, tetapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah mengandalkan penerimaan dari pajak yang cenderung memberatkan masyarakat, sementara kebijakan pembangunan sering kali lebih menguntungkan korporasi dan kelompok elite.


Dalam kapitalisme, PPN diposisikan sebagai pajak yang relatif mudah dipungut dan stabil, meskipun dampaknya terhadap daya beli rakyat sangat signifikan. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, kenyataannya kenaikan tarif ini malah menambah kesulitan bagi rakyat, terutama di tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi global.



Alternatif Sistem Ekonomi Islam: Negara sebagai Penjaga Kesejahteraan Rakyat


Sistem ekonomi Islam menawarkan pandangan yang berbeda terkait pajak dan pengelolaan keuangan negara. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk memastikan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar menjadi regulator dan pemungut pajak. Pengelolaan ekonomi dalam Islam melibatkan sumber daya yang lebih beragam dan adil, dengan sistem pajak yang hanya diberlakukan pada kondisi tertentu—terutama jika kas negara kosong dan untuk kebutuhan mendesak yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.


Pajak dalam sistem Islam bersifat insidental, hanya dikenakan jika negara mengalami kesulitan keuangan yang luar biasa. Bahkan dalam kondisi seperti itu, pajak pun hanya dikenakan pada mereka yang mampu dan tidak memberatkan golongan miskin. Selain itu, zakat sebagai sumber pendanaan utama dalam Islam dapat menggantikan sebagian besar penerimaan negara, yang lebih mengedepankan prinsip keadilan sosial.


Dalam sejarah Khilafah Islam, pengelolaan dana negara sangat efisien, sehingga tidak pernah terjadi defisit yang berkelanjutan. Negara mampu menyediakan kebutuhan dasar bagi rakyat, termasuk pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan, tanpa bergantung pada utang atau pajak yang membebani rakyat. Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam tidak hanya lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam hal pengelolaan keuangan negara.


Kenaikan tarif PPN yang direncanakan pemerintah, meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, berpotensi besar meningkatkan beban ekonomi rakyat, terutama kelas menengah dan sektor-sektor usaha yang sudah terpuruk. Sistem ekonomi kapitalisme yang mendasari kebijakan ini cenderung lebih memprioritaskan penerimaan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan keberlanjutan ekonomi rakyat.


Alternatif yang lebih berkelanjutan dan lebih adil dapat ditemukan dalam sistem ekonomi Islam, yakni negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya tanpa bergantung pada pajak yang memberatkan.

Sistem ini tidak hanya mengutamakan keadilan sosial, tetapi juga memastikan pengelolaan keuangan negara yang efisien dan tidak menyebabkan defisit yang merugikan rakyat.


Jika pemerintah benar-benar ingin mengatasi masalah ekonomi secara menyeluruh, maka perlu ada perubahan fundamental dalam paradigma ekonomi yang diterapkan—dari sistem yang bergantung pada pajak yang memberatkan—menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan, sebagaimana dicontohkan dalam ekonomi Islam. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar