Ruruh Hapsari
(Penulis dan Aktivis Dakwah)
#Wacana — Merebaknya intimidasi pada siswa dalam beberapa tahun belakangan, perlu membuat semua pihak waspada. Terakhir yang sedang viral adalah intimidasi orang tua siswa kepada salah satu siswa yang melakukan perundungan pada anaknya. Pria dewasa tersebut mengintimidasi siswa SMA di Surabaya untuk membalasnya, tetapi dengan cara yang tidak baik.
Kejadian itu membuat korban dan keluarganya dalam keadaan trauma yang mendalam dan butuh bantuan secara psikis dan psikologi untuk menangani kondisi mereka. Walaupun pelaku sudah meminta maaf pada khalayak, tetapi hal tersebut tidaklah menjadikan kasus selesai, justru dilanjutkan perkara ini ke ranah hukum.
Pelaku terjerat Pasal 80 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 335 KUHP ayat (1) butir 1 KUHP. Dengan demikian, pelaku terancam hukuman tiga tahun penjara (cnnindonesia.com, 16/11/2024).
Tingginya angka perundungan atau bullying atas remaja meliputi kekerasan fisik dan kekerasan secara emosional, demikian juga dampak negatif pada korban pun dirasakan secara fisik dan emosional. Beberapa tahun belakangan, kekerasan ini menjadi masalah global dan terus meningkat jumlahnya. Para pelaku terbiasa untuk menyakiti ataupun menyalahgunakan kekuatannya kepada orang lain secara agresif.
Apalagi perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah, tentu membutuhkan perhatian yang lebih besar. Pasalnya, sekolah merupakan tempat untuk menimba ilmu dan tempat untuk mengembangkan diri yang bila dirusak, maka akan mempengaruhi kualitas hidup generasi mendatang.
Mirisnya di Indonesia, bullying diduga masih menempati angka yang cukup tinggi. Dari survey yang dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun 2022 terlihat bahwa potensi perundungan di sekolah sekitar 24,4 persen.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menghimpun data kasus perundungan di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 226 kasus. Hal ini mengalami peningkatan yang signifikan dibanding tahun 2020 yang tercatat 119 kasus dan 2021 53 kasus.
Menurut pakar psikologi anak Unesa, Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., fenomena bullying layaknya epidemi atau penyakit yang menular secara cepat dan menimbulkan banyak korban (unesa.ac.id). Dosen FIP ini menyebutkan bahwa penyebab bullying bisa dari banyak faktor. Antara lain, terkait lingkungan sekolah, pergaulan yang salah, juga pengaruh teman sebaya.
Menurutnya, guna mengatasi kasus bullying ini memerlukan keterlibatan dari semua pihak terkait. Salah satunya pihak sekolah yang dari awal harus mempunyai kebijakan yang jelas dan efektif dalam mencegah dan mengatasi pem-bully-an seperti ini.
Kemudian peran keluarga yang menjadi pihak terdekat dengan anak-anak, tentu seharusnya sedari awal orang tua yang mengedukasi tentang keimanan, kepribadian Islam, moral, dan etika, sehingga perundungan bisa dicegah.
Tidak hanya itu, negara juga seharusnya berperan lebih besar dalam pemberantasan masalah ini. Tersebab negara merupakan pihak yang punya semua kuasa dan dapat melakukan apa pun sesuai dengan kekuasaan yang ada di tangannya.
Salah satunya negara punya kuasa terhadap kurikulum pendidikan. Dengannya, negara mempunyai kuasa untuk mengubah kurikulum tersebut menjadi kurikulum berbasis akidah. Perubahan arah pendidikan akan mengubah hasil didikan dan tentunya asas pendidikan.
Seperti saat Harun Al-Rasyid menjadi khalifah di masa kekhilafahan bani Abbasiyah, berdiri tegak pusat ilmu pengetahuan ‘Baitul Hikmah’ yang terdiri dari perpustakaan berikut lembaga pendidikan dan penelitian. Dari Baitul Hikmah ini lahirlah ilmuwan muslim yang ilmunya masih terus digunakan hingga saat ini.
Sebut saja Al-Khawarizmi yang dikenal dengan bapak Al-Jabar, ibnu Sina yang ilmu kedokterannya terus digunakan hingga masa modern. Al-Farabi yang Dmenguasai 89 bahasa, ahli fiqih, sains juga kedokteran. Al-Haithami yang disebut sebagai bapak optik modern dan terkenal di dunia barat dengan nama Alhazen.
Begitulah yang terjadi bila negara mendukung sekaligus mengurus masyarakatnya dengan benar. Sebab, manusia pada dasarnya mempunyai peluang untuk merendahkan orang lain, mengejek serta menghina. Namun, adanya bekal takwa yang juga difasilitasi oleh negara dengan adanya banyak kajian, maka hal buruk tersebut dapat dihindari, baik itu pelakunya orang tua maupun usia remaja.
Bukan hanya itu, Khilafah Islam sangat memperhatikan maqashid syariah dalam penerapan hukum-hukumnya. Hal tersebut terdiri dari delapan aspek dalam kehidupan luhur manusia yang dipelihara, antara lain yaitu memelihara keturunan, memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa, memelihara harta, agama, keamanan, serta memelihara negara.
Dengan peran negara yang begitu besar menetapkan tujuan penting pendidikan yaitu menjadikan para siswa berkepribadian Islam dan berwawasan luas menjadi tercapai. Temasuk optimalisasi filter kebudayaan buruk dari luar negeri hanya mampu terealisasi dengan sistem negara. Para siswa hanya fokus pada hal yang penting dan besar, tidak dipusingkan dengan hal yang bersifat individual yang dapat menimbulkan bibit-bibit perpecahan seperti perundungan.
Untuk meraih itu semua, maka negara harus mempunyai asas yang kokoh, posisi tawar dengan negara lain juga kuat, sehingga ideologi yang merusak tidak dapat menembus dinding negara. Asas tersebut tentunya harus datang dari yang Kuasa, itulah asas Islam, dengan demikian kasus bullying pun dapat terhindar. Wallahualam.[]
0 Komentar