Indonesia Menuju Politik Populis Otoritarian (?)

 



#EDITORIAL — Sekira 16 ribu orang menghadiri deklarasi organisasi baru bernama Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) yang diselenggarakan di Indonesia Arena, Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat pada Sabtu 2-11-2024. Gerakan ini diklaim sebagai organisasi nonpolitik yang dibentuk sebagai kelanjutan atau transformasi dari Tim Koalisi Nasional (TKN) yang saat pilpres lalu mendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Pembentukannya sendiri merupakan realisasi atas gagasan Presiden Prabowo yang pernah ia sampaikan pada acara Buka Bersama TKN Prabowo-Gibran di Ritz-Carlton, Kuning, Jakarta Selatan, Senin (25-3-2024) lalu. Saat itu dalam pidato sambutannya ia mengatakan, kampanye telah selesai, tetapi silaturahmi yang telah terbangun di TKN Prabowo-Gibran harus tetap dijaga dan tidak boleh bubar. TKN, katanya, harus menjadi paguyuban yang kemudian ia beri nama GSN. Ia pun menyebut, paguyuban ini merupakan satu gerakan yang terdiri dari semua suku, ras, agama, daerah kalangan, yang bersatu untuk menuju Indonesia Emas.

Saat deklarasi, Rosan Roeslani selaku Ketua TKN Prabowo-Gibran yang juga merupakan Menteri Investasi dan Hilirisasi di Kabinet Merah Putih, resmi didapuk menjadi ketua organisasi tersebut. Sementara itu, Presiden Prabowo dan Wapres Gibran didapuk menjadi Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pembinanya.

Pada akhir acara, semua peserta yang hadir serempak mengucapkan delapan poin ikrar bersama. Salah satu isinya adalah kesiapan mereka untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan secara kritis, objektif, konstruktif, dan produktif dalam memberikan solusi.

Gaya Politik Populis Otoritarianisme (?)
Deklarasi GSN ini mendapat berbagai respons dari berbagai kalangan. Sebagian menyambut positif, sebagian lagi menghujani dengan berbagai kritik. Yang menyambut positif percaya bahwa kehadiran GSN bisa menjadi jembatan yang efektif antara pemerintah dan rakyat, termasuk menjadi saluran baru aspirasi rakyat dalam berbagai program atau kebijakan. Ini karena di dalam organisasi tersebut banyak pemangku kepentingan atau pengambil keputusan.

GSN juga dipercaya bisa mendukung dan mengawal eksekusi kebijakan strategis pemerintah, terutama dalam memerangi kemiskinan, korupsi, ketakadilan, dan kesenjangan di dalam negeri. Dengan begitu, cita-cita mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera, mandiri, maju, dan berkesinambungan diklaim bisa segera direalisasikan.

Hanya saja, sebagian pakar menyatakan, Presiden Prabowo dan para pejabatnya semestinya tidak merangkap jabatan di lembaga atau organisasi lain karena bisa menimbulkan konflik kepentingan. Presiden dalam hal ini tidak boleh diposisikan sebagai representasi ormas atau lembaga tertentu dalam rangka menghindarkan ormas atau lembaga tersebut untuk memanfaatkan kedudukannya demi mendapatkan privilese, termasuk mendapat bagian proyek sebagaimana lazim terjadi selama ini.

Namun, sebagian lagi melihat pembentukan organisasi ini bukan sekadar akan memunculkan konflik kepentingan. Mereka bahkan memandang pembentukan GSN ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan benteng, sekaligus membangun situasi politik yang menutup pintu kritik dan oposan. Mereka tidak percaya bahwa GSN ini akan murni menjadi ormas yang bersikap nonpolitik. Mereka justru melihat di balik deklarasi paguyuban ini, pemerintah sedang menjalankan politics distraction (gangguan politik) demi mencapai legitimasi politik di dalam negeri dengan kebijakan yang populis.

Hal ini diperkuat dengan gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang berusaha merangkul semua pihak hingga menutup pintu perbedaan atau oposisi. Pembentukan “kabinet gemoy” yang jelas-jelas merupakan politik akomodasi, sekilas tampak “wajar dan adil” karena merepresentasi semua kepentingan parpol pendukung, sedangkan parpol diklaim sebagai representasi rakyat.

Namun sejatinya, manuver ini akan memunculkan gaya politik otoritarianisme karena meniadakan aspek check and balances. Alhasil nantinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seakan benar-benar merepresentasi kehendak rakyat, sedangkan mereka yang tidak sepakat akan dipandang bertentangan dengan kehendak rakyat.

Gaya kepemimpinan populis otoritarianisme yang dilakukan Prabowo-Gibran ini sejatinya bukan hal baru. Keduanya dipandang hanya melanjutkan, bahkan memperkuat dan menyempurnakan gaya kepemimpinan pendahulunya yang tidak kalah populis dan cenderung represif otoritarian. Adapun tujuannya, diduga adalah demi menjaga keberlangsungan proyek-proyek mercusuar yang melibatkan kepentingan para pemilik modal yang telah sukses mengantarkan mereka meraih kursi kekuasaan.

Pada era sebelumnya, kita mengenal relawan Projo yang juga berjasa mengantarkan Jokowi menjadi Presiden hingga dua periode. Pada 2017, relawan Projo berubah menjadi ormas yang mendapat status resmi dari Kementerian Hukum dan HAM. Selama kepemimpinan Jokowi, ormas ini juga bertindak sebagai pelindung kebijakan-kebijakan Jokowi yang jelas sangat populis, tetapi pro kapitalis, menjadi corong pemerintahannya dan melakukan countering atas opini-opini negatif soal pemerintahan Jokowi.

Pada 2023, ketika pemimpinnya—Budi Arie Setiadi—resmi diangkat Jokowi sebagai Menteri Kemenkominfo  dan kini diangkat menjadi Menteri Koperasi Indonesia, banyak pernyataannya yang dipandang kontroversi dan mendukung berlangsungnya gaya kepemimpinan populis otoritarian pro kapitalis ini. Di antaranya, menyarankan Presiden Jokowi untuk menambah masa jabatan menjadi tiga periode. Lalu pada pasca-Pemilu, ia juga pernah berkoar-koar, haqqul yaqin semua kekuatan (termasuk partai politik) sangat berhitung dan berhati-hati dalam menetapkan koalisi. Mengapa? ia mengatakan, “Karena kalau kalah dalam Pemilu 2024, bisa masuk penjara.” Pernyataan inilah yang hari-hari ini sedang dikait-kaitkan dengan penangkapan Tom Lembong yang diketahui merupakan pendukung oposan.

Antidemokrasi atau Konsekuensi Demokrasi?
Dalam konteks politik kekinian, munculnya partai-partai dan kekuasaan dengan gaya politik populis otoritarianisme ini memang sedang menggejala di dunia internasional. Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam tulisan yang diterbitkan Cambridge University 2019 berjudul Cultural Backlash bahkan menyebut gaya populis otoriter ini telah mengganggu politik di banyak masyarakat, seperti yang dicontohkan oleh Donald Trump di AS dan Brexit di Inggris. Ia lalu menyebut munculnya gaya politik seperti ini sebagai ancaman terhadap sistem demokrasi liberal, khususnya di dunia Barat.

Populisme sendiri diartikan sebagai  gaya wacana yang seakan menonjolkan prinsip-prinsip bahwa kekuasaan yang sah berada di tangan “rakyat”, bukan kaum elite. Namun, dilihat dari kebijakannya, justru mengakomodasi kepentingan kaum elite. Lalu demi mendukung stabilitas dan keamanan yang ketat untuk melindungi kekuasaan tersebut dari ancaman pihak luar, serta demi memunculkan kepatuhan terhadap norma-norma yang sedang ditegakkan, dan demi membangun kesetiaan kepada kepemimpinan, diterapkanlah nilai-nilai otoriter dengan segala bentuk dan variasinya. Bisa dengan mengedepankan pencitraan, atau menutup celah perbedaan dengan upaya penyingkiran dan penekanan, atau malah dengan merangkul semua kepentingan.

Dari kombinasi dua gaya ini, efeknya adalah hilangnya sistem pengawasan dan keseimbangan, yang mana penguasa dengan mudah mengeklaim bekerja demi kepentingan “rakyat”, padahal sesungguhnya mereka sedang melegitimasi kepentingan segelintir elite dengan kekerasan terselubung. Kebebasan sipil pun sedikit demi sedikit akan hilang dan garis antara kepentingan pribadi atau kelompok dan politik akan makin terbuka lebar. Alhasil, berbagai bentuk kezaliman, kemiskinan, gap sosial, dan problem lain akibat penguasaan aset-aset publik oleh pemodal, bisa berlangsung secara legal tanpa ada yang bisa mempersoalkan.

Pemimpin populis tersebut bisa jadi terpilih dalam pemilu demokratis, tetapi karena menerapkan populisme dan otoritarianisme, maka mereka seakan membawa demokrasi pada resesi dan kemunduran. Prinsip demokrasi yakni “dari, untuk, dan oleh rakyat” seakan mandul dan terkooptasi oleh kehendak kekuasaan. Populisme pun dipandang bertentangan dengan demokrasi, bahkan menempel dengan prinsip otoritarianisme. Padahal, benarkah demikian?

Dilihat dari prinsip dasarnya, demokrasi sangat mengagungkan kebebasan dan tegak di atas asas sekularisme yang tidak mengenal prinsip halal-haram. Agama dalam sistem demokrasi tidak mendapat tempat dalam pengaturan kehidupan sebab demokrasi memang sangat menjunjung tinggi prinsip pluralisme dan relativisme kebenaran. Prinsip-prinsip inilah yang membuka ruang besar terjadinya “adu kuat” kepentingan modal yang pada saat sama berkelindan dengan kepentingan para pemburu kekuasaan. Berbagai intrik politik pun akan dilakukan, semata demi memenangkan ego kepemimpinan dan melanggengkan dinasti kekuasaan.

Dengan begitu, tampak bahwa populisme dan otoritarianisme sejatinya niscaya muncul justru karena penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Sistem inilah yang telah melahirkan manusia-manusia rakus dan niradab hingga rela menghalalkan segala cara hanya demi meraih kesenangan duniawi atas nama kepentingan rakyat banyak dan demi menjaga keutuhan bangsa. Bahkan, di negeri-negeri muslim, atas nama demokrasi pula idiom-idiom agama kerap digunakan untuk membangun citra diri atau menyerang rivalnya sehingga dampaknya politik identitas pun menjadi bermakna negatif lantaran memosisikan agama di bawah kepentingan politik sesaat.

Sayang, banyak pihak yang masih menganggap bahwa demokrasi masih menjadi sistem politik terbaik. Ketika muncul perilaku kekuasaan yang tidak sesuai kehendak sekelompok orang, langsung dimaknai sebagai sebuah penyimpangan penerapan. Wajar jika akhirnya mereka berkata bahwa yang harus disoal adalah orang, sedangkan demokrasinya sendiri harus segera diselamatkan. Padahal, justru demokrasilah biang segala penyimpangan. Terbukti, setiap rezim selalu mengeklaim bahwa mereka sedang melakukan penyelamatan demokrasi dari segala bentuk pengkhianatan.

Menjawab Tudingan Otoritarianisme Islam
Lucunya, ketika tampil di tengah masyarakat para penggagas perubahan ke arah Islam, yakni yang mengusung gagasan mengembalikan sistem kekhalifahan, mereka ditolak dengan alasan Khilafah adalah sistem yang sangat otoritarian. Bahkan, seluruh rezim kekuasaan di dunia—tidak terkecuali di negeri muslim terbesar seperti Indonesia—berupaya menstigma sistem kepemimpinan tunggal ini sebagai sistem yang berbahaya dan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan global.

Penolakan atas wacana kepemimpinan Islam ini sering diversuskan dengan sistem sekuler demokrasi yang digadang-gadang sangat humanis dan memberi harapan kesejahteraan dan keadilan hakiki. Padahal, sejarah telah membuktikan, justru penerapan sistem sekuler demokrasilah yang telah memunculkan berbagai bencana kemanusiaan, menghancurkan prinsip-prinsip moral, serta menyebarluaskan kezaliman dan ketakadilan. Ini karena demokrasi telah memberi kesempatan pada para pecundang dan pemuja uang untuk mengurus umat dan dunia secara keseluruhan.

Sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) justru jauh dari apa yang mereka tudingkan. Akidah Islam yang menjadi landasannya, serta hukum-hukum Islam yang bersumber dari wahyu yang menjadi tolok ukur perbuatannya, justru akan menjadi pagar pembatas bagi munculnya penyimpangan sebagai sumber kerusakan, kezaliman, dan ketakadilan. Kekuasaan mereka diperoleh melalui baiat dari rakyat yang akadnya menjadi sah ketika khalifah siap menegakkan kedaulatan Allah sebagai Sang Pembuat Hukum dengan hanya menerapkan hukum-hukum-Nya secara kafah.

Jadi, khalifah diangkat bukan dengan kontrak sosial untuk melaksanakan kehendak rakyat sebagaimana dalam demokrasi, melainkan diangkat untuk memimpin rakyat demi menjalankan ketaatan dalam seluruh aspek kehidupan kepada Zat Pencipta seluruh alam. Kemudian kepemimpinan tersebut dikawal secara ketat oleh rakyat melalui mekanisme muhasabah amar makruf nahi mungkar yang pintu dan salurannya terbuka sangat lebar dalam sistem kepemimpinan Islam.

Sejarah telah membuktikan, selama belasan abad, umat Islam hidup dalam sistem yang sangat ideal. Keamanan, kesejahteraan, keadilan, dan ketinggian moral, dirasakan oleh semua orang seiring sejalan dengan lahirnya kehidupan yang diliputi suasana keimanan. Bahkan, selama itu pula, di bawah kepemimpinan Khilafah, umat Islam mampu tampil sebagai pionir peradaban yang mana dunia Barat telah menerima buah manisnya hingga sekarang.

Bahwa pernah ada penyimpangan dalam sejarah peradaban Islam, maka peristiwa-peristiwa itu bisa dipastikan bukan karena buruknya sistem kepemimpinan Islam, melainkan karena buruknya person yang memegang kekuasaan. Ini karena bagaimanapun, sistem kepemimpinan Islam adalah sistem basyariyah yang memungkinkan ada penyimpangan dalam sisi penerapan. Sementara itu, sistem demokrasi, secara mendasar memiliki kecacatan mulai asas hingga aturan yang dilahirkan sehingga berbagai kerusakan menjadi konsekuensi logis yang akan ditimbulkan.

Oleh karenanya, tawaran mengganti sistem demokrasi dengan sistem kepemimpinan Islam merupakan tawaran logis dan semestinya dipertimbangkan. Terlebih bagi mereka yang mengaku beragama Islam dan meyakini kebenarannya, tentu sudah selayaknya membuktikan keimanannya tersebut dengan menerima syariat Islam secara keseluruhan, termasuk syariat tentang kepemimpinan.

Sungguh, membiarkan sistem demokrasi tetap tegak, sejatinya sama dengan membiarkan kerusakan tetap berjalan. Yang lebih mengerikan, umat Islam akan hidup dalam dosa berkepanjangan karena dengan sadar telah mencampakkan hukum-hukum Allah Sang Pemilik Kehidupan.

Posting Komentar

0 Komentar